Hoppla
Bisa ceritakan From Bandung to Berlin? Latar belakangnya bagaimana bisa sampai di Google Culture Institute di Paris dan munculnya gagasan From Bandung To Berlin?
Brigitta Isabella
Sebenarnya [saya] tidak berpraktik sebagai seniman. From Bandung To Berlin adalah kali pertama dan semoga tidak terakhir juga dimana aku membuat sesuatu dalam kerangka proyek artistik yang akhirnya disebut sebagai residensi seni dan hasil akhirnya ada pameran seninya. Biasanya berpraktik sebagai teks. Aku background-nya filsafat kan, secara keterampilan hanya bisa menggunakan MS Word. Proyek From Bandung To Berlin tahun 2014 di Google Cultural Institute bagian dari proyek residensi. Tapi sebelumnya tahun 2013 ketika masih kuliah di Inggris, kuliah Critical Methodologies berkenalan dengan seniman Singapura bernama Ho Rui An yang biasanya performatif lecture.
Kami sama-sama berada di kota London, dia kuliah di Goldsmiths dan aku kuliah Kings. Ho Rui An ini sudah duluan ikut programnya 89plus. Itu adalah platform kuratorialnya Hans Ulrich Obrist dan Simon Castets, mereka punya platform bernama 89plus. Kalau di websitenya mereka menyebutnya sebagai long-term, international, multi-platform research project atau projek riset jangka panjang internasional dan multi platform. 89plus itu kerangka untuk mereka, sebagai premisnya sederhana sekali karena mereka mengundang seniman yang lahir setelah tahun 1989, tapi kemudian mereka menghubungkannya dengan runtuhnya Tembok Berlin tahun 1989 dan munculnya internet teknologi pertama tahun 1989.
Jadi tiga itu perubahan politik global, kemunculan teknologi yang secara operasionalnya, jadi mengundang seniman-seniman atau pekerja seni yang lahir setelah tahun 1989. Sebelum akhirnya aku kebagian residensi ini atau sebelum aku diajak mendaftar kemudian diterima itu ada satu sesi seperti simposium kecil atau konferensi yang dikuratori oleh Ho Rui An tapi dibiayai oleh 89plus ini untuk membicarakan 89plus dalam konteks Asia atau Asia Tenggara dan tempatnya di Singapura. Diundang lah aku, sebenernya Ho Rui An mengundang aku untuk mempresentasikan mengenai Asia pasca 89 atau apa sih pandanganmu setelah tahun 89 dalam konteks Asia atau Asia Tenggara.
Di acara itu tahun 2013 ketika aku disodorkan pada tahun 89 yang mana tahun kelahiranku, itu sebenarnya aku tidak merasa menemukan banyak konteks di Indonesia karena menurutku tidak ada hal yang penting pada tahun itu di Indonesia. Menurutku tahun tersebut kerangka yang penting di Eropa karena runtuhnya tembok Berlin. Pada saat itu (tahun 2013) aku merasa tidak terlalu beresonansi dengan patahan tahun 89. Kemudian sesederhana membalikan angka 89 dan 98 (karena pemahamanku dalam 8 tahun itu juga besar-besar aja gitu). Aku merasa 98 lebih mencolok jadi aku mempresentasikannya tahun 89 dan 98 membicarakan mengenai perubahan politik anak muda, bagaimana gagasan kepemudaan berubah dari masa ke masa dalam konteks Indonesia? Itu presentasiku bermain dengan angka sambil bertanya-tanya kenapa yah 89 dianggap penting oleh dua kurator Eropa ini?
Setelah presentasi itu aku ditawari untuk mendaftar residensi Google Cultural Institute di Paris tahun 2014 oleh 89plus. Daftarlah aku dengan proposal di mana aku mulai memikirkan periode 89 karena kan judul platform-nya itu, jadi aku belajar tentang perang dingin, tentang runtuhnya tembok Berlin dan berkaca lagi balik tentang sejarah Indonesia. Sejarah konteks Indonesia di mana secara permukaan saja melihat sejarah Indonesia kok kayanya bipolaritas Perang Dingin ini antara Blok Barat dan Blok Timur yang kemudian runtuh tahun 89. Itu sebenarnya sudah tidak berlaku sejak tahun 1965 sejak kita mengalami pembunuhan massal oleh komunis yang didukung oleh Blok Barat (Inggris, Amerika, dsb). Sampai 1965 aku mundur lagi, aku melihat Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955 di Bandung.
