A. Geber Modus Operandi
Hoppla
Jadi kan kami melacak [di] tahun sekitar 99 itu, Geber kan pake internet untuk video performance saat itu di Amsterdam. Mungkin bisa cerita dari situ dulu, itu awalnya gimana, latar belakangnya gimana, kenapa bisa pake itu. Mungkin kita ngelacak dari situ dulu.
Pius Sigit
Saya lupa, itu tahunnya berapa ya?
Hoppla
98–99.
Pius Sigit
Bukan, yang di Amsterdam itu… oh ya… itu akhir ‘99 ya. Pada waktu itu kan kita buat karya tuh, memang untuk acara itu yang di Amsterdam itu sebenarnya. Itu memang lewat jaringan internet, tetapi pada waktu itu di Jogja kan masih baru itu, dan putus-putus waktu itu streaming-nya. Sebelumnya kita buat pertunjukan dulu, kemudian dari hasil pertunjukan itu kita buat karya video, dan karya video itu yang kita kirim ke sana kemudian diputar secara streaming. Kemudian ada talk di situ bareng dengan acara itu. Waktu itu bareng dengan karya Heri Dono. Ada dua, dari Geber Modus Operandi dan Heri Dono yang diundang ketemu. Tapi memang waktu itu teknologinya putus-putus, jadi kurang jelas ya. Modelnya kayak gini sih, kayak Zoom gini waktu itu tahun ‘99. Cuman videonya putus-putus karena memang fasilitas internetnya pada waktu itu memang sangat belum. Itu aja sih.
Hoppla
Terus kalau pakai internet pas masa itu, Mas. Pas putus-putus itu, gimana perasaannya tuh?
Pius Sigit
Ya agak kecewa juga, karena pas diputer kita nontonnya juga putus-putus, diskusinya juga putus-putus suaranya, jadi agak mengecewakan sih jadinya. Mungkin karena di sini masih baru sekali, kayak gitu. Tapi model-model gitu memang begitulah, pada waktu itu. Kita juga baru belajar tentang internet itu baru kenal tahun ‘96. [Tahun] ‘99 masih kayak gitu, di warnet waktu itu, jadi lucu jadinya.
Hoppla
96 kenal di mana?
Pius Sigit
Di Jogja kan baru masuk itu, ada internet pertama di Jogja dari Wasantara waktu itu. Terus masih pake telepon rumah untuk berhubungan dengan internet pada waktu itu.
Hoppla
Jadi tahun 96 itu udah pake dial-up ya?
Hoppla
Ya, tahun 96 saya sudah pakai. Tapi untuk di rumah kurang banter ya. Jadi waktu acara itu di warnet. Di Prawirotaman kalau gak salah. Begitu. Kayaknya waktu itu yang pertama deh. Gak tahu teman-teman yang lain pada waktu itu sudah pernah… tapi kayaknya itu pertama yang model kayak gitu. Waktu itu partisipannya juga cukup banyak, dari Eropa, dari Amerika juga. Monggo, pripun, saya agak lupa lupa ingat itu.
Hoppla
Nama warnetnya apa bang?
Pius Sigit
Nama warnetnya lupa, di Prawirotaman itu. Selatan jalan, kayaknya sekarang udah gak ada itu. Ndeso banget lah pokoknya. Wong waktu itu bikin karya pake teknologi digital juga wah ya setengah mati. Itu komputernya cuma 166[MMX] Pentium 2, untuk editing video masih pake Premiere yang paling awal. Untuk 10 menit aja render-nya bisa satu malam dengan resolusi yang sangat kecil waktu itu. Untuk resolusi standard TV aja belum mampu, 640. Itu baru bisa pakai resolusi yang 640 baru 2002. Ya, baru 2001—2002.
Hoppla
Temen-temen di Indonesia ada komentar waktu nonton pertunjukan itu? Selain tulisan Danarto dan beberapa orang.
Pius Sigit
Haduh, siapa ya. Heri Dono juga ikutan kok itu. Dia di sesi yang lain, setelah kami lalu Heri Dono. Saya juga lupa karyanya. Soalnya karya Heri Dono saya juga ikut buat waktu itu. Karya video kan gak banyak yang bikin waktu itu. Saya editornya untuk karya Mas Heri Dono. Gitu mas, lupa-lupa e saya.
