Manshur Zikri

Narasumber: Manshur Zikri
Waktu Wawancara:
14 Januari 2023
Lokasi: Bantul
Tautan Karya Terkait:

Hoppla

Lo pas di Cemeti kan juga sempet mengkurasikan beberapa program yang terkait dengan isu-isu yang berhubungan dengan internet dan digital. Gua mau nanya sebenernya latar belakang lu bikin program itu sih. Kan ada beberapa, Rotten TV salah satunya.

Manshur Zikri

Sebenernya motivasinya tentu merespon gejala paling kini dari masyarakat kita. Kedua, internet itu kan teknologi yang paling canggih lah untuk ngomongin bagaimana masyarakat itu saling terhubung. Tapi sebenernya kalau dalam eksplorasi yang gue lakukan di beberapa project di Cemeti itu sebenernya masih lebih ke wilayah bagaimana masyarakat hidup dengan internet, terus interaksi dia dengan internet. Itu dia yang dipersoalkan. Jadi bukan internet-sebagai-internet, bukan internet sebagai medium seni tapi lebih ke gimana ketika masyarakat berhubungan dengan internet, interaksi antara dua domain gimana dibicarakan. Lebih ke situ, sih.

Hoppla

Kalau Rotten TV itu kan lo kerjasama degan banyak seniman dan institusi lain. Bisa ceritain gak tuh project lo, gimananya, outputnya apa?

Manshur Zikri

Rotten TV itu sebenernya inisiatornya si Daniel Lie. Dia ngajuin project Rotten TV itu ke funding-nya, terus dia dapet. Kemudian dia ngajak beberapa lembaga untuk mengimplementasikan ide Rotten TV itu. Salah satunya dia mengajak Cemeti. Gue pikir juga sebenenernya Daniel Lie itu bikin Rotten TV kemudian direspon sama Cemeti dengan tiga kluster project itu juga. Ide awalnya bukan lebih ke ingin membicarakan internet sebagai medium seni sih, tapi lebih ke persoalan tentang nggak bisa pameran fisik karena Covid. Itu sebenernya lebih ke sana.

Cuma ketika dibicarakan, oke kita akan bikin project itu online, internet. Obrolannya kemudian waktu itu sama Daniel Lie ini, mengarah ke gimana eksplorasi terhadap internet itu juga dilakukan seperti kita mengeksplorasi konsep “rotten” itu. Pembusukan. Yang gue pikir itu sih, kalau dalam konteks Rotten TV ya.

Hoppla

Ini tadi kan lo bilang sebenernya ada kaitannya dengan kondisi kita di pandemi dan hampir setiap kita ngobrol itu sama seniman-seniman yang kita wawancarai, pandemi itu kan selalu kayak semacam memaksa seniman atau kurator untuk memikirkan ulang apa itu seni. Karena medannya berubah banget. Lo sendiri ngeliatnya gimana? Apakah itu bisa jadi akselerasi ke arah digital dan internet yang dipaksa oleh pandemi itu sebenernya mampu mengungkap potensi-potensi yang sebelumnya gak kita pikirkan atau itu hanya fase aja?

Manshur Zikri

Kebetulan ada pandemi itu satu aspek tersendiri ya. Maksudnya kebetulan itu kan akhirnya membuat lo jadi mau berpikir lagi tentang teknologi komunikasi yang lo pake. Tapi gue pikir pun kalau misalnya nggak ada pandemi, kecenderungan untuk mengarah, melakukan eksperimentasi terhadap teknologi komunikasi internet, itu juga nggak terhindarkan. Karena tahun 2019 beberapa saat sebelum pandemi itu kan sebenernya pembicaraan tentang web2 dan web3 itu udah marak di masyarakat. Tiba-tiba blek! Ada pandemi gitu. Dia jadi terakumulasi pembicaraannya.

Cuma yang perlu kita sadari itu, yang gue liat sejauh ini, sebenernya desakan untuk lo mau berbicara atau mencari cara untuk memanfaatkan teknologi komunikasi di saat pandemi, itu nggak diiringi oleh kesadaran bahwa teknologi internet itu adalah teknologi khas. Karena kan yang dianggap orang urgent itu kan lebih ke yang ngomongin tentang pengalaman ketubuhan. Lo nonton lewat internet, lo nonton pameran lewat virtual itu nggak sama dengan pengalaman fisik. Yang dibicarakan orang itu.