Muncullah kemudian From Bandung To Berlin ini yang awalnya dari sejarah Eropa soal Berlin 89 aku merefleksikannya balik dengan sejarah Indonesia lihat bahwa sebenarnya gerakan kiri itu sudah tidak ada dari tahun 1965 sudah dihancurkan di konteks Indonesia, tapi tahun 1955 juga kita punya gagasan alternatif soal dunia yang tidak bipolar lewat Bandung conference, gagasan dunia ketiga itu lahir.
Tapi pada tahun itu tahun 2013 aku juga belum memiliki perangkat pengetahuan sejarah mengenai itu, meskipun ketika aku sekarang menjalani atau banyak melakukan banyak penelitian gerakan transnasional dunia ketiga, sejarah Konferensi Asia-Afrika 1955 itu juga sesuatu yang munculnya mungkin baru mulai satu dekade terakhir. Jadi mungkin sekitar tahun 2005 munculnya studi Bandung conference, soal konferensi Bandung, Konferensi Asia-Afrika. Gerakan Transnasional Asia-Afrika itu baru muncul pada tahun 2005 jadi aku tidak memiliki informasi mengenai itu.
Nah di konteks Google Culture Institute itu aku datang dengan premis From Bandung To Berlin ingin mempertanyakan kerangka tahun 1989. Sejak itulah aku mulai memasuki atau sampai saat ini penelitianku tentang gerakan transnasional jadi hubungannya lebih kesitu aku bahkan saat aku memasukan proposalnya aku tidak mengkerangkai dirinya sebagai seorang seniman berbasis internet atau seniman digital yang historisitasnya bukan lewat ke-digital-an tetapi historisitasnya lewat sejarah global yang berhubungannya dengan sejarah lokal dan sejarah transnasional 1955. Tapi kemudian aku merangkai residensiku di Google sebagai network dalam artian work-nya kerja penciptaan jaringan yang kini di mediasi oleh internet dari 1955 penciptaan jaringan alternatif kiri lewat gagasan dunia ketiga.
Tahun 1965 ada jaringan sekutu yang kemudian menghancurkan jaringan kiri (gerakan simpatisme komunis). Jadi cara saya memasuki Google lewat pola pikir jaringan, network (jaringan) penekanan di work-nya itu yang ditawarkan. Jadi selama aku di Google pun yang ku lakukan adalah melakukan penelitian sejarah sebagai orang yang tidak memiliki latar belakang sudut sejarah namun aku mencoba meneliti jaringan seperti jaringan-jaringan sosial, politik dan kemudian memanfaatkan Google seperti Google Meet, Google Mail untuk mengundang beberapa orang yang kemudian untuk aku jadikan kolaboratorku di From Bandung to Berlin untuk membicarakan spekulasi sejarah atau berspekulasi sejarah, karena aku menyadari aku bukanlah seorang sejarahwan atau memiliki background sejarah dan membuat artikel sejarah jadi akhirnya aku memutuskan untuk bermain-main dengan sejarah melakukan praktik spekulasi realis yang tetap berbasis pengetahuan sejarah dan bukanlah fantasi.
Spekulasi dan fantasi berbeda ya imajinasi dan fantasi berbeda kan. Nah spekulasi yang imajinatif ini berangkat dari beberapa titik-titik penting dalam sejarah dan berspekulasi apa jadinya jika salah satu unsur dalam peristiwa sejarah itu tidak ada atau berubah, kira-kira dunia akan jadi seperti apa?. Itu beda sama fantasi kan yah. Dan itu yang aku lakukan. Ini juga dimungkinkan karena kami dapat uang produksi yang kubagikan dengan kawan-kawanku yang ku undang dengan cara mengundang. Caranya sebenarnya mirip mirip kalian yah, yang berawal dari kenal dari teman dan kemudian nyari-nyari atau nanya temen juga yang sekiranya kenal seniman dan kurator yang tertarik dengan sejarah.
Hoppla
Menurut lo sendiri peran Google itu sendiri bagaimana?Kan itu satu perusahaan multinasional besar yang bisa dibilang menguasai internet, mereka juga yang develop android. Nah dari spekulasi-spekulasi itu lo melihat pembacaan tentang multinational corporate seperti Google itu?
