Diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh: Khoiril Maqin
Pendahuluan
Sejak beberapa dekade belakangan ini, ada upaya untuk mendekonstruksi gagasan esensialisme Anglo-Saxon tentang ‘estetika’ yang berpusat pada gagasan universal tentang keindahan. Upaya itu mengarah pada pengakuan estetika sebagai sebuah konsep yang mengartikulasikan ketakterpisahan antara lokalitas dan materialitas dalam produksi artistik dan budaya. Para seniman dan penulis di Indonesia berperan penting dalam membangun pemahaman tentang estetika yang dekat dengan masyarakat Indonesia. Sanento Yuliman mengawalinya dengan membangun konsep ‘seni Indonesia’ sebagai tanggapan terhadap hegemoni praktik-praktik artistik Barat. Ia berpendapat bahwa Batik—salah satu di antara bentuk seni tradisional di seluruh Indonesia—harus diakui sebagai modus pengembangan estetika. Ia menyerukan gagasan tentang ‘seni Indonesia’ untuk merangkum semua praktik artistik (baca: tradisional dan kontemporer) yang diadopsi di sepanjang lintasan sejarah produksi estetika di Indonesia. Melalui ini, dengan sendirinya, gagasan tentang estetika/seni Indonesia menjadi sebuah epistemologi dan praksis historiografi. Jim Supangkat melanjutkan gagasan Sanento dengan mengonseptualisasikan ‘seni rupa Indonesia’ sebagai ekspresi gaya artistik geografis di Bali, Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta yang membentuk lanskap seni rupa kontemporer di Indonesia. Ia menonjolkan pentingnya relasi kekuasaan di berbagai komunitas dan institusi dalam ekosistem seni di kota-kota tersebut, yang membentuk kondisi penciptaan artistik. Secara tidak langsung ia mengartikulasikan pemahaman tentang estetika yang dibentuk oleh relasi kekuasaan dalam materialitas lokal. Di sisi yang berbeda, penggunaan ideologi ‘seni Indonesia’ dalam dunia seni juga menjadi perhatian Grace Samboh. Ia bertanya: “Apakah kita secara eksklusif mengacu pada seniman keturunan Indonesia?1Grace Samboh. (2019). Menolak praktik seni rupa yang berkebangsaan. Dalam Jurnal Lembar, 1(2). Atau pada bentuk-bentuk seni yang dikembangkan di nusantara? Atau konsep dan gagasan artistik yang terkait dengan budaya Indonesia?” Apa yang kemudian muncul dari refleksi ini adalah kesadaran akan keterbatasan epistemologis dalam gagasan ‘seni rupa Indonesia’ yang dijiwai oleh sentimen nasionalistik dan menyebabkan kegagalan (bahasa) dalam melihat keragaman dan kekhasan praktik-praktik seni rupa di seluruh wilayah Indonesia.
Upaya para penulis ini memantik inisiatif saya untuk bereksperimen dengan kemungkinan-kemungkinan pembentukan bahasa dalam mengartikulasikan perkembangan teori estetika di Indonesia. Penting untuk dicatat bahwa wacana berikut ini berpusat pada lintasan penulisan seni dan seni kontemporer yang ingin saya kembangkan dalam konteks hubungannya dengan budaya internet di Indonesia. Berkaca pada refleksi Grace, saya ingin menggugat ontologi ‘ke-Indonesia-an’ dalam diskusi-diskusi tentang ‘seni Indonesia’ sebagai sebuah penanda produksi artistik yang dikaitkan dengan akar nasionalis.2Penggunaan kata ‘seni Indonesia’ sangat berakar pada ontologi ideologi kebangsaan yang mengacu pada pemahaman genealogis tentang keindonesiaan. Melalui esai ini, saya mengajukan sebuah pemaknaan ulang atas ‘estetika Indonesia’ yang memposisikan interkonektivitas dan pertukaran transkultural3Berasal dari materialitas sejarah di seluruh Indonesia dan pengaruh budaya internet. sebagai sebuah entitas rhizomic.4Mengutip karya Édouard Glissant, Poetics of relation (1997), rhizome dibayangkan sebagai intrusi sistem ke dalam sebuah identitas. Pembacaan seperti ini akan memungkinkan ‘seni’ hadir sebagai hibriditas yang membuka aksesibilitas bagi bentuk materialnya agar dapat digunakan dan dimanfaatkan ulang secara bebas. Esai ini berpusat pada pengalaman saya sendiri, yang terlibat dalam ‘hibriditas’ yang lahir dari ekosistem seni di Jakarta, termasuk pada refleksi saya sendiri selama mengikuti lokakarya yang diselenggarakan oleh Galeri Nasional dan Goethe-Institut di bawah panduan Grace Samboh dan perjumpaan saya dengan skena hiphop di Jakarta Selatan yang semakin populer.
