Sinema dan Video: Pertanyaan dan Refleksi atas Budaya Layar Hari Ini

Pada mulanya adalah citra. Dan pada mulanya pula, citra itu tidak bergerak. Dia diam dan mendefinisikan satu momen khusyuk antara sang perekam objek yang berada di depannya. Pada momen intens itu terwujud pula cita-cita manusia terhadap ingatan lalu keabadian, yang sebelumnya hanya bisa dilakukan oleh keterampilan tangan dan hanya kepada kalangan terbatas; saudagar, aristokrat, pemimpin militer–orang-orang yang memiliki kekuasaan atas harta, manusia, dan tanah. Dengan teknologi dan reaksi kimiawi, wajah manusia bisa bertahan berpuluh-puluh tahun di atas sebuah lembaran pelat tembaga dan seluloid; wajah-wajah pekerja rel kereta api, tukang kayu, juga ibu rumah tangga. Cita-cita terhadap keabadian lalu berlanjut dengan obsesi terhadap kenyataan. Gambar-gambar yang tidak bergerak disusun detik-demi-detik hingga dapat mendefinisikan sebuah peristiwa singkat; peristiwa di sebuah stasiun kereta api, di sebuah pantai yang ramai saat musim panas juga di depan pabrik saat pekerja hendak pulang setelah seharian bekerja.

Temuan gambar bergerak, atau sinema, bagi Andre Bazin adalah “idealistic phenomenon”, yang berarti ide terhadap sinema itu sendiri sesungguhnya sudah ada bahkan sebelum dimungkinkan oleh persyaratan teknis seperti kamera, lensa, dan seluloid. Sehingga, ide bahwa sinema ‘ditemukan’ oleh para pionir seperti Muybridge, Niepce, dan Lumiere bagi Bazin tidaklah tepat karena manusia sudah membayangkan tentang kemungkinan medium gambar bergerak jauh sebelumnya. Pada mulanya, sinema digunakan sekadar untuk merekam; sebagai dokumentasi sosiologis aktivitas manusia. Perekamannya itu tidak hanya dilakukan di Eropa dan Amerika Serikat tempat alat teknis itu lahir, tapi juga di seluruh dunia. Para ‘operator’, yaitu orang yang mengoperasikan kamera film, diterjunkan ke wilayah-wilayah periferal (dalam konteks Barat) seperti ke benua Afrika, Asia, dan Amerika Selatan dan merekam kebermacaman budaya dan adat, yang tentunya dirasa menarik oleh operator film dan perusahaan tempat operator itu bernaung. Walaupun perekaman itu sekarang dianggap sebagai dokumen sejarah penting, motif perekamannya pada saat itu tidak lain adalah motif komersial karena perekaman itu ditujukan sebagai tontonan bagi penduduk khususnya di Eropa dan Amerika Serikat.

Still foto dari Intolerance (D.W. Griffith, 1916)

Bahasa visual pada sinema periode awal memperlihatkan keterbatasan terhadap bagaimana kamera mungkin dan dapat digunakan. Umumnya, praktik yang terjadi pada saat itu adalah kamera berada dalam posisi tetap dan diam di wilayah dinding keempat, merekam aksi gerak para subjek yang terbingkai ketimbang mengeksplorasi posisi kamera dalam aksi tersebut. Ketika sinema mulai menjadi tontonan populer dan memiliki tempat penayangan khusus, bahasa visual turut pula berkembang. Dalam artian ini, komersialisasi dan institusionalisasi terhadap film sebagai produk tontonan masal turut memberi andil besar dalam mendorong kebaruan estetika film. Sebagai contoh, melodrama adalah salah satu jenis tontonan populer pada periode awal abad ke-20. Untuk memperkuat intensitas drama terhadap suatu adegan dan kisah keseluruhan, kamera perlu memperlihatkan sublimasi emosi melalui tubuh-tubuh aktor secara spesifik. Hasilnya adalah eksplorasi kamera ke arah bagian tubuh seperti wajah untuk menampakkan perubahan gestur mikro yang tidak terlihat dalam medium seni lain, bidikan kamera yang sekarang kita kenal dengan nama “close-up”. Eksplorasi arah tatapan semacam ini tidak ada, misalnya, dalam medium seni lain seperti teater, yang cenderung memperlihatkan seluruh tubuh aktor ketimbang bagian-bagian tubuh saat di panggung dalam satu aksi. Komersialisasi bukanlah satu-satunya faktor pendorong perubahan bahasa sinema. Sinema di Soviet pada periode 1920-an didorong oleh kebutuhan untuk menggunakan sinema sejalan dengan ideologi politik komunisme saat itu. Montase diteorikan dan dipraktikkan agar sejalan dengan ideologi marxisme seperti yang dilakukan oleh Eisenstein dan sejawat-sejawatnya.