Jadi, artinya mereka berusaha mencari atau mencari jawaban tentang teknologi hanya untuk memenuhi hasrat mereka di luar teknologi virtualnya. Tuntutannya itu yang bekerja. Bukan dalam rangka memahami teknologi internetnya sendiri. Lu mencari cara untuk bikin pameran, itu yang bekerja sebenernya hasrat untuk bikin pameran fisik. Gimana caranya hasrat pameran fisik itu bisa terwujud di pameran virtual. Seharusnya kan ketika lu ngomongin teknologi virtual, ya pamerannya virtual, hasrat fisik itu udah nggak ada lagi. Sayangnya kan itu yang terjadi di 2 tahun kita pandemi kan. Orang punya kerinduan terhadap pengalaman fisik. Sementara kalau lo udah ngomongin yang namanya digital, ngomongin teknologi internet, hal-hal yang fisik itu bisa diabaikan. Itu yang gue rasa jadi dilema juga sebenernya selama pandemi. Ketika lo mengeksplorasi layar, mengeksplorasi teknologi internet, lo berada di posisi yang mana? Mau dalam posisi yang memang murni teknologinya, internetnya, atau lo dalam posisi yang sedang menjawab hasrat fisikal itu.

Hoppla

Kalau lo ngelihatnya praktik yang dilakukan oleh seniman-seniman, khususnya di Indonesia, itu gimana? Apakah masih mengejar ketiadaan tubuh itu, atau sebenernya ada nih 1-2 yang bisa lepas dari itu untuk menciptakan 1 bahasa yang eksklusif internet atau digital?

Manshur Zikri

Kalau di Indonesia kayaknya belum ada ya. Gue belum nemu. Karena kalau misalnya teknologi internet untuk bikin canggih-canggihan visual udah banyak di Indonesia. Dari zaman [inaudible] itu udah ada. Cuma maksud gue kalau di dalam diskusi-diskusi gue sama Diki [Mahardhika Yudha] kan buat kita yang paling tepat, paling representatif untuk dikasih liat disebut sebagai contoh internet Gretchen Andrew. Dia itu karyanya ngibulin Google. Jadi dia nggak pakai kemampuan hacking sama sekali, cuma kemampuan SEO aja.

Jadi dia bikin website, diatur SEO-nya, sampai suatu ketika nanti ada event besar acara seni di mana, ketika orang nyari di Google itu perginya ke website dia, bukan ke event yang dimaksud. Jadi orang ngetik nama event itu perginya ke website dia. Itu kan simpel sebenernya. Artinya lo bisa paham tentang karya itu karena lo menggunakan Google, lo menggunakan teknologi internetnya. Nah kalau di seniman kita kan internet itu dipakai sebagai pendukung karyanya ya. Sebagai atribut doang, bukan internetnya yang dibicarain. Contohnya kayak Rotten TV kan internetnya cuma sebagai tempat display. Sebenernya eksplorasi itu pernah gua coba terapin di Afirmasi Krisis itu misalnya yang gua usulin ke kawan-kawan Extended Asia. Itu Zoom online. Mereka hadir di Zoom, Zoom-nya ditayangkan di dalam galeri. Yang gue bayangkan waktu itu kan ketika gue mengajukan ide itu sebenernya ngomongin tentang Zoom online. Ketika lo hadirkan dalam pameran, orang-orang di Zoom dijadiin pameran, itu kan sebenernya dia sifatnya live tapi lo dimediasi oleh layar. Lo dimediasi oleh teknologi berjejaring gitu. Yang jadi pertanyaan adalah apakah yang lo lihat itu adalah fisik atau yang bukan fisik? Atau yang virtual.

Pertanyaannya ketika Zoom online itu dihadirkan di dalam galeri dalam “instalasi karya” apakah dia hanya pendukung saja internetnya di situ, atau justru internetnya yang sedang dibicarakan? Yang jadi persoalan di karya-karya kita kan itu, internet cuma sekedar pendukung aja. Pun kalau misalnya ada yang mencoba mengeksplorasi internet atau Metaverse misalnya, kejebak di dunia game-game doang. Maksudnya, ada gejala yang menurut gue cukup menjebak. Dalam artian, Metaverse itu dipahami sebagai sesuatu yang sifatnya nggak ada bedanya dengan game. Itu juga persoalan juga tuh. Kayak Indonesian Net Audio Festival yang diadain sama Wowok kan, itu kan sempat heboh waktu itu, karena lo bisa menikmatinya kalau lo ikut ke dalam game dunia-dunia itu kan. Tapi ya, apa namanya, dalam implementasi [inaudible] gue nggak ngelihat suatu yang dibahas Lev Manovich tentang dunia game itu estetikanya apa. Jadi Indonesian Net Audio itu nggak tereksplorasi menurut gue.

Hoppla

Tetep yang seperti lo bilang tadi ya, atribut.

Manshur Zikri

Itu kayak lo cuma pindah ruang aja dari dunia fisik ke dunia game. Ketemuannya di dunia game. Menurut gue itu kan nggak esensial.

Hoppla

Tadi kita bicara soal Rotten TV kan sempat nyinggung soal konsep busuk nih. Busuk apa sih yang lo maknain di Rotten TV itu? Apakah itu konsep si digital decay ini kayak kalau bicara internet kan orang seolah-olah bilang nggak ada pembusukan di internet gitu ya. Nah konsep busuk yang lo maknai di proyek Rotten TV yang kayak gimana?

