Peranti Antologi Hoppla

Peranti ini akan digunakan sebagai landasan riset antologi Hoppla ke depan dan akan terus berkembang seiring dengan proses pengumpulan data. Untuk saat ini mungkin akan terlihat tidak lengkap ataupun tergesa-gesa, tapi bukankah pemahaman kita terhadap teknologi juga demikian?

Seturut perjalanan riset, kami banyak menemui obrolan juga pernyataan bahwa kita tidak memiliki seni internet atau net-art. Meski sembari mengernyitkan dahi, kami akui bahwa pemahaman tersebut sah-sah saja jika dilihat dari bagaimana lajur teknologi internet masuk ke Indonesia. Pun, tidak sepenuhnya benar karena akan bias jika kita membandingkan seni internet di Indonesia dengan Barat.

Pertama, dari segi historis, internet lahir di Barat dan diinisiasi oleh militer; sementara internet di Indonesia diprakarsai oleh otak-atik individu/warga/komunitas, kemudian tersebar dengan keberadaan warnet. Kedua, internet Barat memiliki ciri khas kabel optik rapi tak terlihat yang menunjukkan kesiapan infrastruktur, lain halnya dengan Indonesia yang teknologi internetnya datang sebagai gelombang tren; alhasil, kabel optik bertaut karut-marut dengan kabel listrik PLN (Perusahaan Listrik Negara). Ketiga, teknologi internet di Barat diciptakan dengan maksud (by design), di Indonesia teknologi tersebut sebagai respons terhadap krisis dan tren.

Jadi, bagaimana bisa kita memukul rata budaya internet terutama dengan perbedaan sosial dan historis?
Jika kita gunakan cara baca baru apakah akan menjadi justifikasi semata?

Sebenarnya, riset awal kami ingin menarik pendefinisian dan menganalisis bagaimana kita menggunakan perangkat lunak untuk membuat karya yang lantas diunggah ke internet. Namun, untuk membuat pendefinisian, bukankah kami memerlukan kategori? Untuk membuat kategori diperlukan variabel. Bahkan kami belum mengenal betul apalagi khatam tentang faktor-faktor pembentuk variabel ataupun kategori-kategori tersebut. Kami rasa penelitian ini juga akan menjadi tidak signifikan jika abai dalam membuat landasan-landasan sederhana tentang cara berpikir.

Gambar 1. Skema pembuatan model pemahaman

Gambar 1. Skema pembuatan model pemahaman.

Hoppla memulai dengan logika sederhana, input dan output. Kita masukkan ketiga perbedaan di atas sebagai data input dengan label peristiwa, infrastruktur, desain. Lalu data yang diberikan akan diproses sehingga menghasilkan output. Pertanyaannya, apakah output tersebut sama? Tentu saja tidak, jika sama berarti kita menihilkan proses. Apakah serupa? Bisa jadi dan pasti dia memiliki karakteristik sendiri. Apakah beda? Bisa, tergantung bagaimana proses yang dilakukan dan variabel yang digunakan.

Katakanlah, data input penciptaan menghasilkan output penciptaan. Output akan tersebar, orang-orang akan mulai meniru prosesnya, tapi mereka memasukkan data input yang berbeda. Siklus ini akan terus berulang hingga dapat memunculkan input-output berkembang, pola baru, jaringan yang lebih luas, hingga mengaburkan bentuk-bentuk awal. Inilah evolusi teknologi, yang semula menjadi konsumen bisa menjadi produsen, crisis responder menjadi trendsetter; kita terus berputar mengalaminya termasuk era internet ini. Kita memang tidak akan bisa menebak hasil, yang kita butuhkan ialah pemahaman terhadap proses untuk memahami hasil.

Oleh karena itu, alih-alih menggunakan cara pandang global, sudah saatnya kita membentuk model atau framework sendiri guna memahami, mengamati, memperluas, dan mengakomodir kerja-kerja budaya teknologi ‘berkembang’ ini.

Hoppla kemudian mencoba menelusuri dan membahasakan model pemahaman melalui tiga tahap:

  1. Orientasi dan objektivitas
  2. Simetri dan asimetri
  3. Emansipasi derau
Tahap 1: Orientasi dan Objektivitas

[Saat ini kami belum memiliki orientasi dan objektivitas jelas. Sedikit terlambat menyadari, tapi apa boleh buat. Semoga kami dapat menemukan jalan dan tidak meracau di kemudian hari.]