Hoppla
Itu di-streaming bang?
Pius Sigit
Yang Heri Dono streaming itu. Gitu deh, lumayan. 20 tahun [lalu] itu.
Hoppla
Tapi setelah itu karya itu dipertunjukkan di mana lagi Bang, pakai live performance yang memanfaatkan jejaring internet itu?
Pius Sigit
Nah, waktu itu kan cukup viral. Terus kita dapet duit dari LIP sama CCF waktu itu. Terus kita buat seri berikutnya, rame di Jogja, rame sekali di tahun 2000. Lalu dikelilingkan ke Bandung dan Jakarta. Waktu itu gimana ya, cukup membuat orang-orang terpukau lah setelahnya, karena teknologi baru gitu, kan, kita gunakan untuk suatu pertunjukkan tapi pendekatannya lebih ke seni rupa sih waktu itu. Sempet menjadi perdebatan waktu itu, itu seni rupa atau seni pertunjukan, itu teater atau performance art, waktu itu. Lumayan lah, buat rame. Waktu itu kita gak peduli, kita kasih nama sendiri waktu itu kalau gak salah Multimedia Performance. Kita buat sendiri namanya supaya, ini makhluk baru gitu. Supaya gak klaim teater atau seni rupa gitu. Ya, begitulah.
Hoppla
Waktu di Bandung atau di Jakarta pake live streaming juga Bang, atau…?
Pius Sigit
Ooh gak gak. Cuman karena di Bandung dan Jakarta… karena di Jogja jadi rame beritanya, di Bandung dan Jakarta itu banyak sekali yang datang, pengen nonton, tapi ruangnya terlalu sempit sehingga penonton nontonnya di luar. Kita pake TV besar waktu itu. Gak bisa masuk.
Hoppla
Pake TV besar taro di luar, Bang?
Pius Sigit
Iya. Nonton di luar. Itu juga pengalamannya beda yang di luar dan yang di dalam. Begitu pertunjukannya selesai, yang di dalem keluar, semua penonton gak mau pulang, ada percakapan antara yang nonton di dalem dan nonton di luar. Pengalamannya gimana? Karena memang sebagai pertunjukan yang dalam ruang, waktu itu kita pendekatannya tidak model panggung gitu, ya. Jadi, antara penonton dengan ruang kita performance itu seperti gak ada jarak. Jadi itu adalah pengalaman ruang.
Sementara di luar, orang nonton dalam bingkai TV, ada jarak. Jadi mereka cukup aman menontonnya. Di dalam waktu itu adegannya cukup bikin shocking sih, ada kekerasan, sangat keras, di sisi lain juga seronok gitu. Jadi buat yang nonton di dalam itu cukup shocking. Tapi yang di luar mereka menikmati dalam bentuk yang lain, karena waktu itu modelnya memang di ruang pertunjukan itu kamera diletakkan di posisi-posisi di mana dia mungkin untuk di-live editing, langsung diedit sedemikian rupa, sehingga waktu ditampilkan di TV di luar, itu sudah bentuk tayangan yang menarik, gitu.
Hoppla
Udah beda banget ya.
Pius Sigit
Realitasnya beda, ya. Jadi ya, multimedia yang meruang, waktu itu. Jadi pendekatan gak sekadar teatrikal, tapi itu garapan interior juga sebenarnya.
Hoppla
Waktu yang live streaming dengan Jakarta-Bandung, ada perbedaan ya Bang, artinya? Secara performance-nya atau dramaturgi performance-nya ada perbedaan gak Bang waktu itu?
Pius Sigit
Gak beda. Karena memang itu [performance-nya] dibuat supaya untuk selain bagus dilihat di bangku penonton, juga bagus dilihat di layar monitor. Jadi waktu itu saya membuat model skrip yang berbeda dengan skrip untuk teater, juga bukan skrip untuk film. Ada temuan sih. Terobosannya di situ.
Hoppla
Ketika lo gunain alat antara yang satu pake internet terus lo pake ini, mungkin ada perbedaan, apakah ada cerita yang harus lo ubah atau gimana. Gak ada, ya?