Manshur Zikri

Itu sebenernya konsepnya dari Gelar [Soemantri]. Jadi Daniel Lie sebagai inisiator project, dia ngajuin tentang ide rotten itu, busuk. Nah waktu itu ditawarkan ke Cemeti, gue ngasih tiga klaster project jadi performance tubuh, yang kedua itu lupa gua… ada tubuh, ada cyber, terus yang ketiga itu ada… [inaudible] tubuh itu ada si Jessica dan kawan-kawan. Kemudian yang pembusukan dengan fotografi itu ada Enka [Komariah] sama… kemudian yang ketiga itu ada Gelar. Nah yang cyber itu tawaran dari Gelar sebenernya. Dia mengajukan tentang mencari kemungkinan sesuatu yang busuk dalam dunia digital.

Karena logikanya kan itu nggak ada. Waktu itu ketika ngobrol sama gue, si Gelar bilang kalau pembusukan dalam dunia digital itu nggak ada, tapi lo bisa ngeliat sesuatu yang lo udah tau itu udah mati, tapi dia nongol lagi. Itu dia ngelihat ada websitenya Soeharto. Soeharto udah mati, tapi kehadiran Soeharto di dunia internet itu masih ada kata si Gelar. Jadi dia ngelihatnya secara terbalik gitu. Jadi virtual decay atau rotten dalam konteks digital itu sehingga itu lebih ngomongin tentang gimana sesuatu yang tidak terdeteksi itu perlu lo gali lagi. Lo ekskavasi lagi. Walaupun dia sebenernya nggak busuk. Itu satu.

Yang kedua, konsepsi tentang momentum juga, dalam artian jangan-jangan yang disebut busuk dalam digital itu lebih ke sifat waktu, dalam artian contohnya lo bikin Instagram Story dan yang disebut Instagram Story yang busuk itu ketika setalah dalam 24 jam dia masuk ke dalam archive kan. Jadi jangan-jangan itu lebih ke busuk yang dibayangkan dalam konteks digital. Itu bukan dari gua idenya, dari Gelar. Virtual decay.

Afirmasi Krisis

Hoppla

Kalau program yang tadi lo bilang Afirmasi Krisis itu gimana praktinya?

Manshur Zikri

Afirmasi Krisis itu sebenernya yang mengeksplorasi internet cuma Extended Asia. Itu juga gua ngeresponnya karena gue tahu Extended Asia beririsan dengan Hoppla. Jadi dalam pamerannya kemudian gue minta Andang sama Godit tuh sama Theo juga untuk sedikit banyak dibicarakan juga irisannya dengan Hoppla. Karena kan hampir semua presentasi yang dibayangkan untuk Extended Asia sebenarnya kan sifatnya online.

Lagi-lagi karena pandemi, semuanya online. Nah gua bilang ke Andang, logika itu juga dihadirkan di dalam pameran. Tapi kan ternyata dalam realisasinya, sifatnya bukan live juga yang ditayakngkan di layar monitor. Itu rekaman. Gua bilang wah gimana caranya internet tetap ada? Makanya gue tawarin yang Zoom online itu. Jadi mereka satu jam itu Zoom online. Pengunjung pameran bisa menyapa mereka di depan layar. Gua kira yang mengeksplorasi internet di Afirmasi cuma Extended Asia. Karena dalam konsep Afirmasi Krisis sebenernya waktu itu kan fokusnya bukan di internetnya, tapi lebih ke situasi krisis ketika pandemi yang gua bicarakan.

Hoppla

Kalau di karya internet yang gue inget itu kan yang sebenernya cukup mengeksplorasi adalah yang tadi lo ngomongin tentang menggunakan SEO Google. Gua inget karyanya Ade Darmawan yang Insya Allah itu, pake Google. Itu juga sempet diomongin pas kita omong sama Jenong ya kalau gak salah, dan dibilang itu post-internet. Itu kan menarik karena misalnya kalau itu dibawa ke luar internet kan interpretasinya jadi beda gitu. Dia bisa jadi sangat spesifik di internet. Hidupnya hanya di situ. Lu sebenernya liat nggak sih ada kemungkinan-kemungkinan karya seperti itu? Maksudnyaitu kan sangat relate dengan waktu iu kemunculan Google luar biasa banget kan, awal-awal 2000an. Sekarang kita ada web3 segala macem yang sebenernya secara permukaan pun kita masih meraba-raba. Lu liat nggak sih sebenernya itu bisa dijadiin suatu yang sangan profound nggak atau sangat potensial?

Manshur Zikri

Pasti ya, potensialitas itu pasti ada. Tapi yang gue kira belum… persoalannya jadi susah juga. Karena keseringan kan kalau dalam praktik seni kita, itu jebakannya selalu bikin karya yang representatif. Ngerti gak maksud gue? Misalnya ngomongin internet, karyanya itu merepresentasikan internet.

Misalnya kayak karyanya Ade Darmawan itu, dia bikin Insya Allah. Kemudian di-print. Print-nya itu kan representasi akan fenomena internet. Padahal yang semestinya kita kurasi adalah present internet, bukan representasi internet. Ada nggak karya Indonesia yang present internet? Kagak ada?

