Paguyuban Algorave Indonesia

Narasumber: Paguyuban Algorave Indonesia
Waktu Wawancara:
15 Januari 2023
Lokasi: Omah Cepit, Yogyakarta
Tautan Karya Terkait:

Hoppla

Kami melihat algorave walaupun terhitung baru tapi menarik konsepnya, bagaimana caranya kita ngeliatin rave tapi algorave gitu kan. Dan itu setahuku awal dekade kemarin itu rame ya di Eropa. Terus dari situ sekarang masuk ke Indonesia. Bagaimana awalnya algorave cabang Jogja ini?

Paguyuban Algorave Indonesia

Sebenarnya dari peristiwa jauh sebelum kami kenal live coding itu sendiri. Dulu 2017 itu kalau gak salah di acara Jogja Noise Bombing itu aku sama kawanku dulu satu kampus terus bisa dibilang dia emang partner buat diskusi soal masalah musik yang elektronik atau mungkin musik kontemporer konteksnya klasik gitu itu kita nonton satu penunjukan awal dari mas Patrick Hartono. Nah mas Patrick Hartono itu kebetulan waktu itu dia cuma perform pake laptop terus peristiwanya ya noise pada umumnya dan waktu itu kita belum tahu kalau ternyata yang dia lakuin itu adalah peristiwa live coding ternyata. Nah ketika kami tau waktu live coding yang waktu itu diasumsikan cuma oh ternyata bisa ya bikin noise-noise cuma dari kode kayak gitu. Dan di saat kami nonton itu berbarengan dengan kejadian peristiwa itu aku sama kawanku di barengin dengan beberapa kawan yang lainnya itu kami kebetulan belajar musik komputer dengan mas Tony Mariana.

Nah mas Tony Mariana ini kebetulan dia seorang perkusionis tapi juga gemar di musik elektroakustik dan juga musik komputasi lah. Waktu itu kita belajar Max / MSP. Nah terus dari kalau nggak salah 8 orang yang terlibat di kelasnya dia yang bertahan waktu itu cuma tinggal 4. Nah 4 orang ini kemudian termasuk aku itu diminta untuk bikin recital lah istilahnya untuk ujian akhir dari semester 1 waktu itu.

Nah terus akhirnya kita bentuk grup berempat itu dengan nama ‘klitih’ bunyi. Waktu itu masih kita nggak ngerti soal konsep musik elektronik, musik elektroakustik atau mungkin musik komputasi pada umumnya gitu. Kita cuma ngerti kayak pokoknya pakai ginian bisa bikin musik elektronik gitu. Terus peristiwa itu recital-nya terjadi di rumah budaya Sili Rano waktu itu. Di kalau nggak salah di area pokoknya dalam benteng deket Alun-Alun Kidul di Jogja.

Itu kita akhirnya dari mulai 4 orang terus berkurang jadi 3 terus jadi 2 akhirnya. Nah, sebelum jadi 2 itu aku sama 2 kawan aku lagi jadi yang tadi aku sebutkan itu namanya Clarentino Triadi satunya lagi itu namanya Nanang tapi aku kurang inget nama panjangnya dia. Nanang, Nino sama aku. Nah satu waktu ada informasi dari Mas Tony kalau di Survive Garage di area Niti Prayan itu bakal ada workshop musik elektronik dari teman-teman Darwin Neptune Orchestra. Jadi teman-teman dari Darwin Neptune Orchestra itu mereka datang ke bertiga mereka datang ke Survive Garage untuk bikin workshop soal musik elektronik dan juga seni visual yang menggunakan komputasi untuk kode dan sebagainya.

Waktu itu kita nggak ngeh kalau ternyata yang bakal di bakal diajari, bakal disebut di workshop mereka itu juga salah satunya adalah live coding. Nah akhirnya kita bertiga datang ke sana lalu kami pertama kalinya ngelihat beberapa software yang memang bisa dibilang mungkin baru saat itu. Ada pure data, terus ada juga processing itu kan mungkin dua itu cukup umum kan ya kalau di ranah sound art, musik dan juga visual gitu atau mungkin kreatif coding. Salah satunya ada lagi namanya Sonic Pi ini yang dibuat sama Sam Aaron. Waktu itu kita baru ngeh kalau ternyata ada ya metode bikin musik dengan kode kayak gitu yang biasanya kita pakai Max/ MSP itu berbasis objek yang kita colok-colok kabelnya gitu tau-tau semuanya script apa-apaan gitu kan terus akhirnya oh kayaknya ini enak nih kalau misalkan kita coba gitu.

Terus dalam satu hari yang tadi ya bertiga terus akhirnya masing-masing dari kami itu nyoba untuk latihan sendiri lah gitu. Jadi dari mulai ketika tau dibilang Sonic Pi langsung kita pulang langsung masing-masing pada belajar itu. Nah itu kalau gak salah di 2017 juga kalau gak salah. Nah dan di tahun itu tuh aku pribadi dari Sonic Pi itu baru ngeh ada istilah namanya algoritma. Ketika ngecek di Youtube ketika aku coba cek di video-video tutorialnya soal Sonic Pi. Karena langsung ketemu itu namanya Sam Aaron yang kreator di software itu.

Hoppla

Itu tahun berapa ya? peristiwa belajarnya itu tahun berapa?

Paguyuban Algorave Indonesia

Itu sekitar tahun 2017-2018an. Aku kurang lupa, kurang ingat jelas. Soalnya waktu itu penandanya itu tak tanda pake album. Jadi ketika tahu Sonic Pi ini bisa bikin sekian banyak pola sama trigger bunyi itu cepat dan ngolahnya juga bisa cepat. Karena kita tinggal ganti sintaks secara langsung terus aku langsung putusin, beberapa hari kemudian langsung bikin garapan langsung kita rilis dia jadi album. Nah aku mungkin perlu ngecek lagi kapan tahun rilisnya. Karena waktu itu belum ngerti juga istilah Bandcamp dan tempat. Platform lainnya cuma langsung Youtube.

Nah terus setelah itu mulai ketika ngerti Sonic Pi, aku langsung sempat juga ngecek peristiwa-peristiwa algorave yang lain. Dan ternyata tak kira itu algorave cuma sekedar Sonic Pi. Tapi ternyata dia luas. Gak cuma sekedar software satu, tapi ternyata banyak banget kemungkinannya. Dan aku juga disitu baru ngeh kalau ada istilah environment, livecode environment, terus juga kenyataan bahwa gak semua peristiwa livecoding itu hanya diwakili sama satu software tertentu. Tapi benar-benar siapapun yang punya keinginan bisa bikin sendiri environment mereka. Mau itu konteksnya bunyi, ataupun mekanik, ataupun juga istilahnya itu visual.

Nah terus satu waktu lagi ketika ada aku masih kuliah waktu itu di Prodi Penciptaan Musik di kampus ISI ini waktu itu ada mata kuliah kerja KKP (Kuliah Kerja Profesi), terus aku disuruh untuk bikin workshop di Ethnictro. Nah workshop itu mengenai livecoding musik software-nya pakai Sonic Pi. Nah itulah kita awal-awal ketemu sama Rifal untuk kita ajakin untuk testing kurikulum yang kita buat. Terus akhirnya kita sama-sama belajar terus akhirnya aku langsung bikin workshop itu. Nah nanti mungkin Rifal juga bakal cerita kayak gimana dia ngembangin prosesnya dia sendiri.

Dari situ ketika workshop itu selesai, mulai beberapa informasi tentang livecoding music muncul di Jogja Nah terus setelah peristiwa livecoding workshop itu kalau nggak salah ada momen dimana yang aku lakukan itu cuma testing sekian banyak software. Jadi dari mulai 2018 sampai 2020-an, eh sorry 2019 itu yang aku lakuin kayak nge-testing sekian banyak hal kayak mungkin software yang Sonic Pi dulu aku rampungin. Terus ketika ngelihat ternyata ada software yang lain langsung mulai coba lagi dan salah satunya ada seniman livecoder juga namanya Kingdom dari Kanada, Minnesota dia bikin weekly, pokoknya setiap hari Jumat dia bikin kayak livecoding from scratch sesi nya 1 jam, 2 jam gitu berapa kali dia bikin kenapa mungkin bikin musik-musik elektronik dari teknik livecoding tadi itu bener-bener full dari nggak ada kode sama sekali terus dia bangun.

Nah dari situ juga muncul kayak pengen tahu pengen ngerti ini sebenarnya software apa sih yang dipakai ginian tuh terus ternyata ketemu namanya Tidal Cycles terus aku juga baru ngetahu ternyata creator dari Tidal Cycles itu salah satu yang mencetuskan istilah algorave itu sendiri, si Alex McLean itu yang dari Sheffield terus dari situ mulai aku coba tekuni terus sekali lagi bikin album lagi untuk apa, untuk istilahnya kayak studi pribadi lah dan dari situ satu momen aku ketemu aku di DM sama Olivia Jack.

Olivia Jack ini creator salah satu library yang sering dipakai untuk aktivitas livecoding visual atau mungkin livecoding video sintesis lah namanya Hydra (hydra.js) dia ngabari kalau dia itu mau ke Jogja satu waktu, terus karena dia lagi lagi di Singapura kalau nggak salah terus akhirnya dia ngabari dan aku akhirnya bilang aku di Jogja dan aku juga ngambil aktivitas livecoding terus kita ketemu di lifepatch tapi waktu itu bukan lifepatch dulu, melainkan di tempatnya Mas Ucok (Andreas Siagian), sama Mbak Citra di tempatnya mereka nah terus ketemu di sana, akhirnya aku sama Olivia kenalan dan kita sharing soal sejauh mana aku udah dalemin soal live coding itu sendiri dan dari situ akhirnya aku sama Olivia dibikinkan sama Mas Ucok sama lifepatch, sesi waktu itu namanya ‘SSS’ atau Sering-sering Sharing kalau nggak salah aku lupa itu, tapi intinya itu ada juga seri agenda itu di lifepatch, terus kita akhirnya dibuat dibuatkan sesi itu berdua di situlah mungkin salah satu awal dari aku tahu komunitas algorave, bahkan mungkin TopLap, kalau pernah dengar TopLap ini bisa dibilang kayak dia yang menaungi sekian banyak riset, agenda dan juga komunitas yang berbasis livecoding atau mungkin seni komputasi jadi ada TopLap dan algorave itu bentuknya dia cuma nama sebuah acara di mana ya peristiwa livecoding musik terjadi dari situ ketemu sama Olivia dilanjut lagi, akhirnya dihubungi aku sama teman-teman, salah satu teman dari Argentina dia kebetulan salah satu pelopor dari komunitas di Buenos Aires namanya CLIC namanya Iris Saladino.