Pius Sigit
Secara teknis, yang kita buat tidak ada. Kita tidak berpikir sampai delivery message ke pengunjung sampai atau tidak. Tidak ada beban sampai ke sana. Bahwa apa yang kita buat itu pesannya harus bisa diterima dan harus seperti ini, tidak. Sehingga, ketika ia ditampilkan di dalam ruang, luar ruang, di streaming, itu juga sama sekali berbeda, karena delay-nya. Ada delay waktu, delay waktu itu berbeda, cakupan ruang penonton juga berbeda. Yang di luar gedung pertunjukan waktu itu masih bisa berdiskusi dengan di dalam. Sementara yang streaming itu kan antah berantah, tidak bisa saling mengenal, melihat pertunjukan dalam layar yang lebih kecil lagi. Jadi pengalaman meruangnya tidak sampai. Gambar putus-putus, apalagi audionya. Kalau misalnya kita dalam ruang… penonton dalam ruang bisa benar-benar merasakan, terlibat dalam performance itu. Karena audionya juga memenuhi ruang. Jadi dinding-dinding itu, pantulan di dinding itu dari mana-mana. Jadi, seolah-olah dia berada di dalam ruang itu. Berbeda ketika itu ditonton oleh mereka yang di luar. Itu cuma mereka berhadapan dengan monitor dan speaker, ya cuma stereo biasa gitu. Jadi mereka tidak punya pengalaman ruang di situ. Dan dalam jarak aman. Jadi bisa disambi, bisa sambil minum, bisa sambil ini… itu beda. Itu karakter beda yang mestinya dalam pengembangan kita dengan karakter-karakter ruang yang demikian, kita mestinya bisa menemukan bentuk artistik yang seperti apa.
Sekarang kan beda lagi, ada yang pake VR. Dimungkinkan bagi penonton untuk punya pengalaman personal. Jadi meskipun itu di-streaming, pake VR gitu, kan, pakai kacamata… message-nya bisa personal sekali. Pada waktu itu kan gak bisa. Kalau menurut saya, pada waktu itu ya kayaknya itu karya yang kurang pas dengan media seperti itu. Karena ketika itu dinikmati di layar komputer, di PC gitu kan, sifatnya adalah personal, sebenarnya. Jadi, bukan karya-karya yang public. Yang punya kotak emosi secara personal kepada penontonnya. Mestinya seperti itu.
Kalau ditonton di zaman sekarang, orang nonton dengan laptop-nya, dengan headset-nya, pengalamannya bisa sangat personal, dan seharusnya karya-karya yang sifatnya sangat peresonal. Jadi kayak ya mestinya gitu sih, karya-karya yang tidak untuk konsumsi umum. Untuk konsumsi yang spesifik itu jadi mungkin sekarang. Dan sekarang juga bisa di-address langsung ke penontonnya siapa. Kalau waktu itu kayaknya enggak deh. Address-nya public, dengan poster-posteran itu, ya begitu. Beda jauh banget dengan sekarang. Seharusnya perkembangannya luar biasa, sih.
Hoppla
Kalau dari situ, kemudian lo bersama Geber Modus Operandi ada yang bikin karya yang memang pengembangan dari sebelumnya, menggunakan internet?
Pius Sigit
Kami belum melihat itu sebagai media baru yang potensial. Karena memang secara teknis itu masih jauh. Gak tahu setelah itu, kan ruangrupa mulai bikin, di tahun-tahun itu, toh. Ruangrupa berdiri di tahun-tahun itu masih dalam rintisan kan, itu juga masih banyak… yang leading ruangrupa kemudian karya-karya itu. HopplaGeber Modus Operandi sampai tahun berapa sih, Bang?
Pius Sigit
Sampai tahun… terakhir kita buat karya itu 2001. Pendek, usianya pendek karena waktunya tidak tepat.
Hoppla
Video dokumentasi karyanya bisa dilihat di mana, Bang?
Pius Sigit
Di IVAA, tapi potongan saja. Yang utuhnya saya ada sudah jelek kasetnya. Nanti kalau misalnya teman-teman bisa mengkonservasi itu, merestorasi itu, yo… minta tolong.
Hoppla
Didigitalin aja dulu kali, Bang, mungkin bisa.