Hoppla

Kalau kayak Gustaff?

Manshur Zikri

Menurut gue juga nggak. Belum. Sama misalnya kayak Tromarama yang dia bikin instalasi lampu-lampu. Lampu-lampunya itu akan nongol bergantung dengan jumlah hashtag yang ada di Twitter. Jadi dia pakai software tertentu, cuma menyeleksi tagar di Twitter, nanti ada algoritmanya akan mempengaruhi kode-kode kemudian akan mempengaruhi lampu-lampu. Nah lampu-lampunya ini ada di dalam galeri.

Itu gue sempat berdebat tuh dengan Tromarama. Dia bilang itu internet. Ya iya, tapi fungsi internet di situ hanya representasi. Yang lo liat di ruang presentasinya adalah lampu, bukan internet. Jadi nggak total internet-sebagai-internet. Internet sebagai sebuah pengalaman, internet sebagai sebuah pengetahuan. Makanya ini cukup radikal ketika lo udah setuju misalnya internet sebagai sebuah pengalaman dan pernyataan, artinya ruang pamer itu udah nggak butuh misalnya.

Karena internet udah nggak mengandalkan itu lagi. Tapi kalau misalnya lo masih bisa membayangkan ruang galeri, galeri fisik, menurut gue itu jebakannya masih akan merepresentasikan internet. Tapi pertanyaannya adalah memang penting kita harus merepresentasikan internet, itu juga kan. Apakah jangan-jangan representasi internet juga nggak ada salahnya? Tapi kalau ditanya soal tentang eksplorasi medium artistiknya ya menurut gua belum ada yang secanggih Gretchen Andrew itu di Indonesia belum ada.

Hoppla

Kemaren tuh ngobrol sama Wowok, dia sempet bilang, dia ngomong dalam konteks Jogja, sulitnya adalah banyak seniman di Jogja itu gaptek. Jadi mau ngomongin, mau ngulik pun gak bisa karena keterbatasan teknis. Sedangkan yang ngerti tentang teknologi, gak tertarik sama [inaudible] jadi itu tuh nggak ketemu.

Manshur Zikri

Nah itu yang menjadi ini kan seharusnya tugas-tugas lembaga seni semacam Cemeti, kayak Ruru, menurut gue harus memfasilitasi itu. Jadi kalau ditanya urgensinya apa, urgensinya yang bagaimana, ya mempertemukan itu, orang kreatif sama orang yang tahu engineering. Gua pikir dulu OK Video bisa melejit itu kan karena mempertemukan praktisi video sama orang kreatif kan. Bikin workshop dimana-mana, bikin praktik kayak [inaudible] kalau kita baca tuh arsip-arsipnya kan ruang-ruang pertemuan workshop itu giat banget tuh, nah sekarang gua pikir juga harus seperti itu metodenya.

Mempertemukan seniman dengan para engineer atau ahli teknologi atau hacker atau apa, programmer. Harus sih, kalau nggak, nggak akan nyambung terus. Kalau misalnya si Wowok bilang kalau seniman di Jogja banyak yang gaptek, ya bener. Gue pikir juga bukan hanya Jogja. Cuma coba-coba doang kan. Secanggih-canggihnya [inaudible] nih, ngomongin tentang bahasa kode, itupun juga masih kode permukaan, bukan yang pemahaman kode seperti programmer, hacker, yang liat-liat di TV itu bukan. Cuma user aja sebenernya, hanya menggunakan template.

Hoppla

Gue pas liat kan lagi rame membantu AI untuk bikin karya seni kan. Gua sempet baca dan liat juga gimana AI itu menduplikasi Rembrandt dengan misalnya ada robotnya gitu tapi dengan teknik Rembrandt. Terus atau misalnya Monet tapi yang digambar di Indonesia gimana gitu. Itu kan kerja-kerja teknis ya, maksudnya di satu sisi seakan-akan kan craftmanship udah nggak penting lagi jadinya karena udah digantikan dengan collective consciousness kalau misalnya mau dibilang gitu. Apa ya, kalau menurut lo, seberapa pengaruhnya sih fenomena AI? Karena gue lihat cukup banyak keresahan juga sih.

Manshur Zikri

Kalau gua ngelihatnya AI itu justru malah akan membuat eksprerimen seni akan mengalami peningkatan di aspek naratif. Jadi bukan lagi teknis, tapi naratif. Karena AI kan karya-karya yang AI itu kan kalau misalnya lo bisa menemukan kata kunci tertentu yang pas. Nah penilaian itu di situ, di penemuan kata kunci yang gua maksud naratif itu. Misalnya kayak karya si Abi yang judul project-nya gue lupa tapi isinya fotografi karya performance yang tidak pernah di-perform. Ada tuh di [overlapping speech] itu kan bagus naratifnya.

