“Kehadiran AI akan mengubah cara orang bekerja, belajar, bepergian, mendapatkan perawatan kesehatan, dan berkomunikasi satu sama lain. Serta seluruh industri akan berorientasi padanya.”
—Bill Gates
Berbagai macam aplikasi berbasis artificial intelligent (AI) dibangun berdasarkan serangkaian baris-baris algoritma yang kompleks. Dan umumnya yang banyak digunakan adalah metode jaringan saraf tiruan (artificial neural networks/ANNs) seperti voice assistant, self-driving cars, dan lain sebagainya (Mandal, 2021). Ketika algoritma ANNs diciptakan, maka sama seperti manusia yang masih kecil, ia perlu belajar untuk mengenal banyak hal, dan ANNs perlu dilatih menggunakan data yang sangat besar (big data) dan repositori data terbesar sejauh ini adalah internet. Adapun sumber-sumber internet yang populer untuk melatih algoritma AI dalam permodelan natural language processing (NLP) seperti ChatGPT dan BERT adalah Wikipedia. NLP sendiri merupakan sebuah cabang dalam AI yang memungkinkan sebuah komputer memahami dan memanipulasi bahasa manusia dengan mengandalkan data-data tidak terstruktur seperti teks dan suara.1https://www.oracle.com/id/artificial-intelligence/what-is-natural-language-processing/
Dan yang menjadi pertanyaan kemudian apakah Wikipedia terbebas dari bias?
Tentu saja adanya bias dalam algoritma sangat perlu mendapat perhatian khusus, bayangkan jika ragam aplikasi AI dianggap sebagai kebenaran yang mutlak sehingga argumentasi kritis menjadi tumpul. Aplikasi chatbot seperti ChatGPT-3 dengan 175 miliar parameter sudah mampu melakukan banyak hal dan bahkan melebihi kemampuan manusia secara umum. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, ketika ChatGPT diuji untuk menjawab berbagai tes masuk perguruan tinggi, aplikasi AI berhasil menjawab berbagai soal tersulit sekalipun. Dan ini baru satu kasus2https://edition.cnn.com/2023/01/26/tech/chatgpt-passes-exams/index.html dan belum lagi kemampuannya menulis esai ilmiah, cerita fantasi, dan lain sebagainya. Lantas bagaimana dengan versi ChatGPT-4 yang baru saja dirilis dengan 100 triliun parameter? Bagaimana dengan versi lanjutan seperti artificial general intelligent (AGI) dan artificial super intelligent (ASI)?
Popularitas ChatGPT dan Demokratisasi Teknologi AI
Dengan kehadiran berbagai perangkat digital yang saling terkoneksi dalam ruang-ruang virtual, data-data bisa ditransfer dalam hitungan detik dan berbagai teknologi AI turut hadir dalam tiap-tiap individu masyarakat modern—menjadi satu kesatuan yang hampir tidak bisa dipisahkan (Tamrin, 2021).
“Kebangkitan AI bisa menjadi hal terbaik atau terburuk bagi kemanusiaan, dan bahkan bisa berarti akhir dari umat manusia.”
—Stephen Hawking
Hawking, seorang fisikawan teoretis asal Inggris, bukan tanpa alasan ketika mengungkapkan pandangannya terkait pengembangan AI yang semakin maju. Lebih jauh Hawking mengungkapkan bahwa pengembangan teknologi ini bisa berimplikasi kepada eksistensi manusia itu sendiri. Bahkan, menurut Bill Gates dalam The Age of AI Has Begun yang ditulis di blog pribadi miliknya, pengembangan AI sama pentingnya dengan kehadiran mikroprosesor, komputer, internet, dan gadget (Gates, 2023). Pendiri Microsoft itu juga menambahkan jika kehadiran chatbot AI seperti ChatGPT bisa mengubah cara dan paradigma seseorang perihal penggunaan teknologi yang selama ini berjalan di tengah-tengah masyarakat.