Pius Sigit
Ya iya, mesti direstorasi dulu baru didigitalkan. Yang ada di IVAA itu Cuma potongan. Waktu itu saya buat potongannya. Tapi karya yang paling kerennya justru nggak utuh, eh, malah hilang. Di IVAA gak ada. Eh ada, tapi cuma potongan. Yang bagian itu… main boneka seks sambil baca GBHN itu kan bagian paling menarik. Cuma yang ngerti ya orang sini. Orang sana, diputer di streaming sana kan orang gak mengerti, “apa sih ini…” gitu.
Hoppla
Gue agak kurang denger karena agak kepotong-potong dan internet gue jelek. Tapi tadi kan dibilangnya secara teknis masih sangat jauh dan belum mumpuni. Itu menyiasati di zaman itu tuh gimana, Mas?
Pius Sigit
Ya waktu itu bingung, nanya ahlinya siapa, juga gak tahu. Tapi dengan media baru itu betul-betul gagap. Itu kan ruang dalam satu kotak monitor gitu, kita belum paham, ini barang apa? Sebenarnya model artistik macam apa yang bisa dinikmati di situ? Kita kan juga kenal Personal Computer (PC) juga baru waktu itu. Kita pun belum paham apakah itu benar-benar personal. Kalau memang demikian, maka itu bentuknya karya-karya yang bisa dinikmati secara personal, bukan dinikmati bersama. Itu kan jenis karya yang berbeda ya.
Selama ini kita kan modelnya pameran. Pameran kan untuk dinikmati publik, gitu. Tidak dialamatkan langsung kepada seseorang. Apalagi sekarang orang sudah pakai HP untuk lihat video, untuk macam-macam message yang sifatnya personal, itu kan bisa untuk karya-karya yang modelnya semacam itu. Karya-karya yang tidak harus untuk di-publish. Itu jadi sangat mungkin. Dan sebenarnya kalau kita paham dengan media itu, jadi peluang bisnis yang cukup besar juga sebenarnya. Kayak gitu, sih, situasi di waktu itu.
Untuk teman-teman yang lain, coba.
Hoppla
Karya Heri Dono itu juga di-streaming di festival itu?
Pius Sigit
Streaming juga.
Hoppla
Yang ngedit lo?
Pius Sigit
Kalau gak salah. Saya juga lupa, karyanya judulnya apa ya? kalau yang judulnya Interrogation, saya yang [mengedit]. Harus dicocokkan lagi.
Hoppla
Tapi tahun 99 itu memang tidak ada kecenderungan untuk menggunakan internet sebagai media presentasi ya sebagai live performance atau multimedia performance?
Pius Sigit
Kalau di luar, ya. Di Eropa mulai dilihat sebagai potensial.
Hoppla
Kalau di sini, Mas? Di Indonesia?
Pius Sigit
Belum, itu baru. Yang lain, Mas Krisna Murti, saya tidak tahu apakah dia sudah atau belum. Karena waktu itu yang bikin video art juga cuma dia, kok.
Hoppla
Kalau untuk sekarang-sekarang ini, kalau pemanfaatan internet di karya Mas yang lima tahun belakangan ini gimana?
Pius Sigit
Yang sekarang? Ya sebenarnya saya gak terlalu mengikuti ya, untuk sekarang, bentuknya seperti apa. Tapi seperti yang saya sampaikan, lebih mungkin untuk yang sifatnya personal-personal, yang bisa dinikmati sendiri. Maka, mungkin untuk membuat karya-karya yang agak keras, yang agak-agak… tidak patut untuk di publik, gitu lho. Yang kontroversi, yang nganu, itu menjadi lebih mungkin di zaman sekarang. Dan menjadi lebih mungkin ketika ia bisa dialamatkan langsung kepada penonton yang macam apa, gitu. Sehingga memang variasi-variasi untuk membuat karya akan menjadi banyak sekali. Tapi, ya, itu tadi, saat membuat karya harus jelas alamatnya untuk siapa. Itu bisa direct, dan juga bisa ada VR sekarang. Orang bisa punya pengalaman ruang yang waktu itu gak mungkin. Dengan VR, 3D, orang bisa masuk ke dalam dunia yang lain. Dunia yang lain menjadi sangat mungkin untuk kemudian diciptakan. Tergantung kreativitas anak-anak sekarang, akan bermain sejauh mana. Terus, dengan model teknologi sekarang, untuk emotional contact-nya, malah lebih bisa dapat karya-karya yang sifatnya lebih privat, dan bersentuhan yang seolah-olah nyata itu menjadi lebih mungkin sekarang. Itu keren banget, sih.