Brigitta Isabella
Mungkin aku jawabnya dua yah, secara praktiknya apa yang disediakan Google Cultural Institute ini dengan secara konseptualnya dengan Google sebagai perusahaan multinasional.
Pertama, secara praktiknya jadi Google Cultural Institute ini awalnya kami dijanjikan akan bekerjasama dengan salah satu ilmuwan, Google Scientist, jadi kau membayangkan jika aku membuat website ini yang membuat orang Google-nya. Waktu itu aku memiliki ide yang cukup liar karena ada gagasan itu, aku sampai ingin membuat website cursor and adventure. Jadi what if spekulasinya ada banyak dan mereka yang ngoding-ngoding gitu kan, ternyata sesampainya di sana kami dapat studio atau ruang kerja di Google di Paris, seperti magang di Google, melihat langsung kerja di Google seperti apa.
Tapi selain itu interaksi kami dengan Google scientist-nya itu sebatas kami presentasi satu kali saja buat mereka tentang rencana proyek kami. Tapi kami sebetulnya tidak ada fasilitas yang berarti, kami kerja sendiri-sendiri banget. Aku waktu itu bertiga: Aku, Nicholas Maurer dari Australia dan Philipp Timischl dari Austria kami tinggal satu apartemen yang sama dengan jarak 15 menit dari kantor Google di Paris. Pengalaman dan interaksinya hanya sebatas itu, ternyata tidak difasilitasi sehingga aku harus menggunakan uang produksiku untuk bikin website yang berbentuk website berbasis image karena aku memiliki kemampuan sedikit Photoshop dan aku juga dibantu temanku yang bernama Gildi dia S3 Human Computer Interactions yang waktu itu mau dibayar dengan tidak terlalu tinggi dengan uang produksiku saat itu.
Tapi memang website-nya kaku banget yah walaupun isinya kurang lebih sama tidak seperti sekarang website From Bandung to Berlin yang didesain oleh Natasha Tontey dengan script media ketika aku sudah memiliki uang lagi. Sedangkan temenku yang satunya yaitu Philipp explorasi video art sama seniman kontemporer dan dia juga tidak berbasis internet-internet banget. Dan satu lagi Nicholas Maurer dia lebih mengeksplor drone. Jadi secara fasilitas pun hanya segitu aja konteks residensi di Google itu tempat dan mungkin kerangka pikir walaupun interaksinya tidak sebanyak itu, tapi karena udah di Google kerangkanya 89plus, jadi kamu terus didorong juga untuk berpikir soal itu.
Kedua, secara konseptualnya apa yang aku pikirkan, Google sebagai perusahaan multinasional dan hubungannya dengan From Bandung to Berlin, di proyek From Bandung to Berlin sebenarnya tidak ada yah, dia belum mengandung refleksi soal internet sama sekali dia mungkin baru sampai memanfaatkan internet yang berkemungkinan untuk menciptakan jaringan tapi meta refleksi soal gimana Google sebagai kekuatan multinasional baru yang mungkin sudah melampaui batas-batas negara itu belum aku pikirkan pada saat itu.
Hoppla
Sempat dipamerin tidak hasil spekulasi riset-risetnya?
Brigitta Isabella
Di website, jadi sejak awal itu output-nya itu website From Bandung to Berlin. Jadi setelah pameran itu di akhir residensi kami ada pameran di Fondation Cartier seperti Yayasan Langgeng gitu ya di Paris namanya Foundation Cartier itu judulnya Novel Experience on Art and Technology atau Pengalaman Baru atas Seni dan Teknologi. Dan itu beberapa seniman alumni 89plus berikut kami itu di ruang terbuka mereka menyediakan karpet dengan bentuk bergelombang warna biru.
Dan karpet besar itu karya seniman dan kami yang putih itu lapak-lapak kami dan aku datang dengan laptopku untuk presentasi, “ini karya ku”. Kalau yang lain kebanyakan dengan objek kebanyakan instalasi objek seni atau objek visual. Tapi karena aku bukan seniman atau bukan makers benda gitu mungkin hal yang aku ciptakan immaterial ya jadi aku tetap bertahan dengan kenyataan dengan yang hanya aku tunjukan dengan laptopku dan website yang waktu itu aku buat.