Hibrid 1: Konten & Cerita
Melalui panggilan dan undangan terbuka, internet menjadi ‘titik temu’ untuk berkolaborasi. Internet memberikan kemudahan untuk saling terhubung dalam proses kreasi yang secara personal saya alami selama ‘Lokakarya: Alkisah…’. Pada Februari 2022, saya menemukan undangan terbuka lokakarya di Instagram Goethe-Institut Indonesia. Tujuan lokakarya ini menggali cerita-cerita dari pameran Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak yang akan direkam dan diputar dalam bentuk podcast. Melalui suara, inisiatif ini memperluas ingatan akan pameran di luar liminalitas kepenontonan dan memungkinkan pengalamannya untuk diingat melalui internet. Lokakarya berlangsung selama tiga kali pertemuan. Selama pertemuan itu saya belajar bersama dan dari peserta lain, yaitu Fiezu Himmah, Ibrahim Soetomo, Shaula Felicia, dan Yoga Pawlaguna. Lokakarya terdiri dari kunjungan pameran petang hari usai jam buka umum dan diskusi meja bundar, kegiatan tersebut memungkinkan kami bisa membangun hubungan lebih intim dengan ruang pameran, baik melalui keleluasaan waktu untuk menikmati pameran secara pribadi maupun melalui ketersediaan ruang untuk mendiskusikan refleksi kami dalam kelompok. Fiezu dan Shaula adalah yang pertama kali menyadari perbedaan posisi yang mereka ambil, “dalam kunjungan (di luar jam buka) ini, kami—sebagai pengunjung—merasa terbebas dari tekanan untuk mematuhi slot waktu yang ada, termasuk ‘memberi ruang’ bagi orang lain. Ketika Anda bergerak melalui pameran pada jam-jam biasa, Anda harus peka apakah Anda menghabiskan waktu lama untuk melihat karya seni atau jika Anda berjalan melewatinya, Anda harus memastikan bahwa Anda tidak mengganggu orang yang sedang berswafoto….” Mereka memperjelas keberadaan aturan yang tidak tertulis dan memberi kesempatan pada para pengunjung untuk membuat konten di dalam ruang pameran.