Hoppla
Kalau karya-karya di internet, mungkin yang belum dibingkai menjadi seni. Tapi ada beberapa video misalnya, yang kita lihat di TikTok atau di YouTube yang sangat performatif dan belum dibaca sebagai seni. Kalau menurut Mas gimana?
Pius Sigit
Gimana maksudnya, belum di-anu menjadi seni?
Hoppla
Maksudnya dia hanya di-present-kan di internet, belum di galeri atau apa pun. Kayak misalnya video di TikTok atau YouTube, itu kan banyak yang performatif, banyak yang mengeksplor medium yang sangat jauh…
Pius Sigit
Gak tahu saya. Harusnya ada yang mendefinisikan itu. Mestinya kalian bisa mendefinisikan, itu menarik. Mana nih, yang seni? Ya itu tadi, pemahaman teknis medianya, potensi medianya, potensi penikmatnya, potensi senimannya, sekarang kecenderungannya bagaimana? Tiga itu di-lock di situ, bisa muncul definisi yang baru, kayak gitu, sih.
Hoppla
Mungkin sebelum jauh ke yang sekarang, gue masih pengen balik lagi sih Bang, terutama ke karya lo yang individu. Yang judulnya Fasten the Seatbelt yang di OK.Video Subversion tahun 2005. Lo kan ngambil isu video porno yang kesebar melalui internet, dan menemui orangnya, dan kemudian lo wawancara, lo upload lagi ke internet, dan siapa pun bisa men-download transkrip interview lo. Transkrip atau video, ya?
Pius Sigit
Video.
Pius Sigit
Videonya bisa di-download orang. Gimana latar belakangnya, bisa bikin karya Fasten the Seatbelt itu?
Pius Sigit
Itu cuman mencoba… ber-layer. Apa ya, bagaimana message itu diunduh, di-upload lagi. Diambil, diunggah lagi. Karena ada realitas dibolak-balik, gitu lho. Karena ketika diunggah lagi, itunya sudah berbeda, ketika sudah di-edit… ada realitas yang di-blend lagi sama orang-orang, seolah itu bagian dari realitas awalnya, padahal itu sudah menjadi… apa ya, realitas, opini, kan sudah dicampur aduk ya, di dunia internet kan seperti itu. Jadi, semuanya… apa yang terang itu jadi kabut, sebenarnya. Apa yang sebenarnya jelas jadi gak jelas.
Dan media itu untuk membuat terang benderang, dia justru menjadi black light. Yang terang menjadi gelap. Bagian yang sudah terang tinggal diterangi lagi, yang terang itu kan menjadi gelap. Itu menjadi black light. Jadi ini jaman black light sebenarnya. Terang di dalam terang. Yang terangnya menjadi gelap. Jadi main-main di situ. Cuman waktu itu ya, nyampe atau enggak, gak tahu. Waktu itu ya bikin karya bikin aja, kita belum berpikir audiens itu akan nangkep kayak gimana, kita cuek-cuek aja. Masih muda, Mas.
Hoppla
Bisa cerita latar belakangnya, Bang? Bagaimana itu dibuat?
Pius Sigit
Lupa, lupa Mas.
Hoppla
Wah, parah nih… [tertawa]
Pius Sigit
Parah, lupa saya lupa. Banyak lupa lho, Mas.
Hoppla
Yang ini lho, Bang [menunjukkan dokumen ke monitor]
Pius Sigit
Iya, itu lupa aku. Lupa, arsipnya aja lupa. Karena abis yang gitu-gitu terus aku melukis. Beda. Ya, dunianya beda. Begitu, Mas.