Hoppla
Pameran Instalasi khusus gitu pernah sempat nggak?
Brigitta Isabella
Jadi kan ada itu ya pada pameran tahun 2014 kaya presentasi akhir setelah residensi. Setelahnya projek itu berakhir aku jadi berteman atau lumayan akrab dengan Renan Laru-an, dia kuratornya OK.Pangan, aku email dia dan menceritakan proyekku dan dia semangat banget karena dia merasa menemukan tandeman yang ngomongin soal geopolitik dan sejarah karena dia juga kurator. Setelah tahun 2014 From Bandung to Berlin dipamerkan di Guangdong Times Museum dengan kurator Patrick Flores dan Anca Verona Mihulet, South by Southeast nama proyeknya, Maret 2016. Ini dipamerkan sebagai instalasi yang artinya ada dinding terus diproyeksi jadi orang bisa browsing tapi hasil browsing-nya bisa terlihat di proyeksinya.
Itu sebetulnya tiap kali memamerkan From Bandung to Berlin sempat beberapa kali seperti itu modelnya mereka bisa browsing dan ada reading room-nya. Yang menarik di Gwangdong Times Museum itu From Bandung to Berlin disensor, jadi ditutup sama pemerintah Tiongkok karena kan mereka sampai sekarang juga masih strict yah sama sensor dan aku baru tahu setelah itu ternyata science fiction dilarang di Tiongkok. Itu bisa kalian eksplorasi lebih jauh.
Jadi, di From Bandung to Berlin ini kan ada spekulasi-spekulasinya yah, nah ada satu spekulasi yang berjudul Spectre of Soekarno itu hasil kolaborasi antara aku, Amanda Lee Koe, novelis dari Singapura sama Muhammad Al-Fayyadl, filsuf yang dulu sekolah di Prancis, kami membahas apa yang terjadi jika Soekarno tidak pernah dikudeta. Kemudian pas skenario spekulasi kami itu Soekarno memang betulan terjadi yah tahun 1964 itu Soekarno sama Mao Zedong itu sebetulnya sudah bikin semacam perjanjian soal nuklir.
Jadi Indonesia itu sudah mau merangkul kekuatan nuklir, mau menciptakan aliansi baru dunia ketiganya itu di Indonesia dan Cina, nah kami berspekulasi soal itu yang mungkin akan muncul New Asian Communism.
Dari situ dan mungkin juga tidak demokratis mungkin akan otoriter melihat naturenya Soekarno di era demokrasi terhimpitkan dia makin otoriter yah terus ditambah Mao Zedong punya kekuatan nuklir. Kami berspekulasi bahwa kalau Soekarno tidak dikudeta tahun 1965 mungkin akan terbentuk suatu aliansi blok baru Asian Communism yang punya kekuatan nuklir lewat kerjasama Mao Zedong dengan Soekarno. Nah, kuratornya sendiri Patrick ini tidak tahu kenapa dilarang di Cina, kalau di Cina itu kan pemerintahnya menjaga ambiguitas sebagai cara untuk menertibkan.
Jadi semakin kita tidak tahu kan kita semakin cemas yah dan kalau bertanya pun itu dianggap sebagai tindakan yang defensif. Aku yang waktu itu diundang dan Patrick, Anca kan juga bukan orang Cina jadi gak merasa tidak berkoar-koar soalnya ini karena khawatir juga nanti yang bermasalah orang museumnya yang akan berhadapan sama rezimnya. Kami mengikuti peraturan orang yang bekerja di sana.
Kemudian setelah South by Southeast beberapa bulan kemudian Renan diajak oleh SAVVY Contemporary di Berlin, sekarang dia jadi direkturnya baru saja terpilih tahun ini, dan diajak untuk pameran From Bandung to Berlin dan dia mengajakku untuk berkolaborasi. Di situ sebenernya website From Bandung to Berlin sebagai pemantik saja untuk karya-karya lainnya yang kemudian kami pamerkan di Berlin. Jadi dia punya fungsi sebagai karya gitu tapi waktu di Berlin itu sebenarnya dia fungsinya pemantik gagasan karena setelah itu aku dan Renan jadi kurator, kami mengkuratori karya-karya lainnya.