Apakah kita ‘tersesat’ atau mengalami disorientasi? Pertanyaan ini awalnya muncul ketika kami mulai merasa jenuh dengan data yang kami analisis sambil sesekali bertanya apakah sudah tepat pilihan kami, pola apa yang terbentuk atau apa urgensi untuk membuat sesuatu yang canggih. Berkali-kali pula tidak puas dengan data bahkan kehilangan arah riset—meski memang riset ini dibangun tanpa hipotesis karena kami lebih ingin mencari dan mengumpulkan bentuk. Kami mulai melihat apa yang luput hingga kami mengalami kejenuhan dan ketidakpuasan. Di situ kami mulai sadar bahwa mungkin saja selama ini kami mengalami disorientasi. Artinya, ada asumsi, cara, pandangan yang mengganggu atau menantang keinginan, harapan, dan habitus kita yang selama ini terbentuk secara sistemis.

Riset ini bertolak pada pemahaman bahwa internet sebagai alat dan pemanfaatannya untuk seni akan menghasilkan jejaring-jejaring dan sistem baru. Dengan premis bahwa habitus penggunaan internet telah membentuk kesamaan atau common ground dalam hal bentuk, kami mengharapkan terdapat tingkat kecanggihan (meski parameter ini harus ditelisik lagi), desain sosial yang dihasilkan, dan pemahaman terhadap internet itu sendiri. Nyatanya, kami meleset. Bukan berarti ini buruk, tapi bisa jadi tanda bahwa orientasi tersebut memang gagal dari awal. Gagal sebab teknologi internet sendiri kacau sehingga menimbulkan banyak derau dan krisis yang terkadang dianggap remeh, kurang canggih, dan lain sebagainya.

Di sisi lain, derau juga bermuatan historis, karena setiap persinggungan pengguna internet dan teknologi internet yang digunakan menghasilkan jalinan transmisi keseharian, cara, dan pemahaman: bagaimana kita mendefinisikan internet, bagaimana kita membuatnya dengan cara kita sendiri, dan bagaimana kita menggunakannya.  Untuk menguraikan disorientasi dan mengarahkan orientasi kami ke depan, tiga pertanyaan dasar tersebut penting untuk ditekankan.

Akhirnya, kami berkutat pada pertanyaan definitif: apa itu internet? Sebelum melangkah jauh, kami putar pertanyaannya menjadi lebih introspektif: apakah kita mengerti internet? Kami pikir jawabannya tidak bisa “ya” atau “tidak”, sebaliknya itu tergantung pada latar belakang interpretasi yang kita bawa ke pertanyaan. Banyak yang menjawab internet adalah alat, ini adalah tipikal koresponden yang menggunakan internet keseharian. Ada juga ruang, bagi koresponden yang menciptakan ruang virtual. Sebagian menjawab jaringan, mereka menganggap bahwa internet ditujukan untuk berkomunikasi dan berkoneksi (sayangnya, kami tidak melemparkan pertanyaan ini ke publik, dan hanya ke koresponden acak).

Pemahaman kita selalu bergantung pada konteks yang juga memperumit kita untuk membuat pernyataan objektif tentang internet. Ada konstruksi sosial budaya seputar pemahaman kita tentang internet yang memiliki konsekuensi signifikan terhadap cara kita menggunakan internet, begitu pun sebaliknya. Sedangkan habitus kita atau bagaimana kita menggunakan internet sehari-hari juga menciptakan ilusi objektif dalam pemahaman, pada akhirnya tidak semua perspektif tentang pemahaman ini sama. Kita juga perlu mempertanyakan maksud “mengerti”, “paham”. Apa parameter atau tolak ukur pemahaman?

Hoppla mencoba mengeksplorasi lebih dalam tentang model pemahaman terhadap internet termasuk seni dan budaya di dalamnya menggunakan data serta metode kuantitatif di kemudian hari sembari tetap menelusuri bingkai sosial budaya yang membentuk pemahaman internet. Termasuk pula memahami bahwa ada pandangan teknologi (global) untuk melihat penggunaan secara seragam sementara teknologi dibentuk oleh kekuatan budaya yang lebih luas termasuk sistem dan infrastrukturnya. Metode campuran juga akan membantu kami untuk mempertanyakan bias, nilai, dan minat yang mendasari desain serta penggunaan. Namun, untuk saat ini, masih terlalu dini buat kami untuk membentuk orientasi dan objektivitas tentang bagaimana seni atau budaya internet kita.