Hoppla
Ya, teman-teman, mungkin kalau mau langsung ke sekarang juga gak papa. Gua tadi mau nanya yang itu, penasaran soalnya. Karena kemungkinan gua juga mau masukin yang itu sih, Bang, ke dalam salah satu karya yang ngomongin…
Pius Sigit
Yak, bentar, saya sambil merokok dulu ya. [pergi dari ruangan, lalu kembali lagi dengan rokok. Ngobrol ngalor ngidul sementara.]
Hoppla
Sori ya, Bang, gue gak terlalu terkonstruksi. Kemarin dengan karya New Normal gimana, Bang? Lo juga salah satu yang menyeleksi ya untuk Jogja Biennale. Gimana lo melihat aplikasi, terus kemudian gimana lo melihat karya yang terseleksi, yang terkait dengan Jogja Biennale?
Pius Sigit
Yaa, gimana ya. model-model sekarang yang kemungkinan bisa masuk ya model-model yang konseptual, gitu, kan. Modelnya juga pakai proposal, gitu. Jadinya yang masuk ya yang bisa bikin proposal. Yang ga bisa bikin ya susah juga. Walaupun kalau yang bisa nulis proposal bagus belum tentu bisa bikin karya bagus juga, ya. Tapi yang bikin karya bagus, bikin proposalnya juga ya berantakan. Tapi karena prosedurnya begitu, yang bisa menuliskan konsepnya yang baik juga yang masuk, pada akhirnya begitu. Tapi apakah kemudian message-nya sampai atau tidak, kayaknya dari proposal yang masuk juga… hmm, belum mempertimbangkan itu. Kayak, misalnya menggunakan media baru ya, internet. Sebenarnya juga ke publiknya belum jelas sebenarnya. Karya-karya begitu akan di-address-kan ke mana? Itu yang menurut saya harus ditemukan, sebenarnya. Kemudian untuk sampai ke sana, caranya gimana? Itu penting, sih. Kayak gitu, Mas. Jujur banget toh, aku. Gak usah ditulis, lho, kalau yang gini-gini! [tertawa]
Problemnya di situ sih. Satu, pemahaman medianya masih tanggung, tak betul-betul tahu secara teknis media yang digunakan. Kemudian, kita bikin itu alamatnya ke mana. Penting. Itu belum clear. Kalau kalian bisa merumuskan itu, sip, menarik banget. Karena kan internet ini kan cakrawala baru, Mas, buat kita ini cakrawala baru. Cuman kok masih blur, kabur, cakrawala baru ini seperti apa.
Kalau yang dilihat di Normal Baru kemarin, makin sempit, sebenarnya. Kita menggunakan media yang jangkauannya luas, tapi pengalamatannya justru sempit. Jadi masing-masing seniman muter ke lingkarannya juga. Tidak bisa ter-publish dengan lebih luas. Jadi itu, yang saya katakan black light tadi. Seperti lampu-lampu kecil dalam lampu-lampu besar. Gak nampak malahan. Kan seharusnya message-nya bisa tersebar ke mana-mana, tapi justru enggak.
Hoppla
Kalau idenya sendiri gimana, Bang? Ide proyeknya, latar belakangnya seperti apa, kenapa bisa sampai ada proyek dan kolaborasi dengan biennale itu?
Pius Sigit
Saya tidak tahu, kalau itu Farah [Wardani]. Saya ikut di tengah jalan. Gagasan dasarnya saya gak tahu, karena itu memang, apa ya… masa-masa Covid, tiba-tiba dunia menjadi gelap. Masing-masing bingung, gak tahu mau buat apa, terus terisolasi, terus kita pikir, dengan media internet itu bisa terhubung. Apa yang kita buat bisa menyebar. Kan gitu. Kenyataannya, orang tetap dalam lingkaran-lingkaran kecil juga. Tidak meluas. Potensi teknologi yang luar biasa itu justru mempersempit. Jadi tetep aja butuh… gak bisa dipisahkan dunia internet dengan dunia real. Harus jadi satu.
Perjumpaan di dunia internet dan perjumpaan di darat justru semakin mendukung. Jumpa darat itu semakin masif, semakin besar setelah ada media internet, sebenarnya. Jadi media internet itu betul-betul bisa menjadi pemandu dari realitas yang ada ini. Dia bukan dunia yang lain. Dia bisa menjadi pemandu. Karena dunia real-nya sangat macet di mana-mana, gak ada lompatan. Adanya jejaring internet ini memungkinkan adanya lompatan-lompatan ini. Percobaan-percobaan yang tidak terduga ini benar-benar bisa dinyatakan, bisa ada. Gak tahu, tinggal bermain di logika yang mana. Karena di dunia internet juga kita bisa menjadi orang yang semakin tidak nyata. Semakin hilang, gitu. Itu juga bisa.