Dia membuat satu kata kunci tertentu di AI-nya untuk supaya AI itu membikin image performance dimana image itu belum pernah dilakukan di dunia fisik. Poinnya kan ide dia menemukan naratif itu. AI itu menurut gue dorongannya nanti ke sana, kecanggihan naratif sebenernya. Karena kalau tataran visual atau tataran teknis itu udah selesai karena kan tadi udah dipakai di-handle sama robot ya. Gue gak tahu misalnya dengan AI lo bikin skenario film itu akan secanggih apa. Tapi kan udah ada tuh beberapa contoh tapi masih arbiter, skenario yang dihasilkan oleh AI masih arbiter.

Pasti kan pelan-pelan akan menuju keteraturan tertentu kan. Gue gak tahu akan seperti apa. Jadi eksperimen naratifnya yang berpeluang di AI ini. Artinya ketika kita sekarang sedang mengeluhkan naratif kita begitu-gitu aja, AI itu punya peluang untuk bikin kita belok kemana-mana. Eksperimennya di wilayah naratif sebenernya, kalau di wilayah teknis biasa aja. Orang kalau di-compare melihat karya Riono Tanggul dia melukis menggambar itu lebih enak liat karya Riono Tanggul daripada melihat karya AI. Yang bikin kita berdecak kagum sama AI kan karena kepikiran aja nih orang bikin kata kunci itu. Poinnya lebih ke sana sih.

Hoppla

Kalau di NFT sendiri menurut lo gimana? Kalau di sini, di Indonesia, menurut lu siapa yang udah bisa mungkin menggunakan atau memanfaatkan si NFT itu sendiri sebagai seni internet gitu? Karena kan beberapa yang gua tau, kebanyakan tuh lebih memanfaatkan NFT sebagai, oke, gua jual karya gua terus yang gua dapat adalah dalam cryptocurrency gitu. Gua belum menemukan ok ini mentok sampe sini gitu. Atau menurut lo Pocong udah atau gimana?

Manshur Zikri

[Fantom] Pocong mengarah ke sana, tapi gue kira yang bisa diacu sekarang Cryptophobia ya. Karena dia punya satu project yang menurut gue itu agak bajingan juga. Jadi dia bikin project image-nya akan berubah kalau Ethereum di atas 5.000 USD. Baru nongol. Gue nanya, dulu pake ini ya, pake fitur NFT dinamis? Kan ada sekarang udah banyak platform. Dia bilang nggak, gue naroh kode website gue di dalam blockchain. Jadi dia menaruh kode website CSS di dalam blockchain. Jadi yang gue ubah CSS website-nya, nanti image-nya akan berubah. Nah maksud gue dia kan punya kesadaran teknologi NFT itu bisa diotak-atik tapi dia bisa memainkan hubungannya dengan web2 kan. Gue pikir selain Cryptophobia, gue belum nemu lagi. Ya bisa jadi karena ini juga, eksplorasi gue juga bisa dibilang masih patut dipertanyakan ya, karena gue bukan peneliti tulen juga membaca itu.

Gue liat semampu yang gue liat aja. Tapi dari sekian macam yang gue tahu yang cukup canggih itu si Cryptophobia menguliknya. Minimal Cryptophobia tahu kalau NFT atau blockchain itu bukan sekedar lo majang karya, lo bukan sekedar bikin collectible. Tapi dia tahu ini punya bahasa sendiri. Minimal dia [inaudible]. Kalau Abi tapi di masih lebih banyak collectible kan dibikinnya, belum yang eksplorasi ngapa-ngapain. Nah yang lain ya udah cuma bikin NFT doang.

Hoppla

Tapi lo udah menemukan kayak bahasa atau form yang khas nggak sama NFT kayak apakah yang khas sama NFT adalah pixel art atau gimana? Atau sebenernya kebanyakan masih ya udah gitu kayak karya digital aja yang abis itu di-NFT-kan aja.

Manshur Zikri

Masih di situ aja, kayak digital di-NFT-in. Masih jauh. Gue kira ini masih akan 10-20 tahun lagi akan bereksplorasi ya. Eh nggak tau juga sih, kita kan nggak bisa memprediksi teknologi kan. Tapi gue pikir situasinya nggak akan berubah kalau… gimana lo mau ngomongin blockchain art, internet art aja belum terulik dengan baik gitu.

Karena blockchain kan udah next level dari internet art ya. Net art aja itu wacananya di Indonesia masih belum jelas. Gimana lo mau ngomongin blockchain art? Beda. Udah jauh banget itu. Kalau logika seni internet itu belum tuntas, mau ngomongin logika seni blockchain itu susah. Sekarang pertanyaannya, logika seni internet yang kita bayangkan itu gimana?

Hoppla

Tapi yang menarik tadi sih secara keseluruhan gua nangkep yang atribut. Tetep di situ sih, dan akhirnya kalau misalkan zaman sekarang kayak tadi sempet ngomong ketika di internet ya nggak perlu lagi galeri seharusnya.