Selama kami diskusi, topik konten selalu muncul terus-menerus. Kami sampai pada sebuah hipotesis bahwa konten menjadi instrumen penting untuk membangkitkan keterlibatan publik dalam ruang pameran, seiring dengan sentralitas media sosial dalam membentuk relasi publik (baca: partisipan) terhadap seni. Sebagai contoh, Fiezu menyatakan bahwa ia mengetahui adanya pameran ini melalui Instagram, ia melihat peredaran unggahan di Instagram dan Tiktok dari karya S. Teddy D yang berjudul Paduan Suara yang Tidak Bisa Berkata Tidak. Ia mengatakan bahwa viralnya karya Teddy memantik ketertarikannya untuk mengunjungi pameran ini. Merespons pernyataan tersebut, Grace mengungkapkan bahwa terlepas dari keputusan kuratorialnya untuk tidak menggunakan narasi kuratorial dalam ‘memandu’ pameran, ia merasa tertarik dengan karya tersebut, yang secara luas dianggap sebagai inti dari pameran ini (baik secara daring maupun luring). Kami menyimpulkan bahwa format partisipatoris dari karya Teddy membangkitkan ketertarikan semacam itu, mengingat karya ini berisi cermin yang terletak di tengah-tengah ‘paduan suara’ kepala ayam. Cermin tersebut menjadi tempat yang ideal untuk pembuatan konten, dan memberikan kesempatan bagi pengunjung untuk secara aktif berpartisipasi dalam penyajian pameran; memanfaatkan fotografi sebagai sarana untuk memasukkan diri mereka secara fisik ke dalam karya seni. Ketika saya bertanya kepadanya, apakah keterlibatan ini mengganggunya, ia menyangkalnya dan menyatakan, “Pengunjung dapat melakukan apa yang mereka inginkan di dalam ruang pameran!”. Ia menegaskan bahwa dalam praksis kuratorialnya, ia memprioritaskan aksesibilitas karya seni bagi ‘publik’.
Pernyataan Grace tentang meningkatnya aksesibilitas di antara ruang-ruang galeri/museum sejalan dengan lonjakan konten seni yang populer di media sosial. Saya dan Fiezu berbincang secara personal mengenai pentingnya konten yang memungkinkan pameran Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak mendulang viralitas. Topik “kunjungan pameran”, “tamasya galeri”, dan “kencan ke museum” menjadi bahasan yang menarik di kalangan masyarakat Jakarta, yang kemudian mendorong tren kunjungan ke galeri dan museum dalam lima tahun terakhir. Ruang-ruang ini menjadi tempat bagi pengunjung untuk terlibat dalam proses mengestetisasikan seni itu sendiri, karena struktur penyajian pameran merupakan lanskap yang ideal untuk pengambilan foto. Foto-foto ini berdiri sebagai kenangan kunjungan mereka, sekaligus memberikan sekilas kedekatan mereka dengan keindahan (karya seni) melalui pengalaman ruang. Setelah diunggah, foto-foto ini berubah bentuk menjadi sebuah konten dan mengundang perhatian di dalam sirkulasi online. Pada akhirnya, foto-foto ini menjadi sebuah undangan bagi para followers mereka untuk ikut serta dalam estetisasi. Hal tersebut selaras dengan pengalaman Shaula, yang melihat keterlibatan khalayak menjalarkan minat mengunjungi pameran. Ia mengaku, ia kurang tertarik pada galeri dan museum, karena menganggapnya sebagai tempat belajar; ia mengasosiasikan pengalamannya di tempat tersebut dengan kenangan masa sekolah menengahnya tentang studi banding. Selama beberapa tahun terakhir, keterpaparannya akan konten seni di Instagram dan Tiktok menginspirasi dirinya untuk mendefinisikan ulang pengalamannya terkait museum dan galeri. Selama lokakarya, saya menyaksikan Shaula terlibat dalam ‘estetisasi‘ ruang pameran, di mana ia memotret karya seni dan memajangnya untuk Instagram Stories-nya.