Kami masih dalam tahap pertama penelitian dan banyak data yang harus kami kumpulkan untuk membuktikan berbagai praduga serta membahasakan intuisi kami. Namun, penting bagi kami untuk terlebih dahulu menata pemahaman dan mendaftar apa saja yang diperlukan untuk proses pelacakan, sehingga nantinya Hoppla dapat membentuk objektivitas serta orientasi ke depan.

Meski demikian, tahap orientasi dan objektivitas Hoppla membantu menyadari cara persepsi dan pemahaman kita tentang realitas dan objek teknis terutama internet, sehingga nantinya dapat mengembangkan hubungan kritis reflektif, cara berpikir, maupun pengambilan keputusan terhadap fenomena budaya berkembang ini. Kami sangat menekankan untuk membicarakan, mengajukan pertanyaan, menginterpretasi ulang guna membuat kemajuan model pemahaman yang berkembang.

Oleh karena itu, kami memantapkan upaya orientasi dan objektivitas ini sebagai pilihan serta proses negosiasi berkelanjutan antara komponen pengalaman subjektif, dinamika sosial budaya politik, dan objek teknis yang memediasi interaksi kita.

Tahap 2: (A)Simetri dan Titik Temu

[Sebenarnya ini bisa menjadi kuburan bagi kami. Selama kami fokus mencocokkan bagian-bagian puzzle, kami mungkin bisa lupa bermain dan bersenang-senang atau malah mungkin frustrasi karena ternyata puzzle ini sama sekali tidak berguna. Lalu, kami memperindah puzzle dengan deskripsi sosial yang tampak baru dan menyenangkan, menjualnya di etalase pasar wacana. Sungguh kuburan yang luar biasa]

Setelah meluruskan pemahaman dasar, kami beranjak ke pembuatan simetri dan asimetri. Tahap ini sangat penting untuk melihat kapabilitas teknologi sebagai pembentuk fenomena dan pemicu peristiwa yang bersifat individu maupun gabungan, serta menarik pola-pola. Alih-alih alat, objek, ruang, jaringan, kita akan menyebut internet sebagai informasi terintegrasi. Istilah ini cukup untuk menjadi simetri, menguraikan bagaimana sistem bersifat invarian di bawah rangkaian transformasi.

Lalu, apa fungsi simetri dan asimetri? 

Kami memperlakukan simetri sebagai properti fenomena dan peristiwa, sedangkan asimetri hanya bisa berlaku sebagai properti peristiwa. Fenomena menyediakan informasi dan alasan umum yang sudah disintesis dari informasi-informasi peristiwa. Sementara, peristiwa akan menjadi basis asimetri, mengacu pada timbal balik informasi yang terjadi pada waktu dan tempat tertentu, dapat didokumentasikan atau direkam, diamati, memiliki awal dan akhir, memiliki makna dan kepentingan tertentu. Peristiwa bermuatan sensoris, merupakan respons dan informasi tentang lingkungan yang kemudian diproses membentuk representasi realitas.

Properti ini harus tetap sama jika kita lihat dari berbagai perspektif, bahkan sekalipun kita mengubah kerangka acuan atau urutan yang digunakan untuk mendeskripsikannya. Simetri sudah lama menjadi obsesi di bidang matematika, fisika, sekarang data sains. Dan kami pikir metode interdisipliner ini dapat diimplementasikan ke dalam analisis-analisis kultural terutama seni media. Namun, simetri hanya dapat diberlakukan pada data-data level atas non-spesifik.

Simetri tersusun atas:

  1. Kelompok adalah sekumpulan operasi yang memenuhi aturan: 1) tertutup, hasil dari interaksi antar-komponen (nodul) yang menghasilkan komponen kelompok yang masih bagian kelompok tersebut (AoB=C=G); 2) identitas, karakteristik yang melekat pada komponen; 3) inversi, pembalikan urutan atau arah komponen-komponen, membalikkan peran, menambah komponen pengganti dalam suatu kelompok sambil tetap mempertahankan simetri keseluruhan sistem.
  2. Setiap sekumpulan operasi terdiri dari komponen (nodul) atas dan bawah. Komponen atas adalah komponen yang memiliki struktur tinggi yang memungkinkan untuk keseluruhan komponen jaringan bekerja. Komponen bawah adalah komponen individu atau komponen dasar yang memiliki fungsi unik dan khusus

Simetri muncul dengan keterbatasan, bahwa dasar peristiwa termasuk perubahannya pada akhirnya bersifat asimetris; sebab, kita akan dipaksa mengamati objek lebih dekat, menemukan semakin banyak kompleksitas, ketidakteraturan, dan keberagaman dalam struktur sistem. Asimetri juga membuka kemungkinan terhadap proses diferensiasi yang membuat suatu struktur bersifat unik dan spesifik.