Dia ngajak aku untuk tergabung di grup telegramnya CliC (Colectivo de Live Coders), dan dari sana akhirnya bisa dibilang mungkin banyak peristiwa – peristiwa livecoding yang belum pernah aku lakukan sebelumnya itu kejadian, karena pasca itu di area Sewon ini, itu mungkin awal-awal peristiwa network livecoding musik, itu kejadian dan itu waktu itu diawali dari ketemu dengan salah satu senior dari etnomusikologi awalnya ngajak kolaborasi tapi akhirnya aku mutuskan untuk daripada kita kolaborasi noise aneh-aneh mending langsung kita yang lebih baru lagi aja dan waktu itu aku kenalin ke dia salah satu platform kolaboratif livecoding atau network livecoding musik dan visual namanya Estuary.

Nah, ini mungkin sampai sini agak banyak-banyak nama-nama platform yang mungkin baru denger ini.

Hoppla

Tahun berapa yang peristiwa itu?

Paguyuban Algorave Indonesia

Bang Gigi itu tahun 2019 kalau nggak salah itu jauh sebelum pandemi aku lupa itu 2019, itu 2020, tapi nanti perlu di cek lagi nanti di Instagram ada itu ya kan ya, pas sebelum pokoknya dia pas balik ke sini lagi kalau nggak salah itu itu area namanya di rumah hitam itu ada di sekitar di area deket-deket kampus, dan waktu itu kita perform Estuary dan juga software yang lain namanya Fox Dot itu juga untuk musik juga nah, Estuary ini kita perform bareng sama dua temen di Argentina Iris Saladino dan Monshekker.

Monshekker ini pasangannya si Iris Saladino disana, jadi mereka perform di Argentina itu jam 10 pagi kalau nggak salah disini jam 8 malam jadi kita perform daytime bareng dan bikin peristiwa musik pada umumnya terus setelah itu langsung akhirnya di tahun 2020 mulai banyak kolaborasi dan aku inget banget di 2020 itu kayak lagi naik-naiknya peristiwa-peristiwa live coding virtual, kayak festival-festival virtual itu banyak banget di konteks live coding kayak algorave VR terus juga ada beberapa festival-festival yang lain kayak kalau nggak salah itu dulu No Bounce ya, Tidal Cycles pun juga bikin agenda tahunan Tidal Cycles Winter Solstice.

Tiap gerhana musim dingin gitu mereka bikin acara bareng, marathon 24 jam sempet 3 hari marathon live coding secara virtual platform nontonnya masih di Youtube juga sebenarnya nggak jauh lagi disitu dan itu pusatnya ada di channel Eulerum namanya nah, ini jauh sebelum kayak masih belum ada ada kepikiran untuk bikin Pai bikin Paguyuban Algorave Indonesia.

Karena waktu itu kondisinya adalah aku masih cuma tau sekian banyak hal terus aku cuma ngajarin ke beberapa orang kadang nggak sengaja, kadang memang ketika dia mau belajar aku tak ajarin atau mungkin dari beberapa workshop. Jadi ini mungkin kayak salah satu hal yang bisa dibilang jadi faktor gimana live coding itu kesebar sendiri karena waktu itu aku nggak banyak denger juga kayak ada pelaku lain yang memang dia aktif dalam konteks algorave. tapi pelaku-pelaku live coding aku udah ada beberapa orang yang ngelakuin itu termasuk Mbak Riris juga, ini aku juga ngajarin dia waktu itu Sonic Pi ya? Sonic Pi sembari nunggu download Tidal Cycles yang bakal di utak-atik.

Karena peristiwa itu juga jadi mungkin ada sangkut pautnya sama momen awal-awal PAI kebentuk, dari dihubunginya aku lewat email sama kalau nggak salah nama itu Filippo Rossati, salah satu artistic director dari Umane Simo Artificiale dia tanya ke aku untuk, dia minta bantu untuk nyari tau apakah ada pelaku live coding lain di Indonesia yang punya punya relasi dengan algorave, ketika aku cek algorave Indonesia yang muncul hanya nama aku nah disitu aku langsung mikir ini darurat, kalau buat pribadi karena aku rasa sekian banyak hal pengetahuan dan juga kemungkinan yang bisa muncul tapi kalau cuma berhenti di aku, aku mikir kayaknya ini nggak masuk akal karena pasti hanya berhenti pada area-area yang aku tau terlebih aku emang nggak punya latar belakang programing, aku cuma menggunakan metode komputasi hanya untuk peristiwa musikal atau mungkin seni rupa pada umumnya.

Nah, dari situ ini tahun 2020 kalau nggak salah, 2020 akhir dari situ akhirnya aku ngobrol sama Mbak Riris untuk kepikiran bahwa kayaknya udah harus diagendain si Paguyuban Algorave Indonesia ini waktu itu kita belum tau namanya kita cuma bilang kayak bahwa kayaknya perlu deh, udah ada perlu diagendakan komunitas yang memang buat naungi para pelaku-pelaku live coding pada umumnya ini.

Soalnya dari peristiwa ketemu sama Gigih Alfajar di tahun 2019 itu tadi itu yang peristiwa network live coding musik awal itu dia kebetulan setelah itu pulang ke Tanjung Pinang dan dia ngajari satu kawannya di sana yang berujung kawannya ini juga akhirnya ngajari beberapa orang di sana lagi terus apa dari situ kan aku mulai perhatikan bahwa ini berkembang segera nggak langsung dan waktu itu juga Rifal di Madura dia juga apa ngasih bikin workshop juga tuh di sana pertunjukan dia bikin pertunjukan dan akhirnya beberapa teman-temannya itu juga atau penonton juga ada yang penasaran dengan peristiwa itu.

Ada juga namanya itu Khalif Munzira dia seorang filmmaker nah dia juga waktu itu pas tahun 2020 juga masih sama itu dia juga pengen belajar soal Sonic Pi terus itu dipakai dia rencana memakai itu untuk pertunjukannya dia di Surabaya kalau nggak salah atau di Malang aku lupa nah dari peristiwa dia nampilin pertunjukannya itu di Surabaya atau Malang sana itu ada beberapa teman-temannya dia juga akhirnya tertarik untuk belajar itu nah jadi akhirnya kayak getok tular gitu lah gak langsung siapa sih persebaran soal livecoding ini.

Nah, ketika aku udah sadar bahwa memang sekarang ini kondisinya udah mulai banyak yang ngelakuin aktivitas live coding itu sendiri akhirnya di tahun 2021 itu aku ngumpulin beberapa teman salah satunya ada Mbak Riris terus Ali Aska terus ada Rozikin lalu ada Bagas Koro dan ada juga satu lagi itu aku ya? aku sendiri berlima.

Berlima kita rapatin dan awalnya itu gak langsung ke Paguyuban tapi kita rapatin dulu, jadi kita pengen bikin kayak satu kelompok yang memang fokus ke laboratorium artistik dan emang fokusnya itu ke teknologi dan musik tapi malah berujung akhirnya kita jadi itu scene itu tapi juga akhirnya kita kepikiran untuk kayaknya kita harus lakuin deh ini si Paguyuban Algorave ini harus kita buat karena didasari oleh beberapa kesadaran yang sebelum tadi ku citakan, kayak dari mulai ada orang luar yang udah notice di Indonesia udah ada dan jadi mulai persebaran yang udah mulai sporadis gitu kan terus akhirnya yaudah di 2021 di Maret akhirnya kita bikin pergelaran algorave Indonesia. Terlaksana pertama di April. Nah, waktu itu kita langsung hubungi beberapa seniman dan musisi yang memang kita rasa mereka melibatkan seminimalnya komputasi lah dalam peristiwa musik mereka itu juga Mas Iyok juga terlibat kebetulan disana dan Mas Jay Afrisando juga terus Mas Patrick Hartono itu ada listnya di Instagramnya Paguyuban termasuk kalau dari Bandung itu ada Tommy Herseta, Jakarta ada di Mas Marcel (Invinixity) terus masih banyak lagi pokoknya itu ada di situ termasuk dari Tanjung Pinang juga dan Jogja.

Nah itu, meskipun waktu itu kita enggak memutuskan untuk semuanya di-treatment live performance jadi akhirnya kita pre-recorded semuanya itu tapi bisa dibilang itu awal-awal PAI didelegasikan lah. Nah itu cikal bakal awalnya PAI muncul sampai akhirnya kita punya beberapa program ke depan dan akhirnya teman-teman yang lain juga jadi kenal sama beberapa teman-teman yang di luar sana dan akhirnya punya jadwal yang sendiri kalau mau tak kasarin gitu kayak beberapa agenda-agenda dari PAI yang udah dilakuin itu salah satunya ada kita bikin kerjasama dengan teman-teman Proyecto MUTAR dari Peru itu kita bikin agenda konser yang terfokus pada realita mengenai latensi dalam konteks musik digital.

Itu kita bikin seri festival latensi musik konser meskipun pelaku-pelakunya itu adalah live coder tapi cita-cita kami itu mikir kayak ini bakal juga ngelibatin praktik-praktik musik yang lain dan enggak cuma terfokus pada live coding aja dan juga dalam beberapa tahun kemarin kita juga sempat ngadain bulanan agenda jam session pakai Estuary jadi kita buka akses terus orang-orang bisa langsung gabung untuk jamming bareng dan dari situ selain yang dibuat sama PAI juga kejadian juga beberapa teman-teman ada yang mereka ngajarin lagi di beberapa tempat lain.

Salah satunya Bang Gigih Alfajar itu dia kemarin sempat ngajarin ke mahasiswanya dia di NTB mengenai Estuary terus itu diajarkan lagi ke teman-teman SMA. SMA 1 Sumbawa kalau nggak salah. Nah terus akhirnya mereka itu sempat bikin konser atau apa tapi intinya mereka udah sampai di titik dimana mereka udah bisa main bareng satu sama lain meskipun waktu itu aku bener-bener lost untuk mantau kayak mau tanya kayak gimana sekarang perkembangannya butuh apa dibantu tetap nggak mereka semua udah bisa mandiri untuk terus itu sendiri dan mungkin bisa dibilang kayak peristiwanya itu banyak yang sifatnya sporadis karena emang bener-bener tantangan PAI sekarang itu gimana caranya untuk memformulasikan dari mulai internal sampai nanti bisa jadi satu komunitas yang memang solid gitu atau mungkin mapan.