Kemunculan teknologi AI memang telah menghadirkan berbagai macam pertanyaan dan dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul setidaknya ada dua polarisasi konsekuensi pandangan. Pertama, pandangan yang mengakomodasi optimisme bahwa teknologi AI hanya sebatas tools sehingga kehadirannya tidak perlu dipertentangkan, dan bahkan memberikan keuntungan jika manusia mampu bekerja berdampingan. Kedua, pandangan yang menjadikan teknologi tersebut sebagai lawan dan memiliki implikasi pada tidak adanya adaptasi terhadap berbagai hal yang terdampak dan berubah oleh teknologi itu sendiri. Dua kutub pandangan ini kemudian semakin meruncing setelah chatbot bernama ChatGPT mendapat perhatian masyarakat global pada akhir 2022.
Sejak dirilisnya ChatGPT, teknologi AI sepertinya mendapat atensi dari berbagai kalangan masyarakat di seluruh dunia. Jika melihat lebih jauh ke beberapa dekade sebelumnya, istilah AI sebetulnya pertama kali muncul pada 1956 oleh seorang ilmuan komputer asal Amerika Serikat bernama John McCarthy (1927–2011) tepat dua tahun setelah kematian pionir komputer modern, Alan Turing (1912–1954). Namun, seiring berkembangnya teknologi komputasi seperti mikroprosesor, internet, cloud computing, dan lain sebagainya seperti yang ada saat ini, maka teknologi AI menjadi semakin populer.
Popularitas ChatGPT yang akhir-akhir ini menjadi sensasi di jagat maya tidak bisa dipandang hanya sebatas viralitas dan euforia semata tetapi harus lebih jauh, yaitu sebagai bentuk adanya akselerasi dan semakin terdemokratisasinya teknologi komputasi. Akselerasi teknologi komputasi yang terus bergerak secara eksponensial yang diikuti oleh penyebaran data yang masif dan langsung (real time) telah melahirkan berbagai macam inovasi-inovasi baru dalam bidang teknologi dan salah satunya adalah penerapan berbagai macam teknologi AI itu sendiri. Teknologi ini digadang-gadang bisa menggantikan peran manusia secara langsung dan bahkan bisa melakukan apa pun sesuai dengan input yang diberikan, termasuk menyasar bidang kreatif.
Antara Bias Algoritma dan Praktik Kreatif Kita
Apakah betul dunia kreativitas kita akan terancam oleh AI? Sebuah pertanyaan yang tampak mudah namun sangat sulit dijawab.
Seperti halnya teknologi lainnya, algoritma AI juga rentan terhadap bias atau prasangka. Karena output yang dihasilkan AI hanyalah cerminan dari dataset pelatihan yang mereka terima (Alake, 2020). Teknologi AI sejatinya meniru kerja-kerja manusia berdasarkan pola-pola data yang dipelajari oleh agoritma sehingga memungkinkan terjadinya ketidakselarasan output jika dataset pelatihan tidak seimbang (Buolamwini, 2020).
Lantas, apa itu bias algoritma dalam AI?
Bias algoritma dapat terjadi ketika algoritma didesain atau dilatih menggunakan data yang tidak mewakili populasi secara merata, atau ketika parameter atau variabel tertentu disalahartikan atau diabaikan dalam proses pembuatan algoritma. Sebagai contoh, ketika menggunakan data untuk melakukan klasifikasi pada populasi kulit putih dan hitam, algoritma yang didesain menggunakan data yang didominasi oleh populasi kulit putih akan cenderung kurang akurat dalam mengklasifikasikan populasi kulit hitam, karena algoritma tidak dilatih dengan data yang cukup untuk memahami perbedaan warna kulit.
Beberapa kasus rasisme terjadi dalam praktik AI di AS, yang mana sering mengalami salah prediksi terkait peluang melakukan kejahatan yang condong menyasar warga kulit hitam. Hal ini tentu dikarenakan adanya ketidakseimbangan dari kelompok data yang dijadikan pelatih terhadap algoritma itu sendiri. Akibatnya, terjadi kekeliruan prediksi. Berikut contoh kejadian nyata yang dikutip dari sumber dailymail.co.uk3Dapat dilihat pada https://www.dailymail.co.uk/news/article-11593521/Facial-recognition-technology-blamed-mistaken-arrest-Louisiana-purse-snatching-case.html.