Tapi bagaimana kita mengidentifikasi bahwa karya ini yang bisa dianggap seni atau ini seniman? Kadang kan bias juga saking banyaknya akun gitu kan, user di internet. Ada nggak lo kebayang struktural atau apakah masih berpola seperti galeri atau gimana nanti?

Hoppla

Jangan-jangan otoritas mana seni mana nggak itu sebenernya ya jadinya balik lagi. Karena kalau kita misalnya… ya walaupun lo tadi bilang blockchain itu masih jauh banget lah. Tapi setahu yang gua pernah alamin, galeri kan masuk juga dan mereka juga bikin semacam validasi juga, mana yang “high art” mana yang receh-receh. [inaudible] juga maksudnya.

Manshur Zikri

Iya makanya menurut gua sih kalau udah ke titik itu pembahasannya, kemudian kalau pertanyaan tentang mana seni mana yang bukan seni itu bukan lagi hal yang penting, yang ditanyakan kan justru yang dilakukan itu punya dampak sosial yang jelas atau nggak. Karena apalagi dengan wacana Lumbung di Dokumenta kita udah bisa berargumen bahwa yang disebut seni adalah sesuatu yang punya dampak sosial. Sesuatu yang punya dampak sosial itu bisa kita lihat sebagai seni. Gitu aja.

Lo bikin sesuatu nih, di NFT, ada di Indonesia yang dapat MURI tuh. Dia bikin NFT, dari bikin NFT itu dia bisa menyumbangkan duit banyak buat filantropi. Dia nggak seniman tapi dia bikin NFT untuk nyumbang ke masyarakat. Menurut gue itu lebih seni dalam artian dampak sosial dibandingkan orang yang bikin NFT tapi cuma dikoleksi kolektor. Itu kan jadi persoalan juga. Dalam konteks dunia internet misalkan, ketika kita udah nggak lagi bergantung ke galeri terus konten yang lu bikin, apakah itu seni atau nggak.

Lo misalnya bikin seuatu di YouTube atau media sosial lo. Pertanyaannya, konten yang lu bikin dampak sosialnya gimana? Maksud gue gini, semacam Elon Musk nge-tweet, dia punya dampak sosial yang kenceng tuh. Ya kan? Twitter itu bisa memengaruhi saham dunia. Ya kan?

Hoppla

Mirip-mirip jadi kayak grafis jadinya? Grafis kan poster propaganda gitu, sebagai produksi terus ditempel terus akhirnya berdampak ke orang bergerak menjadi aktivis tertentu.

Gue jadi inget wawancara Gustaf kemaren. Dia kan di [inaudible] dia cerita awalnya mau bikin kolektif bebasis internet cuma makin ke sini dia cerita praktiknya [inaudible] justru malah nggak seni. Karena mereka fokus bikin infrastruktur internet di daerah terpencil. Dia cerita, gue gak tau nih seni apa gak, tapi yang gue rasa yang kita lakukan ya punya dampak sosial yang tadi lo bilang juga. Dan kita senang hati melakukannya. Gue gak tau ini seni apa gak. Tapi yang jelas ini berdampak lah. Gue rasa itu udah melampaui seni dalam artian tradisional [inaudible]

Manshur Zikri

Ya tapi perlu hati-hati juga kadang berhadapan sama orang, pihak yang berusaha menghindari kata seni itu karena cliche. Karena gue pikir kesadaran bahwa praktik dia adalah seni itu juga penting. Ketegasan dia untuk menyebut bahwa itu seni kadang penting juga. Kalau udah ada orang yang agak enggan dengan kata seni itu juga kadang dilematis juga ngadepinnya.

Hoppla

Kenapa dilematisnya?

Manshur Zikri

Karena itu kesannya kayak cuci tangan. Kayak berusaha menghindari label tak baik dari kata seni atau dari kata apa, menurut gue ya. Berusaha main aman. Tapi kalau dia punya ketegasan bahwa praktik gue ini juga seni, itu kadang lebih fair. Lebih fair dan lebih menggairahkan. Maksudnya ketika lo melawan sesuatu tapi masih bertanya ini seni apa bukan ya, kadang-kadang kan jadi pertanyaan juga. Seharusnya lo udah bisa menjawab yang lo lakukan itu seni apa bukan. Ya tapi itu nggak terlalu penting sih. Tapi maksud gue itu, terlintas aja.

Hoppla

Kalau definisi seni buat lo itu apa sekarang?

Manshur Zikri

Seni itu, tahu nggak lo, yang namanya seni itu, definisi seni adalah sesuatu yang berusaha nyari definisinya sendiri. Itu seni, jadi dia selalu bertanya. Sesuatu yang selalu mempertanyakan definisinya. Itu seni. Jadi selalu nebak, selalu gak rigid kalau seni. Gak pernah punya kesimpulan. Itu seni.