Kami menyusun asimetri melalui noktah data yang di kemudian hari entah dapat dikategorikan sebagai komponen atas atau mungkin bawah. Ini masih tahap awal eksperimentasi kami.

Sementara itu, Hoppla secara khusus akan menggunakan simetri untuk melihat peristiwa dan potensi terjadinya fenomena secara luas sekaligus mendorong pencarian derau atau asimetri yang dapat mematahkan simetri itu sendiri. Kami merasa perlu untuk melihat dua sisi ini agar: pertama, kita tidak terperangkap ke dalam pemahaman, orientasi, dan objektifikasi pemegang kontrol teknologi; kedua, dapat mengamati interaksi objek atau komponen dan bagaimana mereka berintegrasi memunculkan sistem hingga fenomena yang kompleks dan beragam; ketiga, memprediksi perilaku pengguna; keempat, memungkinkan anomali dalam sistem sehingga kita dapat mengidentifikasi perubahan.

Melalui simetri dan asimetri, nantinya kita akan menemukan titik temu, persinggungan garis peristiwa-peristiwa teknis yang terjadi di sekeliling kita.

Kami akan memerikan dan menerapkan simetri pada pertanyaan kunci penelitian ini:

1. Apa itu internet?

Sebagaimana disebutkan di paragraf sebelumnya, premis kami adalah bahwa internet sebagai informasi terintegrasi menunjukkan internet bekerja seperti jaringan besar dengan banyak bagian berbeda untuk menghasilkan sejumlah informasi. Mudahnya, kita bayangkan potongan puzzle sebagai komputer dan gambar yang dihasilkan mewakili representasi kita terhadap dunia. Potongan puzzle tersebut baru dapat membentuk gambar utuh jika berinteraksi dengan potongan lain dan membentuk pengalaman pemahaman kita terhadap gambar tersebut.Bayangkan kita menyusun puzzle berdasarkan kesesuaian warna. Maka potongan puzzle akan kita kelompokkan menjadi kelompok merah, biru, hijau. Serupa dengan puzzle, internet secara teknis terbentuk dari kelompok, setiap kelompok terdiri dari komponen yang saling terhubung, berkomunikasi satu sama lain untuk berbagi informasi. Kelompok tersebut seperti server, ruter, komputer; masing-masing kelompok memiliki komponen yang terdiri dari komponen tingkat atas dan bawah. Komponen tingkat bawah adalah server, ruter; sementara komponen tingkat atas adalah komputer. Kedua jenis komponen tersebut akan berinteraksi untuk pengoperasian kelompok sinyal internet yang nantinya memungkinkan internet untuk bekerja.

Dengan kata lain, internet tidak dapat direduksi menjadi kelompok kerja atau komponennya saja karena informasi yang diproses dan ditransmisikan melalui internet merupakan hasil dari aktivitas terintegrasi dari banyak komponen secara keseluruhan. Lebih lanjut, kemampuan sistem untuk mengintegrasikan informasi bergantung pada kemampuannya untuk mengatur sumber informasi secara fleksibel dan dinamis. Oleh karena itu, meski kompleks, internet memiliki fleksibilitas tinggi dalam arsitektur, protokol, dan pemrosesan data yang memungkinkan pula untuk beradaptasi dalam menanggapi rangsangan lingkungan teknis.

Terlepas dari lingkungan teknis, penting diperhatikan bahwa input dan output eksternal atau lingkungan pengguna (user) berperan penting dalam membentuk informasi terintegrasi dari sistem. Kita tidak bisa memungkiri bahwa teknologi termasuk internet berkembang, berubah, dan tunduk pada dinamika sosial-politik-budaya. Faktor ini kami pandang sebagai bidang yang dinamis, terbuka, dan terus berubah menyediakan teknologi internet dengan kondisi yang dibutuhkan untuk perkembangannya. Misalnya, internet harus dapat memproses dan mengintegrasikan data baru dengan cepat sebagai tanggapan atas permintaan pengguna, algoritma pencarian, dan tren. Itu pun juga harus dapat menyesuaikan diri dengan perubahan teknologi perangkat keras dan perangkat lunak, serta faktor lingkungan teknis seperti fluktuasi lalu lintas jaringan, ketersediaan server, dan ancaman keamanan.