Seorang pemuda kulit hitam bernama Randall Reid umur 28 tahun asal Amerika Serikat didakwa melakukan kejahatan pencurian dan dijebloskan ke dalam penjara pada November 2022 di DeKalb County, Georgia. Penangkapan Reid berdasarkan hasil dari teknologi facial recognition, sebuah teknologi AI yang dirancang untuk mengidentifikasi subjek melalui gambar, video, atau elemen audiovisual apa pun dari wajah seseorang. Dalam pembelaannya, Reid mengatakan jika dirinya belum pernah bepergian ke Louisiana tempat terjadinya pencurian yang dituduhkan kepadanya. Setelah dilakukan identifikasi ulang, akhirnya Reid dibebaskan.
Terjadinya kesalahan identifikasi oleh teknologi facial recognition bukan tanpa alasan, hal tersebut akibat dari adanya bias algoritma. Suatu kondisi tidak berimbangnya dataset yang dijadikan sebagai pelatih algoritma itu sendiri. Aplikasi yang hanya dilatih untuk mempelajari pola dari data-data kejahatan yang komposisinya kebanyakan dari kasus warga kulit hitam. Sehingga hal tersebut berdampak kepada adanya kecenderungan asumsi seperti penyamarataan yang berlebih kepada warga kulit hitam daripada kulit putih. Barangkali dalam kasus lain juga tidak jauh berbeda, berbagai aplikasi AI yang berkembang di masyarakat saat ini masih memiliki limitasi untuk mempelajari pola-pola dari sekumpulan dataset yang diberikan. Terjadinya bias algoritma dalam AI merupakan masalah yang perlu diperhatikan dan diatasi karena dapat mempengaruhi keputusan kritis dan memperburuk ketimpangan yang ada dalam masyarakat. Dengan memperbanyak variasi data serta memeriksa algoritma secara periodik, setidaknya dapat mengurangi atau menghilangkan bias algoritma dan memastikan bahwa AI dapat digunakan dengan lebih aman dan adil. Karena dampak dari bias algoritma dalam AI bisa sangat merugikan, terutama ketika algoritma digunakan dalam keputusan kritis seperti kasus yang menimpa Randell Reid. Dari peristiwa yang menimpa Randell Reid kita bisa menyimpulkan bahwa dataset yang dijadikan sebagai pelatih untuk algoritma AI menjadi penentu seperti apa output yang akan diberikan.
Pada kasus lain, beberapa waktu lalu saya secara spontan melihat dan membaca sebuah postingan yang muncul di beranda Facebook. Postingan tersebut perihal pengalaman seseorang ketika merekonstruksi ulang purwarupa dari Kerajaan Sriwijaya dengan bantuan AI. Dengan serangkaian perintah-perintah yang diberikan kepada aplikasi dan hanya dalam hitungan detik purwarupa Kerajaan Sriwijaya pun muncul. Tentu saja postingan tersebut mendapat beberapa atensi dari beberapa pengguna media sosial dan beberapa dari mereka menyempatkan diri untuk berkomentar menanggapi postingan tersebut.
Sepintas hasil rekonstruksi Kerajaan Sriwijaya itu memang sangat estetis (setidaknya menurut komentar beberapa pengguna media sosial), namun kita tidak boleh terjebak pada output estetis semata, karena aplikasi AI tidak terlepas dari dataset yang dijadikan sebagai data latihnya. Maka dari itu, sejatinya teknologi AI yang dibangun dalam baris-baris algoritma yang kompleks dan dilatih oleh miliaran hingga triliunan data tersebut, setidaknya membawa kita pada sebuah pertanyaan yang seharusnya tidak terjebak kepada persoalan-persoalan teknis. Misalnya, apakah AI bisa mengakomodasi latar belakang filosofis seperti yang dilakukan kebanyakan seniman atau hanya terjebak mengikuti pola-pola data yang menjadi dasar pengambilan keputusannya? Atau masyarakat modern harus melihat cara pandang baru ketika bersentuhan dengan teknologi AI?