Hoppla
Kalau dibandingkan dengan pengalaman dari Mas Sigit Pius di awal reformasi, 99, dengan sekarang, realitas antara kenyataan sehari-hari dan virtual itu semakin jauh atau semakin mendekat, sih, Bang?
Pius Sigit
Tergantung. Kita bisa melakukan keduanya. Bisa semakin mendekat, bisa juga semakin menjauh. Kita bisa bermain di dua itu, sebenarnya. Tinggal persoalannya artistik kita mau kita letakkan di medan yang mana. Jadi kan cara bermainnya berbeda.
Saya sambil ngingat-ngingat, ya. Sebenarnya kegelisahan kalian apa, sih?
Hoppla
Nggak sih, Bang. Ketertarikannya mau melihat aja sih, sejauh mana teknologi dipakai. Dari tahun… setelah kita melacak, terus nemu karyanya Geber Modus Operandi tahun 99. Kita mau tahu aja, perkembangannya sampai mana, sih. Karena kayak kemarin, di pandemi itu kan, ledakan gitu. Tapi kemudian ya udah, gitu aja. Setelah sekarang, kita belum tahu nih apakah dikembangkan apa enggak. Apakah ada perubahan. Gimana pengalaman Bang Pius bikin live performance di tahun 99 dengan pengalaman penonton live performance sekarang dengan streaming, selain perbedaan teknis, ada perbedaan lain lagi untuk bisa dilihat.
Tadi Mas Sigit juga sempet ngomongin pengalaman ruang, segala macam. Cukup penting untuk membaca juga karya-karya teater, karya tari. Jadi juga rencananya bikin timeline antara karya dan perkembangan teknologi di Indonesia, kapan wi-fi mulai familiar… itu mempengaruhi seniman gak untuk bikin karya. Kemudian juga bikin software yang terkait internet. Segitu sih, Bang, pengennya.
Pius Sigit
Teknologi sekarang yang menurut saya potensial VR ya, dengan audionya yang binaural. Karena dia juga menciptakan ruang di situ. Jadi orang nonton itu tidak dalam jarak yang aman. Karena karya seni itu yang susah kan transfernya, untuk delivery motion itu kan sulit, gitu. Nah, sekarang teknologinya jadi mungkin, dengan audio yang binaural, dan VR yang seolah-olah… jadi ruangnya kebangun betul, emotional contact menjadi mungkin. Sementara untuk model yang lain, saya… belum kayaknya. Karena yang lain modelnya nanti tetap bermain di ruang yang aman, secara emosi aman, tapi berpikirnya jadi rumit, gitu lho. bermain di pikiran yang rumit, model karya yang berjejaring, seolah-olah itu kan permainan dalam pikiran saja. Tapi delivery emosinya gak nyampai.
Kalau yang dengan VR, binaural, itu malah mungkin untuk karya-karya konvensional, yang ditransfer ke media yang itu. Misanya saya lihat 3D VR lukisannya Dali itu bagus banget itu. Rasanya kan, wah, masuk dalam lukisan. Kayaknya itu bisa menarik. Dan itu juga bagus banget proyek kayak gitu, karena membawa orang bukan hanya ke dalam lukisan, tapi ke lukisan di abad lampau. Itu kan asik banget, gitu lho. Bisa mengatasi ruang, waktu, terus dua dimensional jadi hidup, masuk ke tiga dimensional, menjelajah waktu… itu potensinya gede, lho. terus, galerinya saya bayangkan juga dalam ruang yang audionya binaural.
Itu mungkin galeri ke depan kayak gitu, ya. Model galeri yang begitu, nggak cuma karya konvensional yang digantung di dinding. Itu keren sih. Terus ruang itu juga bisa dimanipulasi jadi hadir di layar, jadi hidup. Keren, kalo anak-anak muda sekarang proyeknya apa, mestinya keren.