Keinginanku sebenarnya ini itu cuma jadi ruang untuk fokus pada wilayah kajian jejaring dan juga memang untuk meneruskan kembali khazanah yang ada dalam konteks live coding tersendiri karena kurasa peristiwa di Indonesia ini mungkin bisa dibilang emang agak beda sama di luar sana dimana mereka semua rata-rata berawal dari kampus yang mungkin kayak mata kuliah di musik komputasi, musik algoritma terus mungkin di beberapa temen-temen di seni rupa juga ada yang fokusnya computational art terus akhirnya mereka mungkin keluar bikin komunitas sendiri ada juga nanti gabung programmer. Jadi kayak bener-bener semua itu ngumpul jadi satu dari yang awam, dari yang mulai gak tau soal musik atau mungkin cuma tau yang senang tentang musik aja semua jadi satu disana dan mungkin segitu dulu sih yang bisa diceritain soal Paguyuban Algorave Indonesia.

Hoppla

Tapi apa urgensi algorave itu buat stay di Indonesia?

Paguyuban Algorave Indonesia

Nah, yang aku sadari waktu itu ketika mau mencetuskan nama algorave adalah ini bisa jadi pintu awal untuk memahami sekian banyak potensi dari apa yang disebut seni komputasi itu sendiri soalnya algorave itu cuma satu lini dari sekian banyak bentuk kesenian yang emang melibatkan teknologi dan juga medium setiap apapun entah itu kayak visual atau mungkin aural dan sebagainya karena aku perhatikan algorave ini cuma sekedar area ajang tampil untuk rave dan hanya itu esensinya. Cuma kalau mau dilihat dari kacamata TopLap itu mereka malah lebih lagi konteksnya reset membangun lagi ke arah yang lebih terfokus pada elaborasinya jadi enggak hanya terfokus pada sekedar ini musik, kode, nari atau mungkin visual, reaktif, selesai.

Waktu itu aku juga sadar kalau pemilihan algorave juga agak sedikit tricky karena algorave ini kan fokusnya langsung ke sana kan nyata dan akhirnya kita fokusnya cuma bikin agenda itu aja padahal aku juga ngelihatin juga bahwa ada ranah creative coding ada juga ranah-ranah lain yang memang dia enggak cuma sekedar dibatasi oleh bentuk panggung dance dan pada umumnya terus yang akhirnya mungkin aku simpulkan meskipun namanya Paguyuban Algorave Indonesia saat ini memang dilihatnya hanya sebagai wadah untuk pertunjukan-pertunjukan algorave tapi rencana aku dan juga melihat dari potensi teman-teman itu kedepannya emang juga dibuat sekian banyak ruang untuk ngisi pertunjukan lab atau sesi presentasi, seminar dan sebagainya jadi untuk memenuhi sekian banyak spektrum yang ada dari aktivitas seni komputasi itu sendiri.

Hoppla

Tapi terus apa yang bedanya ya algorave di Indonesia karena gue dengar algorave pertama kali dengar algorave itu tahun 2016 cukup booming tahun 2020-an pas pandemi terus kadang gue bertanya karena gue dengerin beberapa dan kayaknya hampir sama semua apa yang membedakan algorave di Indonesia dengan terutama di barat? Bagaimana kalian mengadaptasinya?

Paguyuban Algorave Indonesia

Kalau secara bentuk mungkin enggak jauh beda tapi kalau secara corak mungkin ada beda. Kayak kalau disini kan langsung karena mungkin kebetulan di Jogja yang ngawalin beberapa kawan-kawan pasti akan langsung telusur ke sisi tradisi mereka kayak mungkin kasusnya Rifal dia juga lihat dari sisi tradisi Madura kalau dalam itu musiknya dia langsung akhirnya bawa aspek musik dari aspek dari tradisi mereka dia langsung pakai itu di pertunjukannya atau mungkin juga Mbak Riris juga pakai dari sudut pandang karawitan itu karawitan Jawa memang langsung dia fokus ke ngambil logika dari seni karawitan Jawa itu sendiri ntah gamelan, mungkin modus pelog slendro, atau apapun itu langsung dipakai di pertunjukan musiknya.

Nah yang ku bilang beda ini adalah potensi treatment-nya nanti ke depan karena aku rasa diversifikasi budaya di Indonesia ini sangat banyak kan dan dari situ aku sadar bahwa ini kalau hanya berakhir di IDM hanya akan menjadi satu hal yang sama aja sama luar tapi aku perhatikan masing-masing dari teman-teman yang maka aku ada yang nggak kenal, langsung tahu-tahu dia yang lakuin live coding mereka sering ngelibatin pandangan-pandangan mereka terhadap kesenian tradisi mereka sendiri untuk dituangkan dalam penyajian permaina. Mas Marcel salah satunya juga ngelibatin di Aksara Jawa, nanti ada lagi yang lain yang dia nanti pakai sementara ini emang fokus nggak jauh dari karawitan lagi, pelog slendro lagi dan sebagainya gitu cuma kalau mau dibahas soal potensinya karena software ini semuanya masih sifatnya open source. Maka, kan bisa jadi sumbang sih atau potensi sumbang sih, lebih lanjut ke depan nanti dari masing-masing live recorder di Indonesia untuk berkontribusi entah itu atau sudut pandang lain mengenai misalkan, tangga nada di Jawa itu sendiri ini mungkin sederhana tapi tangga nada yang atau set tangga nada yang ditaruh di beberapa software yang ada di algorave ini sendiri atau di live recording. Itu semuanya masih pakai susunan yang hanya terkaan umum, misalkan pelog.

Tapi dalam realitanya kan kita tahu bahwa tiap gamelan itu sudah punya ngang yang berbeda, dia patok nada dasar sudah berbeda semua akhirnya kan yang paling masuk akal adalah ini slendro berdasarkan gamelan kayak ini atau pengrawit siapa atau siapa empunya, pasti kayak gitu kan ini juga salah satu potensi ke depan nanti belum yang macapat belum yang mungkin teman-teman dari Kalimantan atau dari area-area lain belum dari Sumbawa kita nggak pernah tahu tapi dari sini kan udah mulai kelihatan bahwa ini bisa jadi bahwa ke sana nanti jadi potensi untuk kontribusi secara besar jadi akhirnya nggak lagi melihatnya sebagai lifestyle mungkin sekarang itu. Kondisinya dapet laptop langsung lihat ada software live recording gratis langsung download, langsung diaktifkan peristiwa itu dan hanya sekedar itu tapi mungkin ke depan nanti itu akhirnya jadi salah satu pintu awal untuk dia menyadari, atau siapa pun itu menyadari bahwa oh ini ada potensi lain dari apa yang dilakukan gitu sih kurang lebih mungkin buat yang lain juga tolong langsung nanya-nanya yang lain kalau mau nanya-nanya.

Hoppla

Apa pentingnya visual di algorave ini?

Paguyuban Algorave Indonesia

Kalau yang visual itu kan akupun baru tahu di tahun 2022 sampai tahun ini kan bahwa ternyata bukan sekedar Hydra saja yang kutahu untuk peristiwa livecoding itu. Mas Marcel tuh pernah bilang kalo P5LIVE salah satu software yang dipakai untuk creative coding yang memang apa salah satu pasangannya processing bentuk lainnya processing itu kan juga dipakai untuk juga ada namanya P5LIVE yang bisa dipakai untuk peristiwa live coding visual secara langsung gitu.

Nah, kalau musik akhirnya kan ada bentuk lain dan untuk visual akhirnya juga menurutku ada potensi lain yang merambat ke sisi creative coding pada umumnya yang fokus ke visual tapi juga akhirnya bisa punya potensi masuk ke opsi bentuk kekaryaan dalam konteks seni rupa. Hydra sendiri memang fokusnya untuk peristiwa yang dilakukan secara langsung tapi ternyata secara dasar kan dia dibangun dari shader, kalau mungkin pernah denger shader kayak livecoding terus GLSL (bahasa C), ketika ada logika itu berarti kan dia hanyalah salah satu bentuk treatment dalam konteks pertunjukan langsung, tapi dia juga bisa diperlakukan layaknya canvas dan kuas pada umumnya. Nah, ini juga kulihat sama juga di peristiwa kayak p5.js dan juga beberapa hal yang lain jadi akhirnya dia menawarkan sekian banyak hal yang mungkin aku juga belum tahu secara teknis. Tapi kalau misalkan mau disebut gitu, dia akhirnya menawarkan sekian bentuk yang akan berhubungan dengan seni rupa pada umumnya seni tari juga bisa karena akhirnya dia berhubungan dengan gesture, interaktif juga.

Nah, sampai sini aku cuma ngerti bahwa dia akhirnya cuma jadi opsi yang bisa dipilih karena sejauh ini yang ngembangin pada tingkat yang mungkin sifatnya elaboratif gitu itu aku belum tahu begitu banyak karena rata-rata tawarannya cuma alternatif VJ dan disitu tapi juga ada sehari ini kalau kita mau bahas mungkin net art atau seni-seni digital pada umumnya udah bisa diwakilkan dengan sekian banyak opsi tadi p5.js, Hydra pokoknya library yang memang khusus untuk visual gitu, itu udah bisa diwakilkan untuk hal itu ya,

Hoppla

Ya, gue kenapa nanya itu sebenernya, karena tadi kayak kalian dapet kliknya di sound gitu, coba di Karawitan, masukin, nemu gitu, nemu klik-klik kemungkinannya. Makanya gue bertanya tentang visualnya, mungkin nggak gitu menemukan hal-hal yang lebih spesifik lagi, seperti yang kalian temukan di sound gitu.

Paguyuban Algorave Indonesia

Iya, Mas. Nah, yang aku ngeh lagi itu, livecoding, mau itu musik atau visual, semua masih ada hubungan sama generatif. Secara nggak langsung. Kalau bahasan yang sekarang lagi populer kan di seni generatif, meskipun memang juga ada perdebatan kayak ini algorithmic art atau generative art. Cuman akhirnya hari ini aku perhatikan keterlibatan chance atau pengacakan atau pseudo-random dari sekian banyak fitur ini itu, itu tuh udah jadi hal yang mungkin sementara populer, tapi sejauh ini aku belum melihat kayak ada yang berusaha untuk apa istilahnya, mengkaji secara komprehensif.