Namun, kita sebagai pengguna juga dapat mengontrol distribusi informasi, mengintervensi, hingga menyesuaikan bagaimana kita memberikan input data dan menyesuaikan bagaimana kita menggunakannya dengan intensi terbaik atau bahkan terburuk, menenun batas etis atau memanipulasi untuk kepentingan tertentu. Jika internet dilihat sebagai informasi terintegrasi, maka ia bukan hanya alat/instrumen pasif, tapi ia juga merupakan kekuatan aktif yang berkembang dan bahwa hubungan antara internet-komponen internet-manusia harus dipahami sebagai proses timbal balik.

2. Bagaimana integrasi informasi yang terbentuk secara luas? Bagaimana simetri internet bekerja

Sebenarnya, pertanyaannya lebih kepada bilamana kita merangkai peristiwa yang terjadi akibat internet ke dalam sebuah pola? Bagaimana merumuskannya ke dalam logika-logika teknis seperti yang sudah kami sebutkan di atas (kelompok, komponen)? Anggaplah lingkungan teknis sudah memiliki simetri, lalu bagaimana dengan kondisi sosial-politik-budaya? Apakah pola-pola tersebut membentuk fenomena?

Hoppla mengotak-atik proses, interaksi, pengoperasian, respons input-output lingkungan pengguna sehingga terjadi jalinan integrasi informasi yang membentuk peristiwa. Integrasi ini kami masukkan ke dalam simetri dengan mempertimbangkan tegangan dan kontrol yang dihasilkan.

Selanjutnya, hubungan timbal balik tersebut kami kategorikan ke dalam kelompok. Posisi kelompok dapat dipertukarkan satu sama lain dan tidak mengubah untaian respons informasi. Total terdapat 10 kelompok. Setiap kelompok akan membutuhkan penelusuran ke depannya.

Simetri Internet

Gambar 2. Simetri Internet. Simetri ini masih belum lengkap dan saat ini baru terdapat 10 kelompok yang kami identifikasi. Masing-masing kelompok dapat berinteraksi dengan kelompok lain dan dapat mengalami evolusi teknis. Kami mengundang pembaca untuk terlibat dengan simetri ini dengan mencetak gambar ini dan mengisi bagian yang kosong. Setelah selesai, kalian dapat melipatnya menjadi permainan tangan yang sekaligus berfungsi sebagai Model Simetri (lihat Gambar 3)

Gambar 3. Simetri yang dilipat menjadi Model Simetri

Gambar 3. Simetri yang dilipat menjadi Model Simetri

Mari kita ambil contoh kelompok tekno-kolonialisme yang menurut kami perlu disebut dan dimasukkan secara jelas ke dalam simetri. Secara historis, kita bisa runut mundur bagaimana teknologi digunakan untuk mengakselerasi kolonialisme, sebut saja moda transportasi seperti kereta api dan mobil yang mengefisiensikan waktu tempuh pengiriman pasokan perang, teknologi pertanian dan pertambangan yang memungkinkan pengguna untuk mengekstrak sumber daya seperti nikel yang diekspor melalui kamar dagang, hingga teknologi penunjang produktivitas seperti sistem pencatatan kerja di perkebunan. Kita tidak bisa menyebut teknologi kolonialisme hanya dengan melihat secara satu dimensi, apakah pasokan bahan baku perang dikirimkan dengan cepat dan lain sebagainya. Tapi, kita melihat bagaimana satu hal berelasi dengan yang lain dan membentuk semacam sistem yang kompleks.

Siklus ini tidak berubah. Kita balik ke era sekarang, tekno-kolonialisme beralih ke industri teknologi global yang mengeksploitasi sumber daya di negara-negara berkembang, sedangkan keuntungan diakumulasikan oleh perusahaan-perusahaan teknologi yang berbasis di Global North. Mencakup ekstraksi bahan seperti nikel di Indonesia hingga REE (Rare Earth Element) di Myanmar, serta data dari pengguna di negara berkembang, yang digunakan untuk melatih sistem algoritma yang menguntungkan perusahaan teknologi di Global North. Tekno-kolonialisme juga mencakup penggunaan teknologi untuk memperkuat struktur dominasi ekonomi, seperti para pemegang saham Silicon Valley yang menggunakan slogan techno-preneurship untuk mendirikan atau mengakuisisi startup teknologi di bidang anotasi dan pemrosesan data di negara-negara berkembang karena efisiensi operasional. Sementara, produk jadi teknologi yang kita konsumsi, yang dengan sedia kita izinkan mereka untuk mengekstrak data personal, memantau keseharian kita, menerima nilai-nilai yang mereka distribusikan.