From Bandung to Berlin ini hanya satu karya saja dari kemudian kami mengundang seniman-seniman lain untuk membicarakan mengenai imajinasi geopolitik yang berbeda dari model yang terlalu hegomonik saat ini. Jadi, kami mengundang seniman2 yang tertarik dengan sejarah, perang dingin dan yang tertarik pada upaya-upaya membaca ulang sejarah.
Kemudian dia [From Bandung to Berlin] sempet dipamerin di pemerannya Renan di Sharjah Art Foundation kayaknya 3 tahun lalu sebelum pandemi judulnya A Tripoli Agreement. From Bandung to Berlin model presentasinya sama diproyeksi dan bisa di-browsing sama orang.
Yang terakhir ada satu pameran lagi tapi aku lupa apa, tapi mungkin karena dia website ya jadi menurutku yang unik yang terjadi dari From Bandung to Berlin ini tiba-tiba diikutkan sebagai sebuah pameran non-align tapi aku tidak pernah dikontak, dan karena hanya memamerkan website-nya jadi ya sudah mungkin karena saking immaterialnya dan tidak ada yang bisa dikomodifikasi juga dari website ini.
Hoppla
Tapi ke depannya mau lo apain?
Brigitta Isabella
Belum tahu sih, selain menanggung Rp. 500.000 pertahun untuk membayar domain-nya. Dulu sih waktu bikin ya seperti kita semua setiap kali membuat sebuah platform baru kita akan menyebutnya longterm platform yang artinya adalah sebenernya kita gak tahu masa depannya akan kaya apa, gak tahulah pokoknya jangka panjang aja dan online gitu kan temporaritasnya semakin terbuka gitu, keuntungan dari platform kan dia selalu terbuka gitu.
Sebenarnya aku sudah agak bosan juga sama ini, aku belum terlalu tahu gmn cara atau membukanya lagi itu aku belum tahu tapi mau ditutup juga ngapain ya biarin aja ngambang. Nanti kan kalau nanti ada tiba-tiba kolaborator lagi bisa. Meskipun sebenarnya semua gagasan-gagasan yang disini itu terus aku bawa dalam setiap risetku gitu. Misalnya setelah ini, setelah From Bandung to Berlin aku bikin akhirnya aku jadi tertarik dengan sejarah.
Aku akhirnya ikut beberapa proyek penelitian sejarah seni, aku bikin penelitian soal diplomasi dan politik persahabatan seniman dalam konteks penciptaan seni modern tahun 50 dan 65, kemudian aku meneliti soal konferensi Bandung juga dan sebagainya gitu. Jadi gagasan network ini yang terus aku bawa tapi sebagai website ya baru sampai di sini belum tahu.
Hoppla
Jadi seperti sejarawan ya?
Brigita Isabella
Lumayan, tapi ternyata karena jumlah sejarawan seni di Indonesia sedikit jadi akhirnya kaya pr yang semua orang harus melakukan kalau ada waktu gitu. Kaya kalian juga kan, ada gak yang jurusan sejarah?
Kan, di kita juga gak ada jurusan sejarah seni di Indonesia kan jadi itu tuh PR kita semua akhirnya karena kita kan penasaran selalu ragu juga sama gagasan kontemporer yang masa sih dia gak punya sejarah gitu? Akhirnya kan kalian juga melakukan kerja-kerja sejarah gitu, kita semua akhirnya melakukan itu. Kira-kira begitu sejarah kemunculan From Bandung To Berlin dibeberapa konteks.
Hoppla
Seberapa penting presentasi ruang fisik? Kan kata lo tadi beberapa kali diinstalasi itu diproyeksi?
Brigitta Isabella
Sebetulnya kalau dari ceritaku tadi misalnya Guangdong Times Museum ya dia dipamerin ketika bertemu sama konteks nasional di Tiongkok dia harus disensor gitu, tapi karena website dia jadi gak butuh ruang fisik. Tapi pada saat yang sama tanpa ruang fisik itu tanpa kemunculannya secara fisik di Guangdong Times Museum kita gak akan dapet konteks sensor yang ternyata ini menyinggung yah. Itu sebenernya buat aku menarik gitu ngeri ngeri sedap gitu yah. Oh ini hal yang kuanggap biasa saja dikonteks lain di negara lain itu jadi sangat bermasalah gitu karena mereka punya lintasan sejarahnya sendiri soal spekulatif history, soalnya nasional history gitu. Jadi dua-duanya penting gak penting gitu.