 

Video dan Akselerasi Penggunaannya

Teknologi video awalnya dikembangkan untuk kebutuhan penyiaran televisi. Mulai populer pada 1950-an di Amerika Serikat dan dengan cepat menjadi pilihan konsumsi hiburan gambar bergerak baru yang memberikan sifat yang berbeda dengan sinema; disaksikan dengan alat yang lebih kecil di rumah, lebih personal dan aktual; yang berarti memungkinkan penonton untuk menyaksikan tayangan di waktu yang sama saat tayangan itu dibuat (siaran langsung). Ketimbang film yang menggunakan reaksi kimiawi dalam membentuk gambar-gambarnya, video analog menggunakan frekuensi sinyal elektrik yang ditangkap dan diterjemahkan menjadi gambar bergerak. Dalam mekanisme penyiaran video analog, frekuensi dari stasiun pemancar televisi dilepas ke udara dan ditangkap ke rumah-rumah penonton melalui antena yang terhubung langsung dengan pesawat televisi.

Ilustrasi cara video bekerja, dari How Television Works (BBC Archive 1961)

Wacana dominasi gambar bergerak menjadi dinamika warna dalam diskursus gambar bergerak saat video perlahan diadopsi oleh masyarakat. Ada ketakutan dari para praktisi sinema bahwa publik akan beralih menggunakan televisi seutuhnya ketimbang sinema di masa mendatang. Refleksi dan kekhawatiran terhadap kehadiran video bisa dilihat dalam beberapa karya film, salah satunya adalah Room 666 (Wim Wenders, 1982). Wenders mengundang beberapa sineas terkemuka, lalu diberi pertanyaan terkait pertanyaan masa depan sinema. Pertanyaan seperti “apakah sinema sebagai bahasa visual akan hilang dan mati?” diikuti dengan pertanyaan seperti “akankah televisi menggantikannya?”.

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini menjadi menarik bila kita refleksikan saat ini, di mana konsumsi video sudah menjadi bagian dari keseharian kita. Pada akhirnya sinema dan video tidak harus memangsa satu sama lain untuk bisa hidup, dan masing-masing medium menemukan muara distribusi dan evolusi bahasanya. Akselerasi konsumsi dan evolusi bahasa video, bila kita jabarkan dalam bentuk yang sangat tersimplifikasi, dapat dipecah dalam tiga pengaruh utama: digitalisasi, konsumsi internet yang meluas, dan kamera ponsel.

Room 666 (Wim Wenders, 1982)

Digitalisasi mengubah hampir seluruh perilaku dan interaksi manusia. Di medium gambar bergerak, digitalisasi membawa perubahan dalam kemudahan memindahkan dan menggandakan file gambar bergerak, entah itu video atau film. Baik internet dan kamera ponsel kehadirannya tidak mungkin tanpa difasilitasi oleh ekosistem digital. Gambar yang direkam melalui ponsel dienkripsi dan disimpan dalam data biner yang mana hanya mesin yang bisa membacanya. Enkripsi membuat data dengan mudah berpindah dari satu alat ke alat lain. Internet memfasilitasi perpindahan tidak terbatas pada pertemuan fisik, berpindah hingga batas kota dan negara.

Salah satu video rekaman warga melalui ponsel di mana seorang ibu diculik bersama anaknya di angkutan umum.

Ada perdebatan mengenai apakah film, yang sudah berbentuk format digital seperti .avi atau .mkv dan disaksikan di layar kecil, masih dianggap karya film atau sudah menjadi karya video. Mengenai hal itu, landasan saya mengikuti apa yang pernah ditulis oleh Jacques Rancière di The Future of the Image, di mana dia mengajukan satu permasalahan yang bisa dikatakan serupa: apakah Au hasard Balthazar (Robert Bresson, 1966) bila ditonton di televisi masih memiliki keagungan seperti bila ditonton di layar besar? Atau Au hasard Balthazar justru menjadi banal seperti tayangan televisi lainnya, contohnya semisal acara kuis Who Wants to Be a Millionaire? Ajuan jawabannya adalah bahwa keagungan estetik Bresson, walaupun dibawa ke medium yang berbeda, tetap tidak berubah dan keindahannya tidak didikte oleh format medium presentasinya. Pernyataan ini menjadi landasan bahwa karya film tetaplah film walaupun itu dibuat menggunakan seluloid, dan berpindah mediumnya menjadi digital. Yang menjadikan film itu karya sinema adalah bahasa gambarnya.

Dalam konteks video, kita bisa mengajukan pertanyaan yang sama: apa yang menjadikan video, video?

Perkembangan bahasa sinema telah dibahas sangat ringkas di paragraf awal. Sinema ‘meminjam’ bahasa dari medium seni lain sebagai fondasi dasar estetiknya, meraba-raba dirinya untuk memahami dan mendefinisikan dirinya sendiri. Pun dengan video yang meminjam bahasa sinema dengan cara yang sama. Dan video, terlebih bila kita membicarakan video digital yang kegunaannya meluas oleh publik, ternyata mampu bertutur dan membawa apa-apa yang tidak mampu dilakukan oleh sinema, sehingga apa yang menjadikan video sebagai video adalah apa yang tidak bisa dilakukan oleh sinema sebagai medium gambar bergerak.