Gambar 4. Salah satu kelompok simetri dan operasinya.

Gambar 4. Salah satu kelompok simetri dan operasinya.

Dari uraian di atas, ada tiga operasi dalam kelompok tekno-kolonialisme: efisiensi, konsumsi ekstraksi. Mereka memenuhi persyaratan sebagai kelompok : 1) tertutup, interaksi komponen yang diperuntukkan demi efisiensi (misal, komponen atas: pendirian perusahaan anotasi di negara berkembang) dan objek untuk ekstraksi (misal, komponen atas: anotator dari negara berkembang) akan menghasilkan interaksi yang mendorong bentuk-bentuk konsumsi (misal, komponen atas: data latih), konsumsi masih menjadi bagian operasi dari kelompok tekno-kolonialisme, interaksi ketiganya dapat dipertukarkan 2) identitas, ini dapat ditarik berdasarkan fungsi objek yakni efisiensi, konsumsi, dan ekstraksi, 3) inversi, katakanlah tidak ada perusahaan anotasi di negara berkembang, sementara interaksi dalam sistem harus berjalan sehingga urutannya dapat diubah menjadi data latih semakin membutuhkan data yang besar sehingga menarik perusahaan asing untuk masuk ke negara berkembang, perusahaan tersebut kemudian merekrut para anotator, dengan membalikkan urutan, grup dapat mempertahankan fungsi mereka secara keseluruhan dan terus membuat kemajuan.

3. Bagaimana integrasi informasi yang terbentuk dalam konteks Indonesia? Bagaimana asimetri bekerja?

Jawabannya, kami belum tahu. Kita ambil lagi contoh tekno-kolonialisme, dari pemaparan singkat di atas setidaknya kita sudah tahu tiga interaksi yang dihasilkan beserta dengan operasi penyusunnya: efisiensi, konsumsi, ekstraksi. Tapi apakah itu sama di Indonesia. Bisa ya dan tidak. Bahkan mesin pun harus menyesuaikan diri dengan lingkungan supaya berfungsi dengan benar. Kami meyakini bahwa saat komponen-komponen berinteraksi dengan lingkungannya dan beradaptasi dengan kondisi yang berubah, ia akan terus berintegrasi dan berdiferensiasi, terus berkembang dan mengembangkan kualitas dan karakteristik baru, kemudian membentuk entitas yang unik dan memiliki sistem sendiri. Ini juga berlaku untuk integrasi informasi.

Jika pencarian simetri ibarat potongan puzzle, asimetri adalah menemukan potongan puzzle tanpa tahu gambar puzzle secara utuh. Oleh karena itu, kami baru dapat memberikan noktah-noktah data terhadap apa yang kami pikir sebagai ciri internet kita berdasar dari tiga kota yang kami kunjungi secara singkat—Jakarta, Bandung, Yogyakarta: alternator, ekuator, dan hibrida lokal (hi-lok).  Noktah data ini dapat diartikan pula sebagai hipotesis kami. Juga, perlu diingat bahwa pemberian noktah pada setiap karya bergantung pula pada periode pembuatan karya merujuk pada lingkungan dan kondisi kala itu.

Gambar 5. Noktah Data Internet Indonesia.

Gambar 5. Noktah Data Internet Indonesia.

Untuk sementara kami artikan ketiga noktah data di atas:

  • Alternator merujuk pada beragam inisiasi atau upaya alternatif untuk membangun/menciptakan/mengembangkan/mengkonsolidasi cara, informasi, sistem alternatif menggunakan atau berbasis internet.
  • Ekuator merujuk pada karya-karya yang hidup di persimpangan antara analog-digital, seni-non seni.
  • Hibrida lokal (hi-lok) merujuk pada upaya untuk menggunakan karya warga di internet yang kemudian dikurasi, diubah, dan diberikan konsep menjadi karya baru.