Menurut Mántaras (2020) dalam Artificial Intelligence and the Arts: Toward Computational Creativity, hadirnya komputasi kreatif berbasis AI tentu dapat digunakan untuk menyelesaikan tugas-tugas kreatif seperti menulis puisi, melukis gambar, dan mengubah atau membuat musik. Meskipun demikian menurut Mántaras, akan muncul berbagai kritikan seperti pernyataan, “mensimulasikan teknik seni berarti juga mensimulasikan pemikiran dan penalaran manusia, terutama pemikiran kreatif. Maka hal ini tidak mungkin dilakukan oleh algoritma”. Menyikapi kritik ini, Mántaras dalam tulisannya menambahkan bahwa studi di bidang AI juga memungkinkan untuk memahami kreativitas manusia guna menghasilkan program untuk orang kreatif, sehingga aplikasi bertindak sebagai kolaborator kreatif. Dan kreativitas bukanlah karunia mistis yang melampaui studi ilmiah, melainkan sesuatu yang dapat diselidiki, disimulasikan, dan dimanfaatkan untuk kebaikan masyarakat. Atas dasar hal tersebut, maka para pekerja kreatif ditantang untuk tidak hanya sekadar melahirkan sebuah estetika semata, karena tidak ada yang dapat timbul dari ketiadaan, dan setiap karya kreatif selalu didahului oleh skema sejarah-budaya; warisan dan pengalaman hidup (Ploin et al., 2022; Mántaras, 2020).
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dengan mempertimbangkan masifnya perkembangan teknologi yang ada sejauh ini, maka dalam konteks tertentu, bisa jadi dan sangat mungkin AI akan menggantikan peran kreativitas manusia selama kerja-kerja kreativitas itu bisa terdatafikasi sehingga mudah diselidiki secara ilmiah.
Referensi
Alake, Richmond. (2020). Algorithm bias in artificial intelligence needs to be discussed (and addressed). Diakses pada 30 Maret 2023, dari https://towardsdatascience.com/algorithm-bias-in-artificial-intelligence-needs-to-be-discussed-and-addressed-8d369d675a70.
Buolamwini, Joy. (2017). How I’m fighting bias in algorithms. Dalam YouTube, diunggah oleh TED, 30 Maret 2017, https://www.youtube.com/watch?v=UG_X_7g63rY.
De Mántaras, R.L. (2017). Artificial intelligence and the arts: Toward computational creativity. Dalam The next step: Exponential life. BBVA Publisher. Diakses pada 30 Maret 2023, dari https://www.bbvaopenmind.com/en/articles/artificial-intelligence-and-the-arts-toward-computational-creativity/.
Gates, Bill. (2023). The age of AI has begun. Diakses pada 30 Maret 2023 dari https://www.gatesnotes.com/The-Age-of-AI-Has-Begun.
Mandal, Abhishek. (2021, 22 Juni). The algorithmic origins of bias. Dalam From Bias to Feminist AI, diakses pada 30 Maret 2023, dari https://feministai.pubpub.org/pub/the-algorithmic-origins-of-bias/release/3.
Tamrin, Mohamad. (2021, 11 April). Repositori Baledata: Arsip dalam paradigma generasi muda. Dalam Berajah Aksara, diakses pada 30 Maret 2023 dari https://berajahaksara.org/repositori-baledata-arsip-dalam-paradigma-generasi-muda/.
Ploin, A., Eynon, R., Hjorth I. & Osborne, M.A. (2022). AI and the arts: How machine learning is changing artistic work, Report from the Creative Algorithmic Intelligence Research Project. Oxford Internet Institute, University of Oxford, UK. Diakses pada 30 Maret 2023 dari https://www.oii.ox.ac.uk/news-events/reports/ai-the-arts/.
Catatan Kaki
- 1
- 2
- 3