Partisipasi Shaula dalam memproduksi konten seni menjelaskan hubungan personal sebagai bagian dari keterlibatan seseorang dengan ruang pameran. Kita dapat berasumsi bahwa hasrat untuk memproduksi konten mendorong seseorang untuk berkunjung, yang kemudian menggerakkan relasi mereka dalam mengalami ruang. Konten menjadi medium yang memberikan pengunjung motivasi dan ketertarikan untuk terlibat dalam seni. Sebelum adanya media sosial, budaya mengunjungi galeri dan museum masih langka5Motivasi untuk mengunjungi galeri dan museum berpusat pada niat untuk belajar + penelitian, bukan untuk mengisi waktu luang seperti yang kita kenal sekarang. dan hanya menarik bagi audiens yang sudah memiliki ketertarikan awal terhadap seni dan budaya. Saya termasuk dalam kategori ‘pengunjung museum’ yang membuat saya menganggap galeri/museum sebagai sesuatu yang biasa. Namun, ini tidak berlaku bagi Yoga yang menganggap galeri dan museum sebagai ‘ruang yang mengintimidasi’ karena ia baru menjumpainya saat pindah ke Jakarta. Ketidakbiasaan tersebut akhirnya berubah menjadi ketidaktertarikan karena persepsi ‘eksklusivitas’ yang melekat. Setelah kunjungan pameran bersama kami, Yoga mengaku terkejut dengan kemampuannya untuk membentuk hubungan tersendiri dengan karya seni tertentu. Ia mengingat kembali bahwa ia merasa sangat terhubung dengan karya-karya yang mengusung tema ‘rumah’ dan ‘rasa memiliki’ (misalnya, Traces of Home karya Jimged), yang memicu ingatannya akan keluarganya dan rumah-rumah yang pernah mereka tempati. Nostalgia masa kecil Yoga menjadi inspirasi bagi refleksi yang ia tulis untuk podcast pameran dan melalui ceritanya kita dapat melihat berbagai cara mewujudkan ‘akses’ di dalam ruang pameran.6Saya percaya bahwa kurator memiliki peran besar dalam memberikan gambaran kepada pengunjung mengenai hubungan mereka dengan ruang, dan melalui pameran ini, Grace Samboh dan timnya secara kolektif membebaskan para pengunjung untuk memandu diri mereka sendiri di Galeri Nasional.
Fiezu, Yoga, dan Shaula menunjukkan pentingnya budaya digital dalam membentuk ekosistem seni (saat ini), di mana tren online memainkan peran penting dalam menciptakan keterlibatan dengan estetika dan seni di Jakarta. Konsumsi-kreasi konten mendorong kebiasaan di antara warga Jakarta untuk mengunjungi (dan sampai batas tertentu menghargai) galeri dan ruang museum, mereka menggunakan karya foto untuk membangun relasi personal dengan ruang pameran. Hasil dari foto-foto yang diunggah ke Instagram dan Tiktok menjadi kreasi ‘hibrid’ yang memadukan estetika dalam ruang pameran dengan estetika personal mereka. Pada tingkat tertentu, lokakarya ini pada dasarnya merupakan kontribusi pada konten yang diproduksi sebagai tanggapan atas ruang pameran. Melalui audio, setiap cerita kami berbentuk episode podcast yang menceritakan hubungan kami dengan Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak. Kekaguman Fiezu pada pameran ini memantik inisiatifnya untuk menggunakan podcast sebagai undangan publik dengan harapan dapat membuat seni menjadi menarik bagi teman-temannya, sedangkan pengetahuan Ibrahim yang luas mengenai sejarah seni rupa melahirkan narasinya mengenai proses-proses penciptaan karya-karya Rusli dan Siti Ruliyati yang sedang dipamerkan. Nostalgia Shaula dan Yoga menyoroti pengalaman ‘tergerak’ oleh karya-karya tertentu yang mengingatkan mereka akan kenangan masa kecil mereka dan saya tertarik untuk membuat narasi konseptual saya sendiri yang menghubungkan beberapa karya yang menurut saya menarik. Produksi konten audio membuat kami tenggelam ke dalam minat relasional serupa yang dialami oleh para pengunjung galeri, yang memungkinkan kami untuk membentuk ‘hibriditas’ cerita kami sendiri tentang ruang pameran.