Noktah data dapat mengisi komponen simetri, dapat pula menjadi kelompok, atau malah mengganggu keseluruhan sistem di kemudian hari. Saat ini, kami masih belum tahu dan tidak ingin berasumsi tanpa data.

Tahap 3: Emansipasi Derau dan Apa Itu Seni Internet?

[Penjelasan pendek karena kadang paham kadang tidak. Mungkin memang belum mampu menyerap-mengintegrasikan informasi, belum tahu dan paham betul.]

Seni internet menjadi salah satu proses negosiasi kami untuk mencari asimetri atau bisa juga menciptakan asimetri itu sendiri karena kami percaya kekuatan seni sebagai derau. Apa itu seni internet? Setelah mengoceh panjang lebar tentang internet, akhirnya kami bisa mengatakan bahwa:

  1. Seni internet adalah segala daya dan upaya kreatif untuk menggunakan/memanfaatkan/menciptakan/menginisiasi/membelokkan/menghancurkan informasi terintegrasi entah itu secara material hingga desain sosial.
  2. Seni internet ada di jaringan internet dan dapat pula digunakan secara analog dengan catatan bahwa ada entitas karya yang berada di internet. Jika kanon seni internet yang selama ini beredar ialah bahwa seni ada di jaringan internet itu sendiri, kami melihat tidak hanya di jaringan melainkan pada informasi-informasi yang terbentuk. Pengertian dan pemahaman ini dapat juga salah, berubah, juga berkembang.
  3. Seni internet memiliki muatan dan kapasitas untuk berdifusi ke bentuk lain, menggejala, serta menjalar.

Kami menggunakan tiga peristiwa sebagai jalan masuk mencari asimetri, yakni: Log-in, Horizontal-Vertikal, Covid-19.

1. Log-in (1998–2007)

Reformasi 1998, banyak aktivis yang menggunakan surel dan internet sebagai basis komunikasi untuk menyebarkan ide dan gagasan. Setahun kemudian, warung internet mulai menjamur, yang menandai gelombang budaya internet di Indonesia (asumsi kami). Masyarakat pun berbondong-bondong ke warnet untuk mengakses internet, bertanya kepada penjaga warnet apakah ada bilik kosong yang kadang hanya berupa papan sekat bertirai, memasukkan username dan password billing, dan mengeklik Log-in. Pengguna siap berselancar. Namun, pada peristiwa ini pengguna internet atau pengunjung warnet masih sangat tersegmentasi.

Penanda peristiwa: warnet.

2. Horizontal-Vertikal (2007–sekarang)

Pada 2007, tersebarnya video porno Ariel-Cut Tari-Luna Maya menandai budaya rekam, distribusi data melalui media sosial dan beragam ekstensi, serta peralihan menonton video di internet dari layar horizontal ke vertikal. Kami juga masih kabur kapan secara teknis peralihan ini terjadi di Indonesia, yang kami ingat bersama adalah bagaimana video-video tersebut tersebar dan memicu penggunaan internet secara masif hingga menjadi keseharian.

Kami juga akan menyematkan fenomena meme yang terjadi secara global dan bersinggungan dengan peristiwa ini.

Penanda peristiwa: layar, data, sosial-media, habitus. 

3. Covid-19 (2020–sekarang)

Terakhir, peristiwa Covid-19 yang terjadi pada 2020 hingga mungkin sekarang. Kami belum tahu kapan peristiwa ini berakhir. Pada rentang 2020–2021, pembatasan fisik telah mendorong kegiatan seni untuk beralih sepenuhnya ke ranah virtual. Dalam satu minggu, kita bisa melihat bagaimana perhelatan-perhelatan seni global diselenggarakan; baik pameran virtual, diskusi daring, live performance, perilisan album dan mix tape, festival film, hingga meledaknya karya-karya NFT di pasar seni virtual. Kemudian, teknologi media internet telah menjadi satu-satunya media yang mampu mengakomodir tetap berjalannya kegiatan seni.

Kami juga akan menyematkan fenomena global seperti NFT dan pergeseran ruang menyentuh titik puncaknya ketika bersinggungan dengan peristiwa Covid-19 di Indonesia dan fenomena pandemi Covid-19 secara global.

Penanda peristiwa: Covid-19.