Tentu saja kita juga bisa selalu bilang ya penting karena pertemuan itu penting tapi kan kita kadang-kadang suka meromantisir gitu kan ya kaya kalau bisa lihat di website ngapain harus ketemu. Kan di website juga ketemu, kan kita ketemu juga secara online kita bisa bertemu gitu. Jadi dua-duanya punya keuntungan. Bisa berada di dua dunia tuh punya keuntungan tersendiri tanpa harus memilih itu penting atau tidak penting.
Hoppla
Ini kan proyeknya secara praktik kan spekulasi sejarah, nah tentu sangat beda dengan sejarah konvensional yang kita tahu karena kan selalu refleksi kebelakang dan melihat buat merunut gitu kadang-kadang justru malah update gitu sejarah-sejarah yang mungkin bolong gitu. Nah ini kan praktiknya malah kebalik nih justru ke depan. Ada gak sih respon dari sejarawan terhadap itu karena kan itu membalikan praktik yang sudah mereka lakukan gitu, ada tidak?
Brigitta Isabella
Sebetulnya spekulatif historis itu kan suatu bidang tersendiri yang juga muncul dari sejarawan. Jadi kalau sejarah Indonesia sih aku gak tahu belum ada yang bener-bener mengkonfrontasiku kaya ini gak bener itu belum terjadi. Tapi sebagai sebuah cara kerja spekulatif history itu juga lahir dari rahim sejarah yang sejarawan yang merasa sejarawan kok seringkali terlambat yah gitu. Jadi mereka sejarawan kadang-kadang tertarik pada masa lalu tapi pemahamannya atas masa lalu itu gak membantu kita untuk memahami masa kini gitu.
Jadi spekulatif history atau penulisan sejarah yang spekulatif itu sebetulnya kaya ada seorang teoritikus aku lupa namanya dia nyebutnya sebagai mental exercise-latihan mental dan latihan imajinasi buat sejarawan gitu, membantu mereka untuk gak cuma lihat mengetahui sejarah secara utuh karena gak mungkin juga kan, kan kita selektif juga ketika memilih topik sejarah kita selektif gitu dan seleksi itu kadang-kadang berbasis dari pengetahuan kita atas masa kini.
Jadi sebenernya selalu terhubung. Nah ini para sejarawan yang tertarik sama metodologi itu mendorong lagi, gimana ya kalau kita mencoba menghubungkan masa lalu, menghilangkan suatu elemen atau menambah elemennya untuk memikirkan masa depan yang sebenarnya sangat terhubung juga dengan soal keresahan masa kini kita kan.
Jadi akhirnya filsafat waktu dalam sejarah itu kalau aku sih liatnya sejarawan hari ini banyak sekali yang sangat terbuka untuk mengeksplor itu dan menariknya mungkin seni, ruang seni itu jadi menariknya karena dia cukup terbuka atas kemungkinan-kemungkinan itu. Sedangkan kalau di dunia akademik kan mungkin banyak pintu yang harus kamu dobrak untuk bisa menawarkan filsafat waktu seperti itu yang memang kemudian seni jadi ruang yang cukup membebaskan, cukup emansipatif untuk kerja-kerja sejarah spekulatif.
Dan aku juga merasa diuntungkan berada di ranah penelitian sejarah tapi bukan sejarawan. Menurutku kita perlu melihat itu sebagai keuntungan karena lebih terbuka untuk mengeksplor berbagai macam metode yang kadang-kadang ketika kamu udah kelamaan kamu dilatih dari S1 sebagai sejarawan kan udah ada pilar-pilar yang terbentuk mungkin sih tapi gak tahu juga.
Hoppla
Kalau di Indonesia sendiri gmn ada gak sih yang praktiknya serupa gitu?
Brigitta Isabella
Aku justru melihat belakangan ini semakin banyak yah kata spekulatif juga digunakan kan yah sama seniman-seniman yang tertarik mengeksplorasi sejarah. Natasha Tontey, terus kayanya terakhir si Rangga Purbaya sama ada beberapa yang aku gak bisa menyebutkan sekarang tapi barangkali seniman juga mulai sadar bahwa mungkin perannya ketika berhadapan dengan sejarah tuh ya peran-peran yang membuka alternatif, berspekulasi soal kemungkinan sejarah karena ya mereka bukan sejarawan. Jadi kayanya sih cukup banyak gitu yah sayangnya aku belum bisa menyebut satu persatu.