Hibrid 2: Musik
Internet mempercepat ekonomi kreasi (digital) di Jakarta dengan menyetarakan akses terhadap konsumsi dan produksi artistik di luar batas-batas IRL7IRL = in real life, in real time. yang terkait dengan tempat, ruang, dan waktu, sebagaimana aplikasi media sosial (Instagram, Pinterest, Tiktok, Tumblr, Youtube) yang menggunakan algoritma untuk berinteraksi dengan konten tanpa batas. Desain aplikasi tersebut memastikan pengguna terbiasa dengan konten yang terkurasi dan sesuai dengan minat estetika mereka: mulai dari desain, fesyen, musik, lukisan, fotografi, puisi, dan patung. Semua ini mendorong pengguna8Pengguna yang ‘kreatif’ atau terlibat dalam industri seni dan kreatif. untuk berpartisipasi dalam siklus inspirasi-adopsi-adaptasi yang melekat pada produksi estetika secara online. Hasilnya adalah sebuah sistem yang menjadikan seni sebagai hibriditas atau ‘hibrid’ itu sendiri. Proses ‘hibridisasi’ menjadi pusat dari perkembangan seni di Jakarta, seperti musik yang dihasilkan dari skena hiphop di kota ini.
Sejak 2016, hiphop menjadi tren di kalangan anak muda Jakarta, ditandai dengan viralnya Rich Brian. Sempat menyebut dirinya sebagai Rich Chigga, Brian memulai debutnya dengan meluncurkan video musik “Dat $tick” di YouTube. Video ini menampilkan lirik satir yang menggambarkan kekuasaan dominan di Jakarta dengan visual yang mengolok-olok gaya hidup hedonis para penghuni elite kota. Ketika ditanya tentang proses kreatifnya, Brian mengaku bahwa pengetahuannya tentang hiphop sepenuhnya bersumber dari dunia maya saat ia belajar bahasa Inggris. Ia begitu menghayati musik yang ia temukan, terlihat dari bagaimana Brian mengestetisasi budaya kulit hitam dalam lirik-liriknya, di mana ia mengibaratkan kekerasan sebagai sebuah bentuk kekerasan yang tertanam (dan tidak terlihat) di Jakarta. Dalam lirik “Dat $tick”, Brian merujuk pada paradoks dari apa yang ia sebut sebagai ‘kekayaan’ yang mengambil bagian dalam kekerasan geng. Video ini dianggap kontroversial karena penggunaan kata-kata kotor dalam bahasa Brian dan tuduhan perampasan budaya, tetapi video ini berhasil meraih popularitas online yang signifikan. Melalui video musiknya, Brian telah membangun eksistensi gaya hiphop yang ‘mewakili’ suara-suara dari Indonesia, yang membuatnya menjadi tokoh penting dalam mempopulerkan hiphop Asia. Popularitas Brian membuatnya menandatangani kontrak dengan label rekaman 88rising.
Sean Miyashiro, pendiri 88rising, mengklaim dirinya sebagai pionir dalam memberikan ruang bagi para musisi keturunan Asia. Labelnya merupakan respons atas kurangnya representasi Asia dalam industri musik Amerika Serikat. Label rekaman ini mencap diri mereka sebagai “The Disney of Asian Hip-Hop”,9Chen, Wu. (2018, 30 April). Q&AA: 88rising’s Sean Miyshiro wants to build ‘Disney for Asian culture’. Dalam AdAge, adage.com/article/qaa/q-aa-88rising-s-sean-miyshiro/313297 memposisikan para artisnya sebagai duta budaya yang ‘memberdayakan dan merepresentasikan’ diaspora Asia. Instrumentalisasi identitas Asia mereka merupakan inti dari pemasaran 88rising, mereka menanamkan nuansa nasionalistik ke dalam pertunjukan live mereka. Sebagai contoh, Brian dan sesama artis R&B Indonesia, NIKI, membawa pernak-pernik Indonesia (seperti bendera dan lagu-lagu Indonesia) dalam penampilan mereka. Aksi-aksi ini menuai apresiasi dari netizen Indonesia, di mana Brian dan NIKI menuai pujian karena menunjukkan kebanggaan nasional dan ‘membawa’ budaya Indonesia ke hadapan khalayak global.10Stanley Dirgapradja. (2020, 4 Januari). Coachella 2020: Rich Brian & Niki bawa nama Indonesia. Dalam Cultura, https://www.cultura.id/coachella-2020-rich-brian-niki-bawa-nama-indonesia Politisasi representasi 88rising memungkinkan suatu bentuk ekstraksi budaya, di mana mereka mengkooptasi akar hiphop dalam kultur kulit hitam. Mengutip kata-kata Katherine McKittrick dan Sylvia Wynter, pembuatan dan praksis musik kulit hitam—dalam konteks kebencian dan aksioma anti-kulit hitam—ditopang oleh ‘tuntutan revolusioner akan kebahagiaan’, sambil menunjukkan bahwa tindakan kreatif menandai penegasan kehidupan kulit hitam.11Katherine McKittrick. (2016). Rebellion/Invention/Groove. Dalam Small Axe, 49, https://gendersexualityfeminist.duke.edu/sites/gendersexualityfeminist.duke.edu/files/documents/Katherine%20McKittrick%2C%20Rebellion.pdf; Sylvia Wynter. (1970). Black metamorphosis, manuskrip yang belum dipublikasikan. Dengan memproklamirkan hiphop sebagai estetika musik ‘Asia’, berarti mereka menunjukkan sebuah esensi bahwa hiphop adalah ‘milik’ komunitas Asia, ini dapat berimplikasi pada penghapusan sejarah dan materialitas temuan budaya kulit hitam.