Total terdapat 47 karya yang terkumpul dari tiga kota penelitian dan dikelompokkan berdasarkan noktah-noktah di atas. Pengelompokan ini bertujuan untuk mengetahui varian karakteristik dari seni internet di Indonesia. Namun, ada satu karakteristik kuat dari ketiga kota tersebut, yakni bagaimana seni internet berkeliaran di dua batas, entah batas digital-analog, karya seni-konten, performatif-non performatif. Misal, penggunaan video warganet yang kemudian ditampilkan secara luring (MES56, Video Battle), karya yang menggunakan hasil search engine kemudian dicetak selayaknya kitab (Ade Darmawan, Insya Allah), bentuk-bentuk manipulasi gambar (Agan Harahap), hingga bentuk-bentuk meme yang awalnya ditujukan untuk hiburan (Antikolektifkolektifklub).

Bagaimana dengan karya dari non-seniman? Bagaimana memasukkannya sebagai seni internet? Mereka bisa masuk sebagai seni internet asal memenuhi ketiga persyaratan tersebut. Juga, kami menggunakan karya-karya yang berasal dari mereka yang berprofesi seniman untuk kemudahan pada awal pencarian. Permasalahan apakah nantinya karya-karya dari non-seniman dipresentasikan ke dalam bentuk pameran galeri atau tidak, sekali lagi itu bergantung pada intensi pemegang otoritas dan narasi pameran.

Tambahan: Bias

Entah sains seni (science of arts) atau seni sains (art of science), perpaduan dan peleburan keduanya terdengar sangat menggairahkan. Saatnya kita mengamunisi riset kultural dengan refleksi internal-eksternal, mengakui apa yang kurang dan bias-bias yang terjadi selama proses riset.

1. Bias Bertahan Hidup

Oportunisme muncul karena kita harus bertahan hidup, efeknya adalah kecenderungan untuk menjadi bagian dari suatu kelompok dan gerakan. Namun, oportunisme tanpa nilai dan prinsip hanya akan berguna sesaat dan menjadi bumerang untuk proses transfer pengetahuan di kemudian hari.

2. Bias Informasi

Kita terus mendiskusikan hal yang diketahui semua orang seperti pengetahuan global dan gagal untuk menangkap informasi dari beberapa orang atau kelompok. Contohnya, Hoppla menunda penjelasan terkait konteks internet Indonesia dan seni internet Indonesia karena belum mampu menangkap informasi secara lokal.

3. Bias Konfirmasi

Ini yang paling umum, mencari informasi dan literatur untuk mendukung hingga memperkuat argumen, ekspektasi, dan keyakinan. Mengenyahkan pertanyaan kritik seperti mengempaskan bug komputer. Bias konfirmasi dapat memicu timbulnya korelasi ilusif (illusory correlation) dan disonansi kognitif.

4. Bias Kognitif

Kesalahan dalam berpikir yang dapat menyebabkan kesimpulan atau penilaian yang salah. Salah satu jenisnya yang sering terjadi di dunia kesenian-kebudayaan kami sebut bias ego, bagaimana satu individu atau kelompok memandang dunia dengan perspektif subjektif mereka dan menganggap bahwa orang lain memiliki perspektif yang sama. Bias ego berkontribusi pada pembentukan disonansi kognisi, begitu juga sebaliknya. Memegang keyakinan, nilai, gagasan yang bertentangan bersamaan sehingga orang tersebut harus menyesuaikan sikap dan menginterpretasikan informasi dengan cara yang mendukung keyakinan mereka.

Terakhir, mungkin banyak pertanyaan kenapa kami tidak mencantumkan karya X atau daerah Y dalam riset ini, sebenarnya lebih karena keterbatasan sumber daya dan tenaga. Jika kalian memiliki karya yang ingin dicantumkan, rekomendasi, kritik, saran, silakan mengirimkan surel ke mail@hoppla.id.

790 790 rlirl

rlirl

bot

Penulis rlirl
Ketik di sini ...

Preferensi Privasi

Ketika Anda mengunjungi situs web kami, informasi mungkin disimpan melalui peramban Anda dari layanan tertentu, biasanya dalam bentuk cookie. Di sini Anda dapat mengubah preferensi Privasi Anda. Perlu dicatat bahwa memblokir beberapa jenis cookie dapat mempengaruhi pengalaman Anda di situs web kami dan layanan yang dapat kami tawarkan.

Untuk alasan kinerja dan keamanan, kami menggunakan Cloudflare
required

Situs web kami menggunakan cookie, terutama dari layanan pihak ketiga. Tentukan Preferensi Privasi Anda dan/atau setujui penggunaan cookie oleh kami.