Hoppla

Gue pernah baca kritik seni, lupa siapa, cuma dia menjawab pertanyaan apakah video-video yang disebar di internet entah itu YouTube atau Vine atau TikTok itu seni apa nggak. Kesimpulan dia adalah mirip sama yang lo bilang tadi. Bila kita masih mempertanyakan ini seni apa nggak yang berarti itu seni.

Pertanyaan gue, lo melihat karya-karya yang diproduksi oleh masyarakat kayak TikTok atau internet itu?

Manshur Zikri

Ya yang jelas itu pasti konten yang merupakan ekspresi tertentu. Yang ada banyak di antara mereka itu yang dibikin tanpa kesadaran seni sebenernya. Tujuannya ya bikin konten hiburan aja. Kalau udah sesuatu yang dibikin dengan kesadaran seni, itu kan ada pemahaman tentang pertama, eksplorasi mediumnya. Kedua, ada subjek tertentu yang dibicarakan di situ. Terus ada aspek sosiokultural yang dikejar oleh konten itu. Dia ada banyak juga sebenernya konten-konten di medsos yang dibikin tanpa kesadaran seni walaupun hasilnya atau tampilannya kadang lebih luar biasa daripada konten yang dibikin dengan kesadaran seni. Nah, yang jadi pikiran gue sebenernya adalah bagaimana kita melihat fenomena ini, melihat banjir audiovisual ini. Lo seniman video, ketika lo bikin karya, karya lo itu kalah canggih dibandingkan orang atau warga biasa yang bikin TikTok. Nah, gimana lo memposisikan diri lo sebagai seniman video.

Ketika lo berhadapan dengan anak kecil bikin TikTok yang lebih canggih isi videonya. Terus dalam posisi yang lain misalkan, ketika kurator atau kritikus seni, pengamat budaya, gimana mereka melihat fenomena itu? Ada anak kecil bikin video TikTok karyanya lebih canggih daripada seniman video, lebih canggih daripada Anggun Priambodo misalnya. Gimana kurator melihat si anak kecil ini? Bagaimana dia menilainya? Bukan dalam artian serta merta mengklaim bahwa video TikTok ini adalah karya seni. Bukan. Tapi inklusivitas gagasannya yang kemudian yang dituntut kan.

Bagaimana merangkul fenomena ini sebagai bagian dari praktik kultural yang sedang dilakukan? Persoalannya kan kagak. Gue tanya mana ada kurator Indonesia ngomongin TikTok. Siapa ya kurator Indonesia yang ngomongin TikTok? Nggak ada. Semuanya pada antipati, pada skeptis sama TikTok. Sinis gitu. Nggak ada yang mengamini itu sebagai sesuatu yang…

Hoppla

Jadi kalau orang yang membuat konten atau karya tidak dengan kesadaran seni, dia masih butuh afirmasi… bukan afirmasi sih, otoritas dari kurator atau kritikus gitu untuk menyampaikan bahwa ini nih seni.

Manshur Zikri

Ya kalau secara sistemik ya kerjanya seperti itu. Tapi kan yang disebut dengan kesadaran seni itu kan bisa disuntikin, bisa di-trigger. Misalnya ada seorang seleb TikTok, dia bikin kontennya banyak. Bagus lah, tapi dia bikinnya tidak ada dengan kesadaran seni. Kalau kurator itu datang, kemudian ngobrol sama dia, itu sebenernya kan menyuntikkan kesadaran seni sebenernya. Dialog itu kan, kesadaran seni itu muncul dari dialog itu. Soalnya dialog itu nggak ada, jangankan mereka didorong untuk menyadari yang mereka buat adalah seni. Dialognya aja nggak ada. Untuk diajak bicara aja nggak terjadi.

Gue inget misalnya waktu itu presentasinya acaranya DKJ apa, salah satu dari presenternya itu ada ini, ada orang yang bikin karya itu dari TikTok, dari Filipina atau mana gitu. Nah terus gue sempet berdebat sama Hafiz itu, Hafiz bilang karyanya si orang itu nggak ada kesadaran seninya. Itu mah gak ada bedanya sama TikTok yang lain. Terus gue berargumen bahwa dia masuk ke wilayah pembicaraan simposium seni, itu udah jadi satu persoalan. Itu satu. Terus yang kedua, emang lo pikir bikin karya konten itu terus punya dapet view tertentu, dengan like tertentu, itu segampang lo bikin ini kan nggak.

Walaupun konten dia dalam pandangan seni tinggi itu receh gitu, tapi kan prosesnya itu nggak bisa lo abaikan. Soalnya sekarang seni kita itu sombong, nggak mau itu yang kayak begitu-begituan. Angkuh. Seni kita itu angkuh. Punya keistimewaan sendiri gitu dalam menempatkan dirinya. Nggak mau dia melihat sesuatu yang lain.

Hoppla

Takut ini kali, karena ya untuk mengatakan itu seni atau gak kan butuh status quo juga.