Hoppla
Kalau tadi kan sempat nyebut beberapa kali pameran d luar yah, kalau misalkan kamu pernah liat perbedaannya gak penggunaan internet di luar dengan di Indonesia itu kaya gimana? dalam lingkup sebagai medium berkesenian.
Brigitta Isabella
Apa yah perbedaannya. Sebagai medium berkesenian aku sendiri tidak tahu karena misalnya praktikus sebagai kurator atau sebagai peneliti juga gak mengekesplor sejarah seni berbasis internet gitu, itu kan yang sedang kalian lakukan yah. Terima kasih sudah melakukannya, bagus sekali kami tunggu hasil penelitiannya. Jadi aku mau membuat perbandingannya juga pun gak percaya diri gitu atau membuat sebuah argumen atau bahkan asumsi yah gitu.
Tapi kayanya kalau aku lihat juga paling tidak ini di luar praktik seni yah, tadi kan pertanyaannya seni berbasis internet tapi misalnya wacana internet aja misalnya aku cukup mengikuti penelitian-penelitiannya Bu Merlyna Lim kalian pasti tahu Bu Merlyna Lim yang juga mengajak juga untuk melihat mengubah paradigma soal hubungan manusia dan teknologi biasanya kan selalu bipolar nih antara manusia bisa memanfaatkan teknologi untuk kebaikan atau manusia akan terancam oleh teknologi gitu kan.
Nah, terus dia kan menawarkan pandangan yang gak miner tapi menawarkan ya dua-duanya akan sangat mungkin terjadi dan pada akhirnya relasi sosial yang berbasis material itulah yang akan kembali menentukan internet itu akan jadi sesuatu yang meningkatkan martabat manusia atau mengancam kemanusiaan gitu dan dia juga mendorong gagasan misalnya decolonising internet gitu menemukan istilah-istilah baru yang berbasis pada pengalaman lokal kita berhadapan dengan internet, pengalaman keseharian kita dengan internet karena selama ini kita kan juga jangan-jangan terus-terus bahkan vokabulari kita, kosakata kita didefinisikan oleh gagasan global yang sebetulnya masih berasal dari Eropa atau Amerika gitu.
Nah dia kan mengajak kita untuk melihat apa kembali ke lokal, menemukan cara-cara lokal menciptakan teknologi, akses, infrastruktur gitu. Aku kira menarik banget gitu seni mungkin punya apa namanya potensi yang justru ada di ruang-ruang itu gitu.
Hoppla
Kalau di Kunci sendiri sempet gak sih riset tentang seni berbasis internet gitu atau sempet menemui?
Brigitta Isabella
Di Kunci sendiri pernah bikin penelitian judulnya Konvergensi Media dan Teknologi di Indonesia itu penelitian tiga tahun. Tapi kalau Kunci itu kan penelitiannya bukan seni itu bukan jangkarnya yah, seni itu hanya satu elemen di dalam penelitian kami, penelitian yang lebih besar soal kajian budaya gitu. Jadi kami tertarik pada fenomena budaya terus kadang-kadang kerjasama seniman untuk menciptakan cara-cara baru untuk mengartikulasikan penelitian gitu.
Waktu penelitian soal Konvergensi Media ini kami kolaborasi salah satunya sama Wok the Rock untuk ngomogin soal ‘budaya teknologi dan praktik kreatif’ dalam pengertian konteks legal formal gitu, misalnya kaya apa sih hubungan antara kemungkinan internet yang memungkinkan kita untuk copy-paste, kolaborasi, aprosiasi hubungannya dengan rezim hak cipta gitu. Kemudian kuncikan menerbitkan beberapa buku yang berhubungan dengan itu ada budaya bebas aku ikut nerjemahin, Lawrence Lessig itu ngomongin soal rezim hak cipta berasal dari pengalaman Amerika Serikat tapi lama-lama nyambung sama kita juga gitu.