Karena aku, kalau aku perhatikan, rata-rata cuma jadi sarana untuk ekspresi artistik. Jadi belum sampai titik di mana ini bisa jadi sekian banyak kajian yang dibuka untuk umum. Karena aku sadar, sekian banyak kita lakukan pertunjukan livecoding kayak beberapa waktu yang lalu. Penonton selalu bingung, ini apa? Dan pertanyaan yang selalu sama di setiap peristiwa. Sampai akhirnya aku simpulkan bahwa memang takdirnya algorave sementara memang untuk memicu dan untuk jadi anomali. Tapi aku juga percaya bahwa kemungkinan hari nanti ini udah sampai di takaran yang udah umum. Nggak lagi awam. Jadi nggak lagi kayak ini aneh atau asing.

Karena di luar sana beberapa kasus mereka udah berusaha untuk membuat hal seperti ini atau algorave itu jadi umum. Mau itu konteksnya visual atau musik tadi. Ada yang dia sampai akhirnya make itu dia pakai Hydra juga untuk fashion. Dan juga ada yang dia pakai Hydra untuk karya-karya video art. Jadi masih sejauh ini kayak hal-hal yang sifatnya mau atau akan ke sana.

Hoppla

Gue lihat algorave itu pas di Bangkok. Setnya cukup menarik. Ada layar gede, pas di tengah jamming live coding, ada generative art muncul dan kemudian gue merasa kayak kok gue tidak menikmati ya? Kok gue ngerasa berjarak gitu ya? Karena gue tahu itu adalah dari mesin atau gimana?. Tapi kan musik itu kan juga matematis ya sifatnya. Itu gimana menurut kalian? Gimana kalian menyiasati supaya dia tidak berjarak?

Paguyuban Algorave Indonesia

Kalau yang sejauh ini aku perhatiin. Aku ngeh ya, kayak PAI ini sebenarnya juga agak aneh. Kayak ngapain dapur dilihatin. Tapi di TopLap itu jadi bagian dari manifestonya mereka. Kenapa itu dilihatin ke sana audiens gitu. Nah, hematku melihat peristiwa itu karena memang akhirnya jadi punya sekian skala. Kalau aku lihat, untuk awam nyata cukup nikmati peristiwanya dan pengalamannya. Serius. Karena menurutku itu nggak bakal beda jauh dengan musik kontemporer klasik pada umumnya.

Katakanlah sekarang tahu-tahu ada ensemble dari Prancis datang terus dia mainin karya-karya musik yang kompleks dari komponis-komponis baru sana. Ya nyata kita cuma duduk, diam dan kayak oke, selesai. Tapi kalau next step-nya lagi untuk orang yang mungkin kayak ngeh bahwa oh ada kayak gini ya terus mungkin dia baru tahu dari sisi katakanlah elektronik musik atau dari audio engineering gitu. Dia pasti akan melihat dari sisi treatment audionya desain audio atau desain musik atau desain dari tampilan visual yang ditampilkan gitu.

Jadi, akhirnya dari awam terus ke para praktisi yang mereka masih nggak ngerti soal kodenya, tapi udah ngeliatin kayak mungkin sisi dampak dari bunyi atau mungkin visualnya terus kemudian karena sebenarnya dari praktisinya juga ada masalah. Kalau kayak gini gimana dong berarti ngolahnya atau mungkin dari kayak gini gimana dong mixing, mastering-nya soal musik gitu. Terus kalau di berikutnya lagi, untuk mereka-mereka yang mungkin programmer, itu mungkin mereka melihat kayak oh ini tuh bukan javascript ya oh ini bukannya Ruby misalkan atau mungkin ini pakai Python gitu. Jadi ada scan banyak lini. Nah akhirnya, oh mungkin yang terakhir itu yang sesama sesama livecoder.

Karena nyontek itu akhirnya jadi kayak sah untuk nyontek kode yang ada disana. Kecuali di lisensi sih. Kalau di lisensi nggak. Tapi kalau livecoding yang langsung pasti itu nggak ada masalah sama sekali. Karena beberapa kasus juga malah senang kalau kodenya dipakai.

Nah, disini kan juga ada hal yang mungkin agak anomali kan. Orang develop sesuatu, dia nggak boleh sama sekali buat soal kodenya. Tapi disini malah boleh, terserah mau diapain. Meskipun ini masih pada ranah personalnya masing-masing. Nah, dari 4 ini yang aku simpulkan, yang ditawarkan oleh livecoding itu sendiri adalah sekian banyak potensi tafsir. Dan sekian banyak potensi yang bisa dimaklumi. Dan apa yang akan dilakukan pasca memaklumi tersebut. Atau pasca menyimpulkan dari apa yang dia dapat tersebut. Karena akhirnya kembali ke masing-masing untuk treatment itu. Treatment apa? Apa yang dia dapat dari peristiwa itu?

Hoppla

Jadi perlu nggak lo menampilkan generative art untuk visual? Atau malah generative art-nya itu sendiri yang bikin kita kayak berjarak?

Paguyuban Algorave Indonesia

Tanpa kode?

Hoppla

Tanpa kode dan tanpa generative artnya.

Paguyuban Algorave Indonesia

Tanpa layar? jadi cuma laptop, panggung,

Hoppla

Mungkin. Tanpa visual.

Paguyuban Algorave Indonesia

Oh tanpa visual gitu sama sekali ya? Sah, nggak masalah. Tapi mungkin bertolak belakang dengan si manifesto yang TopLap tadi. Dan mungkin posisinya itu cuma jadi peristiwa musik elektronik. Segitu halusnya dia. Soalnya kalau lihat teman-teman di Argentina atau di Amerika Latina itu aneh-aneh. Itu ada yang dia nge-band sampai ada yang ngoding. Terus Alex McLean juga pernah duet doang sama drummer dan juga laptopnya dia. Tapi tetap ditampilkan.

Ada dari Amerika juga ada Dan Gorelick namanya. Dia juga kolaborasi sama cellist. Ada juga yang sampai malah balikin logikanya. Jadi pemain piano tiap note-nya itu tiap tuts dari piano itu udah punya algoritma tersendiri untuk nge-trigger bunyi dari komputer yang udah disiapin. Jadi yang ngoding malah pianisnya. Dia nggak ngoding tapi di sistemnya dia itu satu nada itu udah keprogram untuk memilih sekian banyak potensi yang ada kayak di random lagi.

Hoppla

Tadi kalian sempat nyinggung ada recording-nya. Pas mastering-nya. Sedangkan dari awal kayaknya live itu jadi nafasnya. Nah itu gimana? Sedangkan live kan kadang-kadang kesalahan bisa jadi sesuatu. Kalau recording kan udah dirapihin. Jadi nanti jadi lawan naturalnya gitu.

Paguyuban Algorave Indonesia

Nah, yang mungkin ini juga sempat ada diskusinya juga tapi diskusinya kayak nggak yang sempatnya kayak forum gitu. Jadi peristiwa mixing-nya live coding musik itu memang live atau prepare. Jadi di live coding itu ada dua cara. Dua mungkin ya dua metodenya. Ada istilahnya itu kayak from scratch yang memang murni nol dari nggak ada sama sekali kode terus dia bangun building sejam itu murni terus akhirnya udah selesai.

Terus ada juga yang prepare. Jadi dia udah nyiapin entah itu utuh, dia cuma tinggal evaluate. Atau dia improvisasi dari sekian script yang dia udah siapin itu sendiri. Nah terus akhirnya yang cuma jadi fokus itu di masalah mastering-nya. Dan mastering-nya ini pasti nggak jauh beda dari musik elektronik pada umumnya. Mau kayak gimana dia ngatain itu. Nah sampai sekarang juga yang jadi perkara itu sejauh ini.

Terus mixing-nya gimana ini akhirnya. Nah kembali ke live coder-nya sendiri. Aku lupa siapa namanya, tapi ada live coder yang punya statement bahwa apa-apa yang dihasilkan dari peristiwa yang dia buat penentunya tetap live coder-nya sendiri. Buruk baiknya atau mungkin efisiennya ya dia sendiri yang menentukan. Makanya kadang live coder itu banyak, tapi kita bisa lihat langsung kayak skala kemapanan atau virtuositas dia bermain entah itu visual atau musik, itu bisa dilihat dari kayak cara dia menyusun sintaks kodenya itu. Dari situ sih.

Jadi kayak range ini sih apa ya, kalau di musik kan jelas ya kalau misalkan awam gitu main akor, mungkin nyebutnya kunci. Jadi kayak dia punya sisi pengalamannya yang lain dan emang jelas punya skala dari mulai awam sampai punya virtuoso.

Hoppla

Di antara dua itu yang menurut lo pribadi yang paling asik? Yang mana?

Paguyuban Algorave Indonesia

Yang from scratch sama prepare tadi? Jujur, from scratch. Ya tuh, from scratch nyata. Kalau salah udah berhenti. Bener, bener tuh sering banget kejadian kayak mati di tengah panggung. Atau malah muncul Siri ya kan, nggak sengaja kepencet gitu.

Hoppla

Bukannya itu malah jadi performance yang lain ya? Jadi noise.

Paguyuban Algorave Indonesia

Dan itu akhirnya munculin gagasan apa? Wacana baru sebenarnya. Karena nyata gagal dan latency itu bagian yang erat dengan live coding, dengan algorave. Makanya kita bisa kolaborasi sama musisi yang lain gitu, kadang punya masalah banyak kayak kok nggak bisa ini sih? Emang gimana lagi? Ini kodenya nggak gerak.

Hoppla

Yang mahal live-nya itu.

Paguyuban Algorave Indonesia

Jadi error itu jadi bagian dari ini. Karena komputer pasti ngaruh. Spek komputernya ngaruh. Kesan lain. Nggak ekonomis dia. Kita pernah pake handphone juga nyobain kan? Pake HP juga pernah nyobain di Estuary. Estuary di handphone itu emang nggak efisien. Dan itu juga jadi wacana yang sementara ini sempat dibahas juga sama Abhinay Khoparzi dari India.

Itu kita sempat juga ngobrol kok belum ada yang bikin library live coding buat handphone? Kalau ada kan enak. Jadi akhirnya nyata itu langsung bisa masif. Orang-orang kayak nanti mungkin bikin band handphone, semua akhirnya kan di panggung. Kayak gitu-gitu loh. Yang kadang-kadang nggak sekompleks yang dipikirin. Karena eksekusinya kayak gitu rata-rata.