Apa saja yang sinema tidak bisa lakukan tapi video mampu lakukan?

Salah satu media promosi Tiktok, media sosial yang turut mengubah dan berkontribusi dalam perkembangan estetika video di ponsel.

Video, dalam akselerasi digital, internet, dan kamera ponsel, mampu menjangkau ruang-ruang sempit realitas sehari-hari. Memasuki sudut-sudut kota tanpa harus menjadikan sudut itu sebuah bagian dari permainan drama yang memiliki tokoh utama dan pembantu seperti film. Sudut-sudut itu hadir sebagai ruang anonim tanpa perlu menjadikan dirinya sebagai panggung dari putaran arus cerita antar-tokoh-tokoh. Video mampu menjadi medium hiburan berdurasi singkat, seperti kudapan, yang dikonsumsi oleh jutaan orang, tidak hanya di satu wilayah, tapi bisa di seluruh dunia, dengan produksi yang mungkin tidak memerlukan biaya besar, tidak seperti sinema yang memerlukan produksi besar dan berdurasi lebih panjang untuk mendapatkan efek hiburan yang serupa. Produksi video dengan mudah dilakukan di alat yang sama dengan video itu direkam, menggunakan ponsel, sehingga tindakan produksi, editing, dan distribusi terjadi di satu alat yang sama. Video pun juga mampu menjadikan film sebagai konten video dengan memotong satu adegan di film dan menjadikannya sebagai klip, sehingga menekankan pada peristiwa di adegan itu serta mencabutnya dari konteks cerita yang ada di film. Dan karena sifat keaktualan video, dia juga bisa digunakan sebagai ‘bukti peristiwa’ yang bisa dipakai sebagai alat bantu menggugat dan mengungkap kejahatan. Seberapa banyak kejahatan jalanan yang terungkap dari rekaman spontan warga atau juga kejahatan yang terungkap dari rekaman CCTV?

Namun, di balik semua kemungkinan-kemungkinannya, video pun memiliki keterbatasan yang bisa dibilang krusial. Berbeda dengan sinema yang tidak terpaku pada tempat penayangannya (film yang ditonton di televisi pun masih menjadi karya sinema, merujuk Rancière), penayangan dan konsumsi video masih sangat tergantung dengan platform atau aplikasi penampil video tersebut. Kuasa platform tersebut sangat kuat bahkan memiliki bahasanya masing-masing; mayoritas estetika video yang tayang di Tiktok berbeda dengan video yang tayang di Facebook atau Youtube, misalnya). Permasalahan ini juga tidak menyangkut perkara estetika saja, bila dalam masa depan platform penyedia layanan itu bermasalah dan menghilang, maka berarti hilang pula arsip dan estetika khas yang dimilikinya. Kuasa platform yang kuat juga berarti mereka mampu mendikte apa-apa yang bisa dan boleh diunggah dalam platform, apa yang boleh diungkap dan diperlihatkan, apa-apa yang tidak boleh, merujuk dari ketentuan yang mereka buat dan sering kali juga merujuk pada ketentuan negara tempat penggunanya tinggal. Sehingga, walaupun secara penggunaannya sudah sangat demokratis dan luas ketimbang film, video masih tidak bisa benar-benar bebas tanpa ikatan apa pun.

Dan ini pula yang membangkitkan pertanyaan: bila video akhirnya mampu keluar dari jalur media televisi, apakah video nantinya mampu keluar dari jalur platform distribusi media sosial?

800 481 Afrian Purnama

Afrian Purnama

Afrian Purnama adalah seorang penulis, periset seni, pembuat film, dan kurator film. Redaktur dan editor pelaksana di Jurnal Footage dari 2016 hingga 2022. Sutradara Golden Memories-Petite Histoire of Indonesian Cinema. Sinematografer Amrus Natalsya yang Membuat Kembali Keluarga Tandus Disendja. Ko-Kurator pameran film Kultursinema, dan beberapa kali menjadi kurator di festival Arkipel - Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival.

Penulis Afrian Purnama
Ketik di sini ...

Preferensi Privasi

Ketika Anda mengunjungi situs web kami, informasi mungkin disimpan melalui peramban Anda dari layanan tertentu, biasanya dalam bentuk cookie. Di sini Anda dapat mengubah preferensi Privasi Anda. Perlu dicatat bahwa memblokir beberapa jenis cookie dapat mempengaruhi pengalaman Anda di situs web kami dan layanan yang dapat kami tawarkan.

Untuk alasan kinerja dan keamanan, kami menggunakan Cloudflare
required

Situs web kami menggunakan cookie, terutama dari layanan pihak ketiga. Tentukan Preferensi Privasi Anda dan/atau setujui penggunaan cookie oleh kami.