Saya ingin menegaskan bahwa isu ekstraksi tidak selalu menyangkut hibriditas budaya hiphop itu sendiri, melainkan lebih kepada kapitalisasi identitas untuk mengklaim kepemilikan atas temuan musik. Akses yang sudah didapatkan dari ekonomi (digital) produksi kreatif memungkinkan terjadinya kooptasi budaya yang sudah menjadi sesuatu yang normal di industri hiphop. Di bawah premis ekspresi kreatif individu dan komunitas, sekelompok seniman non-kulit hitam mengapropriasi budaya kulit hitam untuk politik identitas mereka sendiri (reklamasi). Terlepas dari itu, saya tidak ingin mengurangi kemampuan hiphop sebagai bentuk estetika yang mendorong hibridisasi di berbagai budaya. Tradisi muatan lirik dan bentuk gelombang atau waveforms (beat dan irama) berpadu dengan dialek dan puitika lokal, menciptakan sebuah bunyi hibrid yang ‘terlokalisasi’, ciri ini merentang dari hiphop Palestina hingga rap Vigilante Brasil. Daya tarik budaya massa hiphop berangkat dari daya cipta gayanya yang mendobrak konvensi struktur dalam produksi musik menuju bahasa baru ekspresi kreatif.
Selama beberapa tahun terakhir, ‘hibridisasi’ hiphop marak di antara skena musik Jakarta. Kareem Soenharjo, yang juga dikenal sebagai BAP., merupakan salah satu suara yang berperan penting dalam membentuk hiphop hibrid Jakarta. Ketika saya bertanya kepada Kareem tentang bagaimana rasanya mendapat pengakuan sebagai ‘pionir’, ia mengatakan bahwa pengakuan itu seperti mimpi, tetapi ia juga mengungkapkan ambisinya: “… Sejujurnya, saya tidak tertarik dengan percakapan (genre tertentu) itu, saya lebih tertarik untuk menjadi suara dari generasi saya.” Apa yang dimaksud dengan suara generasi ini? Saya balik bertanya. “Semuanya! Hanya saja dengan adanya internet, ada begitu banyak akses ke musik dan bunyi. Saya percaya bahwa saya adalah produk dari berbagai jenis musik dan bunyi sekaligus,” jawabnya. Ketertarikan Kareem pada lintas genre diperjelas dengan berbagai julukan yang ia berikan pada dirinya sendiri, yang saya duga memiliki kedekatan dengan berbagai musiknya sendiri: BAP. untuk rap dan hiphop, REEMO untuk DJ, BAPAK. untuk band eksperimentalnya, dan yang terbaru adalah Kareem Soenharjo untuk soundtrack instrumental yang bersifat reflektif. Di seluruh perjalanan musik Kareem, saya melihat adanya detail yang konsisten pada waveform yang bergema di seluruh beat dan irama yang dihasilkan dalam setiap suara.