Hoppla

Ini tuh khas banget sih. Live itu khas kalian.

Paguyuban Algorave Indonesia

Yang mungkin jadi perkara lagi itu ketika udah jadi album. Nah itu. Album. Kan kalau kita bilang live coding kan nyata dia pertunjukan langsung. Makanya kadang-kadang banyak yang bilang ini tuh live coded. Ini simple kan? Coba ini live coded music. Ini albumnya hasil dari live coded track.

Atau ada yang juga yang dia siapin. Dan itu emang jadi kayak setengah langsung dia jadi aesthetic value -nya lah. Dari tiap kehadapan yang dibuat itu sendiri.

Soalnya emang kalau kita main album sebelumnya lagi kan cuma bisa ngambil sepenggal fragment-nya aja. Nggak bisa diulang lagi secara umum. Kalau kita bahas lagu, nyata ada hal yang masih ketat kan. Kayak misalkan intro-nya kayak gini, nanti verse-nya baru masuk gitu. Apa gitu. Ide-nya apa gitu. Pasti sama. Atau mungkin nanti ada improvisasinya dikit-dikit gitu. Tapi akhirnya jadi balik ke pembahasan soal bahwa real time, musik itu setidaknya real time. Yang sifatnya seni berisi waktu, semua real time. Nggak mungkin di tiap lokasi yang berbeda itu pasti sama. Kesannya sama. Tapi sebenarnya nggak sama sekali.

Karena nyata kan beda kan. Terus akhirnya yang dari pertunjukan-pertunjukan apa yang dia misalkan showcase albumnya dia di tiap-tiap pertunjukannya itu dia cuma ngambil kesan dari tiap-tiap track yang udah dia punya. Atau mungkin cheating-nya ya pake pre-record dia nggak garapnya album itu ya pre-record nggak live from scratch. Ya itu bener. Pre-record pun tetap beda. Karena pasti ada yang kayak telat. Telat masukinnya. Atau error dulu.

Kita keringat dingin dulu di panggung. Itu sering. Sering banget. Dan belum juga dibahas soal apa namanya citra tampilan, pertunjukannya. Karena menurutku kayak nggak banyak juga yang live coder dia kayak kayaknya nggak deh. Tegang semua. Fokus, tegang. Jarang yang kayak dia masuk wah gitu nggak. Biasanya cheat-nya langsung pake ini mereka, MIDI controller. Langsung tinggal gini kan, enak.

Hoppla

Pengalaman kalian bikin live yang bener-bener live fisik gitu terus yang online bedanya gimana? Rasanya?

Paguyuban Algorave Indonesia

Nah, ini mungkin satu cerita nih. Terakhir kita kemarin 2020 ini, kemarin kita sempet pas bikin 17 Agustusan karena sebelumnya kan kita semua rata-rata dari PAI performanya itu memang virtual. Jadi kita virtual tuh bisa dibilang ada yang memang cuma pre-recorded terus dia kirim, selesai kan. Ada juga yang memang dia harus pake OBS yang sifatnya untuk broadcaster terus dia tembak ke server yang udah disediain baru di-live-in gitu.

Jadi akhirnya urusannya kayak urusan sama latency dan sebagainya. Tapi kalau yang live ini mungkin bisa cerita nih, Karena kalau yang live ini baru kemarin, kemarin di 2020.

Kalau cara teknis, ini sih lebih enak virtual ya, karena kan cuma satu ujungan. Kalau pertunjukan fisik, lalu luar biasa pinjem layar dulu kayak kemana terus izin tempat dulu terus ngumpulin pelaku-pelakunya itu tadi terus kayak urutan-urutan kayak gitu terus belum nanti colokannya sama atau enggak buat ke proyektor yang penting.

Kalau saya di Madura tuh lebih suka live sih. Soalnya yang pertama mindset orang Madura sendiri live coding ini kan dekat sama informatika, programmer gitu ternyata musik ada ya gini-gini. Jangankan live coding lah, mereka dengerin musik orkestra pun sangat-sangat susah harus ke Surabaya, itu pun kalau nemu info kalau nemu lah jadi pertunjukan live coding tuh kayak buat mereka mahal lah. Wah ini keren lah cuma ada setiap saya perform tuh pasti ada error udah mungkin udah terlalu over ya saya ini organisasinya, tapi buat mereka wah anjing kok keren ya padahal itu error.

Itu error, cuma dalam hati itu error, gak kuat soalnya emang pas udah error tuh gak karuan-karuan ini suara cuma tuh pernah perform tuh error, cuman saya nyiapin moduler efek gitar kan, saya anak gitar pas error tuh muter otak, aduh gini mana, gimana untung ada modular delay ya udah ini perform delay aja tantangannya disitu sih. Gopoh nya itu yang seni seni gopoh gopoh tuh apa ya, gopoh tuh bahasa Madura. Ya gopoh tuh bahasa Indonesianya cheating deg-degan. Oh seni panik sama ini seni panik, paniknya itu yang mahal apalagi yang buat orang madura apa ini.

Emang beda kok mas kaya kalo yang live tuh nyata kalo prefer jelas prefer kalo pribadi prefer yang emang live ya karna jelas itu, testing beristirahat ya, error beneran gitu, kalo online kan masih masih paling kita alasan bandwidth atau kenapa gitu kan tapi kalo urusannya sama live gitu emang biasanya dari perkara karna aneh mas komputernya di rumah aman tapi kadang-kadang di live dia pasti langsung nge-jam sendiri.

Kaya cek cek cek lateng lateng dan yang menarik lagi, tiap software beda kasus error nya tuh beda-beda bahkan sampai sering banget, jadi aku pernah nemu sampai ada glitch yang unik cuman terjadi di Windows jadi kalo temen-temen yang pake Windows terus dia error, pasti itu yang keluar pasti itu yang keluar

Jadi misalkan Sonic Pi dia kalo misalkan error pasti dia langsung berhenti, atau dia ga control terus dia akhirnya kaya liar, error lagi cuman glitch yang keluar terus Tidal Cycles misalkan sama FoxDot, dua itu ketika error yang agak ngeri, langsung ada kaya bunyi-bunyi yang kadang nyebelin karena kalo masih ada sisa bunyinya masih mending. Nah ini yang kadang-kadang kaya jadi petakannya di situ cuman kan kita pribadi rata-rata itu udah maklumin. Ya emang kaya gini live coding, penonton yang ga mau kan lah pie, ini kok error gitu rata-rata.

Jadi kita masih ada di area itu masih kaya untuk ngasih tau bahwa emang error itu bagian dari peristiwa seninya kaya gitu terlebih ketika musiknya itu IDM yang intense, nah udah selesai makanya kadang-kadang banyak juga yang milih untuk bikin yang abstrak yang langsung kaya cuman jadi kalo error kan. Nah ini, bagian dari style ini gitu kan ntar diulangi lagi kan, dia lagi restart padahal panik gitu

Kan kemarin kasusku waktu live itu kan latency juga tuh jadi bikin rame gitu, udah sekalian rusak, habis tu berhenti mendadak. udah, selesai.

Terus kaya yang Agustus dan PAI ada Kolif, Kolif kan juga pake Sonic Pi, soundnya sangar pas rampung acara dia tuh langsung tuh liat tadi error ya tadi, kok bagus jadi kita ga pernah tahu, ya emang real time dan belum sampe ada kajian yang lebih lanjut soal konteks musik atau mungkin malah visualnya juga belum ada masih belum banyak juga yang kaji itu.

Hoppla

Visualnya kan ada dua, kalo live kan alat kalian sendiri nih ya mungkin rusak atau kalay virtual kan dua kali. Kalian harus mikirn dua kali resikonya. Resiko pertama di alat, yang kedua di jaringan dan bandwith.

Kepikiran gak itu untuk dijadikan, ya tadi, ya kalian udah jawab sih itu sebenarnya, jadi siasat artistik juga sebenarnya.

Paguyuban Algorave Indonesia

Di latensi musik konser kita mah kebanyakan banget gitu kan ya. Karena emang yang disengajain tuh emang kita harus nyari internet yang rendah. Kita cari internet yang emang bener-bener kayak gak cepet. Terus kita coba perform di situ malah bener. Terus sempet juga monitor audionya tuh emang dari Youtube.

Jadi gak dari si platform-nya Jadi kita perform dengan kondisi latensi yang dari Youtube itu sendiri gitu. Jadi kita lihat oh ini tuh baru sampai sini. Jadi kita gak tahu juga kayak peristiwa apa, peristiwa musik yang kita kasih itu apa. Nah, ini juga menarik soalnya ada dua realita yang terjadi.

Dampaknya sama yang diproses. Jadi kadang tuh sampe nanti titik dimana kayak kita udah tau nih dari liat kode dia doang, ah paling ntar bunyi kayak gini kok, kayak gitu atau mungkin kayak ah udahlah ini biar jalan, ini yang menurutku juga agak unik. Nah, terus dulu sempet Mas Gatot Jadi salah satu senior kami juga itu dia emang ada di musik. Temennya mas Tony Mariana juga beliau tuh bilang bahwa dari live coding ini kita juga jadi tau bahwa ada dua hal yang berbeda.

Logika instrument dan logika matrix atau sistem konteksnya bunyi atau visual. Jadi nah ini mungkin agak beda sama yang di luar karena di luar bilang laptopku instrument. Tapi dari sini juga jadi tau kayak instrument nyata dia perpanjangan organ manusia.

Entah apapun itu misalkan gitar ya kita bisa cakar orang, tapi kita punya punya adab gitu kan atau punya akal maka akhirnya kita petik atau kita bisa teriakan orang. Terus kita akhirnya karena kita tau kita punya punya sisi manusia. Akhirnya kita tiup terompet atau mungkin flute dan sebagainya. Tapi dalam langsung live coding Ini kita kayak mandor Jadi kita nyuruh komputer untuk kerja apa yang ada di kepala kita jadi kayak tolong dong bikinin pola kayak gini dong yang nurut ya langsung aja jalan.

Dan bener-bener kayak peristiwa dia jalan itu paska kita udah melakukan jadi nggak langsung direct. Jadi akurasinya emang beda sama instrumen pada umumnya dan itu juga berlaku juga di visual, dipakai untuk VJ misalkan. Nah makanya treatment-nya banyak akhirnya karena live coding ini sebenarnya dia itu apa ya sebenarnya kayak model mentahan lah mas karena pilihan aja mau dipakai untuk apa namanya misalkan emang bener-bener pengen murni coding gitu ya ada konsekuensinya atau misalkan pengen dipakai untuk semuanya dijadikan set jadi. Akhirnya kita udah siapin controller untuk sekedar trigger, matriksnya doang, trigger sistemnya doang selesai.