Manshur Zikri

Padahal di Indonesia itu misalkan kayak ruangrupa dengan Oomleo itu bisa membuat karaoke itu jadi seni. Seharusnya kan peluang melihat TikTok sebagai seni juga ada. Karaoke yang dulu itu cuma sesuatu yang receh, sekarang jadi seni di tangan Oomleo. Artinya, sebenernya diskursus seni kita juga punya kemungkinan untuk merangkul itu tapi gue gak tau di zaman sekarang ini, setelah OK Video udah nggak ada, kehendak untuk merangkul sesuatu yang di luar seni itu mulai berkurang.

Gue juga gak tau kenapa. Atau mungkin karena beda zaman. Gak tau apakah Oomleo dia aware dengan TikTok ya walaupun gua lihat followernya banyak walaupun dia gak ada video. Dia ada TikTok, followernya banyak anjay. Dia gak bikin video apa pun di TikTok.

Hoppla

Tapi misalkan kayak gitu, batasnya untuk terus ngeliat apakah seseorang atau siapa pun itu, misalkan ada konten di TikTok atau dimana pun lah, selama itu belum ada yang melihat itu seni, tiba-tiba ada yang ngomong kalau itu seni, kapan lo tau apakah itu terlalu di-overanalyze atau di-overread gitu sebagai seni? Itu gimana? Batasnya gimana? Apakah emang dia beneran bisa dibaca atau dianalisis sebagai seni, atau terlalukan aja gitu?

Manshur Zikri

Overanalisis itu kan bisa diukur. Karena poin gue itu sebenernya bukan mengklaim dia sebagai seni, tapi bagaimana dia bisa dibaca wacananya sebagai bagian dari praktik kultural lo. Kalau overanalisis itu bisa ketauan. Ada nih misalkan lo ngelihat ada orang ngebaca berlebihan itu pasti ketauan. Tapi kalau lo ngeliat video di TikTok lo mengamininya sebagai bagian dari wacana lo itu bukan berarti overanalisis. Tapi lo mengakui fenomena itu ada, keberadaannya ada, dan itu punya kaitannya dengan praktik kultural lo. Gak mungkin gak.

Hoppla

Sama ini, gua lupa kemaren pas di Bandung itu ada yang sempet mempertanyakan kalau misalkan seni internet itu sudah mencapai titik tertingginya, yang kemudian udah nggak bergantung lagi dengan [inaudible] seni yang kayak kalian dan segala macem, dia mempertanyakan apakah kurator itu masih penting gitu [inaudible] menurut lu gimana?

Manshur Zikri

Masih penting lah, dengan peran yang berbeda pasti. Dalam artian kalau di dunia internet semua kan bisa jadi kurator ya, misal kayak lo di Facebook lo mengatur galeri lo, sebenernya lo mengkurasi ya. Atau di Instagram lo itu mengkurasi. Dalam artian mungkin bukan spesifik kurator, tapi praktik kurasi itu masih dibutuhkan di dalam internet art.

Nggak mungkin nggak. Walaupun nanti siapa kuratornya, udah nggak penting lagi. Tapi yang namanya praktik kuratorial itu pasti masih dibutuhkan dalam internet art. Atau mungkin jangan-jangan dalam bentuk teknologi AI juga kuratorialnya. Kita nggak tahu. Atau misalnya dalam konteks blockchain gitu, gua tuh ngobrol sama Pocong sempet ngebayangkan naskah kurator itu diterjemahkan ke dalam konteks smart contract misalnya. Jadi kuratorial itu adalah smart contract-nya. Tapi tetep itu kuratorial.

Hoppla

Maksudnya orang yang sebagai kurator itu. Kan tadi lu bilang nggak harus elu gitu yang jadi kurator, bahkan AI bisa.

Manshur Zikri

Ya berarti orang-orang sebagai kurator mungkin nggak mesti dibutuhin, tapi pratik kuratorial masih. Karena bayangin kalau smart contract bisa jadi kuratorial, dengan smart contract udah nggak butuh orang. Cukup smart contract itu aja yang bekerja. Tapi menerjemahkan pratik kuratorial dalam smart contract kan nggak segampang itu juga.

Cuma menurut gue terlalu dini juga kalau menyebut praktik internet art mencapai puncaknya. Di Indonesia itu belum tereksplorasi lho. Masih jauh untuk kita bilang kita akan mencapai puncaknya. Masih jauh.

2560 1178 Anggraeni Widhiasih
Ketik di sini ...

Preferensi Privasi

Ketika Anda mengunjungi situs web kami, informasi mungkin disimpan melalui peramban Anda dari layanan tertentu, biasanya dalam bentuk cookie. Di sini Anda dapat mengubah preferensi Privasi Anda. Perlu dicatat bahwa memblokir beberapa jenis cookie dapat mempengaruhi pengalaman Anda di situs web kami dan layanan yang dapat kami tawarkan.

Untuk alasan kinerja dan keamanan, kami menggunakan Cloudflare
required

Situs web kami menggunakan cookie, terutama dari layanan pihak ketiga. Tentukan Preferensi Privasi Anda dan/atau setujui penggunaan cookie oleh kami.