Kareem sendiri membenarkan praksis musiknya berpusat pada irama, ia mengatakan: “Saya adalah seorang yang menyukai irama.” Waveform menjadi pusat dari komposisi rap dan hiphop, di mana ia berpadu dengan aransemen lirik untuk memberikan getaran atau apa yang disebut oleh para akademisi kulit hitam sebagai ‘groove’. Kareem menyatakan bahwa keluwesan dan kebebasan dalam bentuk musik mendasari ketertarikannya pada hiphop. Ia menyebut musik Earl Sweatshirt serta Kendrick Lamar sebagai musik yang berpengaruh pada karyanya. Di antara demografi rapper non-kulit hitam, ada kecenderungan untuk meniru idola mereka secara musik dan gaya dengan harapan menciptakan ulang vibe mereka. Kecenderungan rapper non-kulit hitam yang melakukan kooptasi budaya sayangnya telah marak terjadi di seluruh industri hiphop, yang mengestetisasi kulit hitam sebagai sebuah vibe yang dapat dikapitalisasi dalam musik dan pertunjukan. Kareem menduga bahwa situasi ini lebih sering terjadi pada rapper muda yang belum menemukan gaya musik mereka, ia mengatakan: “Saya harus mengakui bahwa sebagian besar berasal dari ketidaktahuan dan kurangnya kesadaran. Ini bukan masalah rasa tidak menghargai, tetapi sebuah penghormatan terhadap budaya kulit hitam.” Ia melanjutkan dengan menerima bahwa ia bersimpati kepada mereka karena ia sendiri pernah terlibat dalam perilaku bermasalah di masa lalu. Kareem mengakui bahwa butuh waktu untuk melupakan dan menyadari hal ini: “Saya harus sampaikan bahwa butuh pendidikan, banyak membaca, untuk dapat memahami konteks dan sejarah musik hiphop dan rap. Saya hanya bisa membayangkan apa yang harus dialami oleh orang kulit hitam, terutama mereka yang hidup dalam kekerasan yang terus-menerus. Kamu tahu? Saya tidak akan pernah bisa membuat musik yang menggambarkan keadaan tersebut atau bahkan berpura-pura menggambarkannya. Ketika saya membuat musik, saya menyampaikan kebenaran dan mengakui bahwa saya tidak ‘terpinggirkan’ seperti mereka. Saya hanya nge-rap tentang kehidupan saya di Jakarta Selatan.”
Di podcast berbeda, Kareem mengungkapkan bahwa skena hip-hop Jakarta Selatan pada awalnya dibangun dari rasa frustrasi terhadap kurangnya tempat yang memainkan musik yang ia dan teman-temannya ingin dengar. Bernaung di bawah nama Cul De Sac Collective, mereka mengadakan acara rutin di klub-klub sebagai jawaban atas kelangkaan tempat yang memainkan musik hiphop, rap, dan trap, serta mempopulerkan genre-genre tersebut ke audiens yang lebih luas di Jakarta. Pada waktu yang sama, Kareem juga terlibat dalam produksi beat, mixing, dan rap yang ia rilis ke SoundCloud-nya. Kumpulan pengalaman tersebut meletakkan dasar audiowork yang penting bagi produksi album-album hiphop Kareem. Album terbarunya, MOMO’S MYSTERIOUS SKIN, menuai pujian atas hadirnya suara BAP. yang memadukan permenungannya tentang ‘pride, love, life’12https://hypebeast.com/id/2021/11/bap-rilis-album-kedua-momos-mysterious-skin-dan-bukan-untuk-nyenengin-siapapun dengan sampel-sampel dari para veteran musik Indonesia (seperti White Shoes & the Couples Company, The Sigit, Maliq & D’Essentials, dan lain-lain) dan kolaborasi dengan sesama rapper asal Jakarta, Kink Yosev dan Tacbo. Pertemanan selalu menjadi hal yang penting bagi Kareem, ia selalu menjadikan teman-temannya sebagai sumber inspirasi. Ia percaya bahwa masing-masing dari mereka berperan dalam perluasan hiphop Jakarta Selatan. Ia menyebut ciri khas masing-masing, “Tacbo punya beat keras, Pasha (Kink Yosev) adalah master lirisisme, ENVY. adalah pencipta lagu yang andal, dan Basboi adalah penampil yang menyenangkan dan penuh warna.” Bersama-sama, mereka menyebut diri mereka “Jakarta Tenggelam”, yang mengklaim bahwa Jakarta tidak hanya sebagai tempat berkreasi, tetapi juga sebagai pusat hibridisasi musik hiphop.