Jadi ada hal kayak gitu yang akhirnya jadi kebaca dan mungkin masih banyak lagi dari situ dan aku percaya juga kayaknya karena kebetulan ini pandanganku pribadi mungkin Rifal sama Riris beda lagi karena kebetulan kan mereka juga punya aktivitas yang berbeda juga dan belum kawan-kawan yang lain yang dari Bandung yang emang gak tau mungkin dari sudut pandang musik atau sudut pandang visual ada yang kayak dia emang pengen nyobain atau dari karawitan juga ada yang mau nyobain dari yang sifatnya dia memang programmer pengen nyobain banyak banget.

Hoppla

Sampai hari ini seberapa banyak?

Paguyuban Algorave Indonesia

Sampai hari ini banyak yang tak bilang itu baru puluhan, mungkin belasan yang aktif mungkin cuma 5 yang aktif kita gak banyak banget sebenarnya kalau yang aktif cuman pelaku-pelakunya yang ke-detected yang udah ngelakuin itu puluhan setahu saya. Soalnya kan dari mulai algorave pertama itu udah dapet belasan orang terus ketambahan yang mereka baru gabung-gabung dan gabungnya itu cuman dari ngeliat instagram terus ada link telegram yang dibuka umum.

Makanya ini kan yang jadi peer (pekerjaan rumah) sekarang itu gimana internal ini harus aman dulu makanya sekarang ini kan aku tahu perkembangan di luar dan Indonesia secara umum Itu lagi gerak ke seni-teknologi itu lagi banyak sekarang.

Dari mulai NFT muncul dari mulai sekarang ada isu web 3 dan juga apa pameran-pameran seni media baru yang lain kelihatan kayak ada arsitek yang dia merambat karena coding mungkin. Terus ada juga karena sound dan lain-lain. PAI sendiri belum punya statement secara personal yang memang dibuat tokoh terlebih dahulu untuk segera ngembangin sekian banyak hal agenda yang diinginkan kemarin-kemarin Itu. Pekerjaan rumah terdekatnya sekarang itu kurang lebih.

Hoppla

Pertunjukan kalian sudah berapa totalnya atau ada di website?

Paguyuban Algorave Indonesia

Jadi ini masih di Instagram sama telegram. Kayaknya kalau yang tahunan baru yang kemarin sama apa sih Agustus Live Code Algorave sama Estuary Monthly Jam Session, kolaborasi dua kali Latency Music Concert Costa Rica. Costa Rica Peru Agreement sama Latency Music Concert Itu sih klo sekian hal emang kagak sporadis emang.

Kayaknya ini memang perlu ada tim penulisan juga kan juga gini mas kebetulan tuh Paguyuban Algorave Indonesia itu juga agak gerak bersamaan dengan beberapa komunitas yang lain salah satunya Contemporary Music Musicians Itu juga dia kan fokus ke Laboratorium Sound Technology and Music dan Memang agendanya tuh fokus ke kajian-kajian.

Jadi festival selama 3 hari Atau 7 hari undang beberapa musisi-musisi Indonesia yang memang kategorinya musik yang dapat dibahas gitu kalian dateng, terus akhirnya bikin diskusi, dan udah terus akhirnya ada penulisan dan dokumentasi dan sebagainya dan kebetulan kan PAI pernah juga dilibatkan di Overall Meeting juga dan memang bisa dibilang kayak belum sampai titik dimana ini semua diformulasikan dengan enak gitu atau dengan dengan mapan lah sifatnya.

Soalnya satu peminat ga begitu banyak malah dari musik sendiri rata-rata beban kali ya? kan lagi latihan gitar, disana tuh jazz terus satu-satunya kayak ada komputer nih terus ah, DAW aja lah fruity loops rampung gitu kayak gitu rata-rata.

Bedanya sama yang instrumen akustik saya sendiri kan main cello kebiasaan dari motorik sih jadi kayak kita nembak nada tuh udah bisa sedangkan kalau di live coding kan ada dua beban proses pikir, satunya proses musikal satunya lagi kan proses sintaksis yang kita kan harus mau membangun script biar jadi kode yang dimengerti sama si editornya itu sendiri.

Sedangkan kan platformnya macam-macam kayak Sonic Pi sendiri dia pake Ruby dan TidalCycles dia juga pake Haskell jadi kita kayak mau ke Sonic Pi juga harus ngerti kan sintaksisnya Sonic Pi. Itu kan kalau misalnya kayak di cello ke gitar yang penting kan tau nadanya tuh kan oh ya udah bisa nebak lah kalau di live coding kan ga bisa kita cuma tau logikanya doang ya pasti ga jauh dari source terus apa yang ngeproses itu output-nya selesai, mau itu visual mau itu musik cuman ketika ada Haskell kan bahasa-bahasa yang berbeda semua kayak kita belajar bahasa Spanyol terus kembali bahasa Jawa terus yang lain-lain gitu.

Tapi mungkin juga kalau kritikku soal Sonic Pi sendiri mungkin memang peer terbesar tuh di bagaimana menyimpulkan dan membungkus itu jadi seni jadi bahasa yang lebih lebih nyaman untuk dijelaskan atau seenggaknya komprehensif yang ga terlalu rumit karena penuh lapis itu yang jadi peer dulu awal-awal juga mau ngejelasin ke orang kan live coding itu apa dan kita mikir kayak ya itu kita ngoding langsung. Kita belum dikasih tahu real time juga, gak semua orang tahu real time itu apa nah itu juga ada.

Dan sumber-sumber berbahasa Indonesia belum banyak sementara ini yang baru tertranslasi dalam bahasa Indonesia itu baru Hydra itu baru Hydra Estuary sempat juga tapi cuma dalam bentuk workshop jadi cuma apa namanya silabus kayak spreadsheet untuk workshop. Itu masuk Spotify juga, belum sampe dipublikasi itu sih.

Hoppla

Tapi apa ada kemungkinan bahasa universal yang kedepannya?

Paguyuban Algorave Indonesia

Lagi peer juga ini buat tesis.Tapi aku pribadi tetep ada, tetep ada potensi untuk disimpulkan karena gak jauh dari logika musik sebenernya atau logika visual.

Hoppla

Narasi atau simbol? atau bikin simbol?

Paguyuban Algorave Indonesia

Mungkin malah jauh sebelum itu. Maksudnya kalau secara gagasan ya dia hanyalah bentuk lain untuk menghasilkan artefak medium itu.

Sebenernya bahasa kak kalau orang sound designer sama sound engineer mungkin lebih mudah ya, kalau yang klasik gimana harus butuh penyesuaian lagi butuh belajar lagi sih.

Karena kan tantangan pertama tahu dulu logika sintaks itu apa mereka harus ngerti dulu atau bisa juga dimulai dari jalur medium yang dulu kaya audio itu apa? sound itu apa? Karena beda praktisi beda disiplin beda juga perlunya, misalkan ketemu sound engineer yang dia bahas pasti kualitasnya. Kualitas audionya. Ketemu sama misalkan seorang visual artist beda lagi nanti bahasannya dia akan bahas kalau aku mau bikin warna ini Ini apa? Kalau mas Marcel kemarin sempat bilang apa? Logikanya ga jauh dari RGB atau CMYK tapi nanti ada lagi apa namanya perkara-perkara baru karena kita bermain dengan angka untuk nentuin hal yang nyata itu bisa digores langsung.

Kalau untuk ketemu sama programmer pasti bahasannya adalah logika sintaksnya jadi kayak ini sebenarnya pakai apa sih mas logika bahasannya ini javascript kok mas ga jauh ya dari situ dan pasti kesana terus yang katakan lagi karena banyak banget ya kemungkinan bahasan-bahasan yang bisa terjadi cuma dari peristiwa livecoding itu sendiri. Makanya aku pikir peer paling dekat itu menyimpulkan itu bikin simpulan-simpulan praktis untuk awal atau untuk praktisi yang baru tahu dan itu ga jauh emang cuma itu dulu karena sampai sekarang juga tantangan banget itu sebenernya aku juga pribadi nyimpulin baru berani nyimpulin kayak gini itu setelah sekian lima tahun.

Hoppla

Kalau kalian kan latar belakangnya dari musik ya? IP pengalaman kalian lebih banyak musisi dengan latar belakang musisi yang ikut algorave atau sebaliknya dari latar belakang programming yang justru malah bikin musik? dan bedanya apa sih kalau misalnya dari latar belakang musik bikin algorave sama dari belakang programmer bikin musik dari anak komposisi?

Karena programmer kan pasti pemahaman dia kan ga mungkin ga tau sedalam tentang musik atau konsepsi musik dan eksplorasinya bisa jadi justru mungkin lebih nyeleneh mungkin bisa jadi malah sangat terbatas.

Paguyuban Algorave Indonesia

Kalau aku kan jadi karena main cello lebih banyak main yang secara ansambel atau orkestra jadi kebiasaanku mendengar kayak oh itu yang di sisi sana dia memainkan Ini di situ memainkan itu jadi waktu main live coding itu terutama kalau main secara kombo ya duet gitu sama Rangga gitu aku berusaha untuk bukan tektokan sih, saling mengimbangi misalnya Rangga kode ritmisnya, aku akan mengisi itu sesuai gimana sih sisi musik itu secara penuh terus apalagi lebih memperhatikan momentum-momentumnya si partnerku itu memainkan apa dari sisi performance itu pun juga termasuk pengelolaan dinamika.

Terus melodi jadi ga terlalu dipikirin karena udah ngurusin script-nya sendiri dan itu selalu nge-loops kalau misalnya salah kan bikin beban lagi, jadi lebih kayak efek kayak high pitch yang aku tak perhatikan itu kalau yang punya latar belakang seenggaknya dia pernah bermain musik Itu pasti nyata dia ga jauh dari ngurusin kayak frekuensinya berapa pitch lah tinggi rendahnya misalkan atau volume atau dinamika tadi yang dibilang sama mbak Riris sama Rifal terus timbre bagaimana bunyinya itu dimanipulasi nanti kemudian durasinya berapa? Apakah mau dijadikan pendek sampai kesannya cuma transient atau mungkin dibuat drone sekalian misalkan dengan reverbsasi dan sebagainya sampai nanti mungkin ada juga yang dia matok spasialisasinya juga Jadi multi-kanal ga cuma sekedar stereo system.

Terus kalau dari keuntungannya yang belajar awal musik terus dia nge-coding secara ga langsung dia akan dia jadi ngeh bahwa di programming itu ada istilah function parameter terus argumen sekian banyak hal yang jadi objek-objek dari apa setiap sintaks yang ada dan akhirnya nanti kelihatan kayak oh ternyata cuma perlu fungsi pertama terus apa yang bisa dikontrol disitu parameter apa yang bisa dikontrol karena konteksnya bunyi dan belum jadi musik kan dia kan masih kalau konteksnya musik gitu atau konteksnya visual dia belum jadi olahan dan akhirnya dia akan sadar bahwa off material dasarnya ini terus baru kemudian ketika diolah nanti apa yang mau dijadikan pasangannya, pasangan yang lain atau mungkin modulatornya atau mungkin prosesor yang lainnya sampai akhirnya dibuat output sedemikian rupa atau stereo atau mono dan sebagainya.

Nah kalau untuk programmer yang gue tau fokusnya beberapa ada yang programmer yang udah ga di musik terus dia akhirnya ngembangin apa yang dia tahu dan cara dia ngelihat potensi. Yang bisa dia lihat dari beberapa seniman-seniman yang lain. Entah itu visual atau musik kalau misalkan dia programmer murni yang menurutku cukup menarik dia fokusnya akhirnya adalah mengembangkan dan ada juga yang memang dia itu fokus ke potensi-potensi sintaks yang ada jadi bisa dibilang kayak kontributor-kontributor yang banyak itu rata-rata mereka yang udah ngeh soal sintaks yang bisa diutak-atik dan juga bisa dijadiin template yang general dan beberapa programmer yang gue tau yang livecoding mereka kalau secara musik memang kesannya kayak berbeda tapi menurutku akhirnya jadi ada bahasan baru nanti cuman kalau secara esensinya mereka akhirnya berbahaya dengan sintaksnya mereka.

Ya bener yang kamu bilang kayak ada potensi yang terbatas tapi juga ada juga kok yang mereka malah bisa ngembangin lebih. Nah, di situlah akhirnya kan jadi ada potensi kemungkinan potensi yang bisa muncul karena ketika kita bahas livecoding kita bahas integrasi juga. Soalnya integrasi antar disiplin satu dan disiplin yang lainnya terlebih dengan dua realita yang beda tadi dan juga peristiwa real time yang gak pernah lepas dari situ ada juga yang dia memang fokus ke sonologi, misalkan terus dia juga komposisi juga udah mateng gitu beda pasti garapannya dia sama yang dia mungkin latar belakangnya gender tertentu terus dia ngutak-ngatik bisa jadi seperti apa yang dia tekuni sebelumnya.

Bisa jadi lebih daripada itu juga malah ada yang alakadarnya aja jadi itulah yang agak menarik menurutku malahan maka simpulan, mungkin salah satu simpulannya ya live coding ini mau itu visual mau itu musik Ini tuh peristiwanya mungkin bisa jadi belum jadi musik atau mungkin belum jadi visual secara umum gitu.

Hoppla

Masih script?

Paguyuban Algorave Indonesia

Akhirnya kesana arahnya

Hoppla

Berarti kalau begitu, waktu kalian live kalian kesadarannya akan jadi musik?

Paguyuban Algorave Indonesia

Itu macem-macem, menurutku macem-macem karena sangat-sangat personal. Nah, kalau dalam kasus live coding misalkan dan musik secara general yang aku maklumi dari live coding itu sendiri dia ada di antara bisa jadi dia musik bisa jadi dia bukan karena musik sendiri, pasti punya awal isian, dan akhiran.

Gak jauh dari seni berbasis waktu yang lain cuman konteksnya memang fokus pada stimulus-stimulus tertentu konteks yang paling terdekat, paling umum itu aural pasti soal bunyi cuman hari ini kita juga ada istilah yang itu kan mengenal soal multimedia composition misalkan dimana materi yang digunakan juga gak karuan cuman sekedar bunyi tapi mungkin juga getar mungkin juga cahaya mungkin gores visual misalkan atau ketidak sengajaan secara generative dan kalau aku melihat dari peristiwa konferensi yang pernah diceritain sama mas Jay Afrisando soal aural diversity konteks musik dipertanyakan ulang kayak bagaimana peristiwa musik itu kalau untuk teman-teman yang mereka memang apa? Buta, maaf atau mungkin tuli pasti nyata berbeda dan di situlah yang akhirnya jadi ku lihat pemakluman paling enak itu kan itu adalah bunyi-bunyi yang disusun dalam kurun waktu tertentu dan dengan kesadaran organisir.

Jadi misalkan ini sekarang kita ngobrol, ini kita rekam terus kita jadikan album kita sebut ini musik orang 1, 2, 3 mungkin bilang iya. Tapi sekian banyak orang bisa jadi bilang enggak nah makanya itu menurut ku akhirnya jadi ada titik-titik pemaklumannya karena kalau kita lihat dari beberapa kasus-kasus komponis-komponis dulu misalnya John Cage yang paling umum 4.33-nya dia yang dia cuma nyuruh pemainnya untuk diam selama 4 menit 33 detik itu ada yang memaknai bahwa itu kayak simpulan dari apa itu musik atau dari pertanyaan-pertanyaan kayak kalau ada bunyi di area luar sana apakah itu masih kita bilang bunyi atau bukan? Makanya menurutku yang paling enak yang ku lihat itu tadi musik hanyalah bunyi-bunyi yang diorganisir pada kurun waktu tertentu dan kesadaran eksistensi itu musik atau bukan Itu berada penuh pada siapa yang mengamini itu dan pasti konteksnya manusia, nggak jauh dari yang lain Itu sih,.

Dan itu yang aku temuin juga dari peristiwa live coding karena belum karuan yang bermain live coding konteks musik belum karuan juga yang mereka memfokuskan untuk mengolah itu jadi musik yang kita tahu pada umumnya. Makanya bisa disebut juga bahwa peristiwa live coding atau algorave Itu bisa jadi hanyalah peristiwa musikal pengaminan itu musik atau bukannya baru ketika individu tersebut mengatakan oh ini musik.

Hoppla

Bunyi aja?

Paguyuban Algorave Indonesia

Akhirnya kan jadi enak, jadi ada dua sisi Ini ke sound art juga masuk akal, tapi ke bukan juga masuk akal nah itu lah yang sampai sekarang pun aku lihat ini yang nyebelin gitu tapi nggak masalah juga karena ada peristiwa itu jadi ada tawaran yang anomali sifatnya buatku anomali karena jadi pertanyaan kayak ngapain kamu kayak gitu kamu ngapain sih kayak gini apa yang kamu lakukan?

Hoppla

Buat gue soalnya jadi kayak cuma mau baca ini ya sih kalau ketika dia akan motifnya ya berarti mainnya kan agak lepas tuh gak ada beban-beban lebih eksperimen lah kalau ketika emang udah jadi musik pasti kan udah ada patokan-patokan.

Paguyuban Algorave Indonesia

Dan kerasa banget loh mas yang dia cuek sama istilah itu sama yang dia berusaha memusikkan garapannya itu paniknya kerasa mas kelihatan karena dia mau nggak mau aku harus tepat reff nih sekarang reff telat, aduh gimana nih ya udah lah pasrah makanya menurutku jadi berkah juga sih ada istilah from scratch menurutku dari situ juga akhirnya ngeliatnya enak maka yang menentukannya live coder dia sendiri aku setuju itu siapa yang dia berperan gitu kan dia yang menentukan akhirnya gak ke sana sih orangnya pembahasan ku selalu ke sana itu sih soal musik tadi visual sejauh ini aku baca baru sampai peristiwa VJ dan juga para perupa yang membuat karya-karya digital atau mungkin juga yang mereka malah nge-plotting gitu pakai plotter, di print jadi karya rupa lukis pada umumnya atau mungkin digital aja gitu.

Hoppla

Kalau softwarenya tuh ada yang online? Seberapa sering orang menggunakan secara online? Softwarenya?

Paguyuban Algorave Indonesia

Estuary itu juga bisa dua kan visual eh bener ya? Bener, eh nggak visual sama Visual sama audio/ Soalnya dia juga bisa real time jadi bisa kita live signal masuk langsung vokal kita ke sana terus di presentasi lagi.

Hoppla

Di scene kalian tuh lebih banyak yang pakai software yang diunduh terus kemudian dipakai? atau emang langsung software yang online?

Paguyuban Algorave Indonesia

Kita seringnya dua, Estuary sama FoxDot dua-duanya masih dipakai mas kita nggak pernah lepas dari dua itu soalnya bahkan yang kayak Rifal misalkan dia cuma pakai Sonic Pi gitu ya ketika ada Estuary ya akhirnya dia mau nggak mau harus belajar itu. Karena kontennya juga ada tutorialnya praktisnya lah gitu dan kan beruntungnya kita komputer ada fitur copy paste toh mas jadi kayak kita bisa langsung copy paste gitu kan keren kan di panggung gitu udah siap notepad gitu paste langsung main ibarat lokasi lah terus langsung main iya akhirnya ke sana juga tapi itu bahasan lain lagi akhirnya. Jadi bahas ke partitur.

Ada mas kawan dari Itali juga dia itu bilang bahwa kode dalam live coding itu bisa juga dianggap sebagai partitur dinamis, Ricardo Ancona itu dia pernah kalau nggak salah dia kasih talk terus dia kolaborasi sama aku lupa itu dari Korea pokoknya nah dia bikin workshop soal itu dia njelasin soal live coding terus dia bilang bahwa kode dalam live coding dalam kasus musik berbasis live coding atau apapun itulah bisa dimaklumi sebagai partitur yang dinamis sifatnya.

Ini kan kalau dikaji dari sudut pandang musikolog ini jadi berbeda lagi akhirnya memaknai partitur itu nggak lagi kayak cuma notasi balok atau angka atau grafis gitu tapi juga ini bisa berubah-ubah gitu Iya ada improvisasi tapi ya akhirnya luas akhirnya bahwa potensi-potensinya

Hoppla

Kalian ada developer yang di Indonesia yang bikin gitu untuk live?