Kesimpulan
Esai ini menegaskan sistem ‘hibridisasi’ yang membentuk produksi estetika dalam ekosistem seni di Jakarta. Melalui analisis terhadap dua ‘hibriditas’ di atas, esai ini mengakui pentingnya internet sebagai situs (teknologi) yang memudahkan koneksi dan kreasi, yang membawa relasi yang mempengaruhi proses produksi kreatif di Jakarta. Studi pertama tentang cerita menunjukkan bagaimana budaya produksi-konsumsi konten mengundang keterlibatan publik dengan ruang pameran. Selanjutnya, analisis kedua mengenai skena musik hiphop di Jakarta menjelaskan peran penting teknologi digital dalam memberikan akses terhadap inspirasi kreatif sekaligus memperjelas kemampuannya untuk mengkooptasi budaya. Contoh kasus tersebut menunjukkan ketidakmungkinan mendefinisikan ‘estetika Indonesia (atau Jakarta)’ jika berkutat pada narasi tunggal ‘identitas’ karena akan mengabaikan materialitas dari pertukaran transkultural dan interaktivitas yang membentuk produksi dan distribusi seni budaya di Indonesia.
Catatan Kaki
- 1Grace Samboh. (2019). Menolak praktik seni rupa yang berkebangsaan. Dalam Jurnal Lembar, 1(2).
- 2Penggunaan kata ‘seni Indonesia’ sangat berakar pada ontologi ideologi kebangsaan yang mengacu pada pemahaman genealogis tentang keindonesiaan.
- 3Berasal dari materialitas sejarah di seluruh Indonesia dan pengaruh budaya internet.
- 4Mengutip karya Édouard Glissant, Poetics of relation (1997), rhizome dibayangkan sebagai intrusi sistem ke dalam sebuah identitas.
- 5Motivasi untuk mengunjungi galeri dan museum berpusat pada niat untuk belajar + penelitian, bukan untuk mengisi waktu luang seperti yang kita kenal sekarang.
- 6Saya percaya bahwa kurator memiliki peran besar dalam memberikan gambaran kepada pengunjung mengenai hubungan mereka dengan ruang, dan melalui pameran ini, Grace Samboh dan timnya secara kolektif membebaskan para pengunjung untuk memandu diri mereka sendiri di Galeri Nasional.
- 7IRL = in real life, in real time.
- 8Pengguna yang ‘kreatif’ atau terlibat dalam industri seni dan kreatif.
- 9Chen, Wu. (2018, 30 April). Q&AA: 88rising’s Sean Miyshiro wants to build ‘Disney for Asian culture’. Dalam AdAge, adage.com/article/qaa/q-aa-88rising-s-sean-miyshiro/313297
- 10Stanley Dirgapradja. (2020, 4 Januari). Coachella 2020: Rich Brian & Niki bawa nama Indonesia. Dalam Cultura, https://www.cultura.id/coachella-2020-rich-brian-niki-bawa-nama-indonesia
- 11Katherine McKittrick. (2016). Rebellion/Invention/Groove. Dalam Small Axe, 49, https://gendersexualityfeminist.duke.edu/sites/gendersexualityfeminist.duke.edu/files/documents/Katherine%20McKittrick%2C%20Rebellion.pdf; Sylvia Wynter. (1970). Black metamorphosis, manuskrip yang belum dipublikasikan.
- 12