Paguyuban Algorave Indonesia

Belum mas belum ada ini lagi diagendakan ini lagi bener-bener kayak karena aku akuin mas kayak untuk sumber daya manusianya itu emang belum sampai sana rata-rata, rata-rata user memang user, tester terus praktisi, developer itu jarang tapi kita udah membahas soal gimana kalau kita misalkan buat juga di indonesia gitu atau kita juga buat misalkan kayak dokumentasi dengan transaksi bahasa Indonesia karena PAI ini fokusnya ke membuat khazanah intelektual tadi konteksnya live coding atau seni komputasi Itu jadi terbuka disini kita berusaha untuk membuat ini menjadi umum gimana caranya gitu

Makanya kayak peer utamanya tadi tuh simpulan-simpulannya harus bisa jadi simple ya sejauh ini kayak gitu sih ini masih dalam awal-awal banget aku juga belum yakin kalau misalkan dalam waktu satu tahun ke depan ini apa akan jadi banyak hal yang gede gitu tapi walau alam kita gak tau tau-tau nanti mungkin ada yang kayak hei jadi nih gitu kan ini bisa jadi gitu kan kita belum tau mungkin jadi kayak kesenian yang pasrah sih seni error tapi gak error juga sih ya antara lah dia banyak banget top scene-nya mas gitu sih ya sementara gitu kalau menurutku.

Hoppla

Sebenernya seberapa dekat sih logika bermusik atau posisi dalam bermusik dengan logika coding? apa Itu dua hal yang sangat berbeda itu sebenernya irisannya tuh ada irisan logikanya itu sebenernya gak jauh-jauh amat?

Paguyuban Algorave Indonesia

Garis besarnya tuh ada terutama di improvisasi bagian improvisasi itu ada looping, ada pengulangan ya walaupun gak bisa direvisi kayak juga komposisi ya komposisi kan banyak kan ada artifaknya terus bisa dimainkan ulang live coding juga ada analisisnya dan ada kita sisi memprediksi sesuatunya itu memprediksi dulu, analisis dulu terus evaluate evaluasi terus improving evaluasinya itu lagi terus baru looping-nya itu baru pengulangannya secara garis besar yang baru aku tangkap itu sih mas proses dari coding sama musiknya itu samanya disitu.

Nah, Rival ya, bener sih dan mau nambahin lagi kayak sebenernya kalau kalau kedekatan itu akhirnya kayak kalau bahasaku mungkin tepat gak tepat tapi kayak ngedekonstruksi ulang soal aspek-aspek dalam musik itu sendiri kayak akhirnya kayak lebih ngeliatnya secara esensi karena materinya pasti gak bakal jauh kok dari apa itu musik sendiri ya, ada materi bunyinya.

Pengolahannya kemudian strukturnya apakah itu jadi ABA atau mungkin malah kayak lagu ada intro, terus ada verse, kayak reff terus baru lagi interlude Itu bisa juga kayak gitu dan kalau kita mau liatkan sebenernya gak beda jauh juga. Dari sejarah musik itu sendiri dimana dan mungkin ini berkah juga untuk generasi sekarang karena sekian banyak simpulan dari tahun awal-awal itu musik dikembangin.

Konteks klasik dan juga tradisi kemudian berkembang dari yang terstruktur, punya tempo, punya sukat terus tahu-tahu berubah jadi kayak dibebasin gak perlu lagi kayak kepastian semua bisa dilakukan secara tidak pasti dan itu tuh malah jadi jadi pilihan-pilihan opsi jadi pilihan-pilihan ya, opsi untuk eksekusi garapannya dia sendiri apakah musik yang mau dia buat itu semuanya penuh struktur atau enggak.

Jadi secara simpulan dan gak bakal jauh juga dari lima hal tadi yang masih aku sebut karena yang dipikirkan dalam konteks materi musikal Itu gak bakal jauh dari frekuensi atau pitch, timbre dinamika terus waktu dan elaborasi adalah ruang terus dari lima ini nanti akan berkembang jadi perpaduan antara pola musikal satu konturnya dan kontur yang lain jadi tekstur kalau konteks musik terus nanti baru diklasifikasikan dalam sekian banyak bagian mungkin bagian intro, mungkin bagian kontrasnya baru bagian ending-nya dan sederhana itu misalkan kita ambil gaya bermusik minimalis misalkan yaudah itu diambil karena logikanya adalah pengulangan maka kita udah dikasih loop kalau dalam musik elektronik sekarang kan paling sering loop jadi penting nah loop ini kita manfaatkan Jadi alat bantu untuk pengulangan yang bisa sampai kapanpun kita nentuin Jadi gak lagi manusia yang kita khawatirkan tapi akhirnya kembali ke mesin masih gak jauh beda dari logika elektronik musik atau mungkin bahkan musik secara umum gitu.

Karena menurutku elektronik musik pun gak jauh beda juga sama musik yang umumnya juga ya meskipun misalkan pake midi terus pake sample misalkan tapi kalau udah dikasih vokal, lirik, lagu jadi ya kan atau misalkan dibuat abstrak dan sebagainya maka peristiwanya jadi kayak apa kayak noise misalkan atau mungkin peristiwa musik elektroakustik yang lain misalkan atau musik hidratif nah akhirnya genre dipertanyakan disitu seberapa urgent dia apa kepentingan kepentingan dan kebutuhannya untuk melabelkan genre pada kasus musik-musik yang konteksnya live coding karena menentukan kembali lagi ke pelakunya lagi jadi itu sih aku lihat Itu sih.

Temen-temen kita sih berkarakter ya kayak si Aska tuh selalu pake koplo iya oh iya bener dan pasti gak jauh dari gitu juga kayak kan kebetulan aja sekarang live coding coba kalau misalnya Ini diganti di kelompok musik umum gitu ada pengendang, ada yang main gitar atau apa gitu. Misalkan tuh terus berlangsung akhirnya kan jadi bentuknya seperti itu terus kalau misalkan itu nanti disadarikan, oh ini bisa juga diganti ke electronik, selesai dan gak jauh cuman kesadaran kayak kesadaran personal pelakunya itu yang jadi penentu Itu sih mas.

Hoppla

Harapan kalian paling apa kedepannya?

Paguyuban Algorave Indonesia

Ya tadi visi-misi Rangga yang itu bikin ini ternyata mungkin bisa terealisasikan satu persatu. Kalau dirimu harapan mau apa? Punya basecamp lah.

Pertama satu sih ramah juga sih buat anak-anak juga. Ini juga peer Soalnya sempat ada bahasan juga kayak karena awal-awal aku tau Sam Aaron bikin Sonic Pi aku baru ngeh kalau awalnya gak dibuat untuk algorave tapi dibuat untuk pengajaran anak-anak itu yang kaget terus mungkin kayak ada artis kayak hei algorave nih asik nih mungkin gitu dan masih jalan kan sampe sekarang itu jadi kurikulum di aku gak tau di negara mana tapi ada foto-fotonya termasuk itu yang aku juga jadi maksudnya kayak agak ngesentuh juga yang jadi bahasan ya peristiwa itu sebagai ilmu dan seringnya sekarang mungkin emang lifestyle tapi itu ilmu ternyata.

Dan menurutku kalau harapan ya Paguyuban Algorave Indonesia ke depan sana nanti itu semapan mungkin jadi bentuk komunikasi ruang lah akhirnya tapi juga punya tempat sebagai laboratorium infrastruktur. Iya, infrastruktur juga penting akhirnya ke sana kan kajian pula karena aku sadar bahwa sekarang yang mengakuisisi ini semua hal-hal praktisi tapi di wilayah kajian ini yang juga kurang dan aku sadar sekarang ini lagi darurat itu darurat para pengkaji dan makanya kayak banyak apa namanya yang overlap karena akhirnya para praktisi harus mau gak mau kita harus multi-disiplin dia harus ke sana juga dan dari situ juga Aku pikir yang paling esensi itu khazanah ilmunya tetap berlangsung sampai kita gak tau kapan tapi terus sampai akhir waktu lah.

Dan meskipun PAI misalkan bubar atau mungkin kata-kata memang ga ada lagi seenggaknya khazanah ilmunya masih jalan jadi sebenernya eksistensi PAI nya itu ga penting kalau menurutku dan yang penting itu khazanah nya jalan karena esensinya bukan di masalah kayak ini PAI nya lho tapi ini khazanahnya makanya. Jadi mungkin akhirnya di situ banyak hal yang aku belum pernah ketemu sama beberapa pelaku yang memang mereka praktisi tapi juga kayak ngurusin komunitas yang memang ke sana arahnya gitu karena aku rasa rata-rata memang akhirnya kan label itu yang harus ada padahal aku pikir khazanahnya harus ada dan disitu titik-titik pentingnya.

Ya, kedepan kan gak cuma aku atau yang disini yang bakal nerusin juga dan harapanku ya sampai di titik dimana semua komprehensif soalnya rata-rata aku pikir kayak sayang banget ya gak cuma di live coding kan peristiwa tapi di sekian banyak lini gitu khazanah di Indonesia ini hanya berakhir pada sekian bentuk ekspresi aja tapi kita belum nemuin simpulan konkret gitu soal harusnya gimana sih mengolah ini semua sekian banyak tradisi, sekian banyak bentuk budaya yang ada disini gitu, belum yang tidak terdokumentasikan bener belum yang lain juga konteks musik dan konteks audio atau aural dan visual lah katakanlah dan itu kan sampai sekarang masih belum banyak formulasinya nah Itu sih yang menurutku kayak jadi jadi hal paling nyata kedepan nanti tapi kalau konkret yang jelas-jelas ya tadi punya tempat infrastruktur, website juga terus agendanya lancar terus setiap tahun ada, setiap bulan ada karena ini tahun kemarin juga gak jadi nih belum jadi, pergelaran lagi. Itu sih mas menurutku.

2268 1752 Anggraeni Widhiasih
Ketik di sini ...

Preferensi Privasi

Ketika Anda mengunjungi situs web kami, informasi mungkin disimpan melalui peramban Anda dari layanan tertentu, biasanya dalam bentuk cookie. Di sini Anda dapat mengubah preferensi Privasi Anda. Perlu dicatat bahwa memblokir beberapa jenis cookie dapat mempengaruhi pengalaman Anda di situs web kami dan layanan yang dapat kami tawarkan.

Untuk alasan kinerja dan keamanan, kami menggunakan Cloudflare
required

Situs web kami menggunakan cookie, terutama dari layanan pihak ketiga. Tentukan Preferensi Privasi Anda dan/atau setujui penggunaan cookie oleh kami.