Kemudian bukunya Marcus Boon In Praise of Copying ngomongin bagaimana praktik mengcopy itu sebetulnya selalu merupakan suatu yang selalu inheren dalam setiap praktik kreatif kita gitu. Terus, Kunci juga menerbitkan satu karya orisinal yang berangkat dari waktu itu kaya bikin pesan berantai di Tumblr jadi Anonymous Writers Club gitu, waktu itu ingin mengeksplorasi apa yah artinya menjadi anonim di dunia internet apakah dia memberikan tawaran baru soal kepengarangan gitu. Waktu itu kami bikin satu Tumblr website terus ada beberapa putaran, misalnya ada yang pertama itu ada satu prompt terus orang bisa merespon, ada juga orang yang ingin bercerita gitu nanti aku bisa memberikan bukunya juga di situ. Jadi eksplorasinya ke situ sih ke budaya pertanyaan soal copy dan asli, terus ke kerja kolaborasi dalam yang dimungkinkan oleh internet gitu.
Hoppla
Kalau pendapat sendiri tuh dari periode sebelum pandemi sama pandemi perbedaanya itu apa? yang dirasain dalam produksi distribusi sama konsumsi karya.
Brigitta Isabella
Kalau sesudah pandemi tuh aku kayanya belum bisa merefleksikannya yah karena kan kita ini masih on going kan masih merasakan juga yah. Tapi pada era pandemi kebetulan aku itu juga lumayan senang nongkrong sama anak-anak teater dan anak-anak pertunjukan. Dan menurutku pertanyaan-pertanyaan mereka soal seni dan pandemi itu jauh lebih menarik deh daripada temen-temen yang mungkin di seni rupa yah dalam artian seni visual gitu yah. Kalau di seni musik aku gak tahu yah karena kan kalau di seni musik misalnya ada persoalan ekonomi juga gitu terus banyak seniman uangnya dari manggung gitu atau pada saat yang sama juga punya platform-platform yang udah mapan kan untuk mempresentasikan karyanya, musik aku gak tahu.
Kalau di seni visual aku melihat pada waktu itu yang paling memuakan adalah melihat orang-orang yang mencoba mereplikasi galeri, itu ngapain sih bikin galeri gitu? secara dalam kehidupan nyata saja aku gak suka ke galeri gitu, secara kehidupan nyata saja aku udah muak sama model white cube dan aku tidak pernah terlalu menyukai interaksi pada pembukaan pameran gitu. Jadi ketika itu diciptakan aku kaya sangat-sangat dekaden nih orang-orang ini.
Nah di seni teater dan pertunjukan itu menurutku pergulatan eksistensial soal mediumnya tuh lebih seru gitu yah, karena mereka betul-betul punya pertanyaan soal apakah ketika penonton tidak bisa melihat keringat pelaku teaternya itu dia akan mengurangi rasa dalam sebuah pertunjukan gitu kan, karena kalau dalam sebuah pertunjukan kan beneran mementingkan aspek timbal balik antara penonton dan penampil gitu.
Sedangkan kalau di seni rupa kayanya dalam konteks lukisan atau instalasi yah menurutku kan itu sebenernya kamu lihat katalognya aja udah cukup gitu kadang-kadang, apalagi kalau gak penting-penting banget senimannya liat katalog udah gak usah dateng gitu kan. Tapi kalau pertunjukkan atau teater gitu menurutku mereka banyak di antara mereka yang mempertahankan gagasan pertemuan, dan rasa, bahasa-bahasa yang mungkin kaya di mana mereka mencoba meredefinisi betul-betul gagasan kepenontonan itu, jadi penonton itu fungsinya apa gitu?
Apakah kalau misalnya teater divideoin aja terus orang nonton tanpa bisa berinteraksi tanpa bisa memberi tepuk tangan? Apakah itu dia artinya dia video art atau film gitu? Sehingga si teater jadi kehilangan nilainya gitu, kaya ada yang hilang gitu di dalamnya. Akhirnya kan misalnya teater Garasi mereka membuat banyak eksplorasi sesuatu yang lebih interaktif gitu karena kan mereka haus akan penonton gitu kan. Kalau mungkin seni rupa gak ada penontonya tapi kalau laku bener gitu.
Tapi kalau di ruang-ruang pertunjukan yang lain unsur kepenontonan itu penting dan buatku sendiri sebagai seseorang yang bukan pencipta seni aku sering kali melihat diriku sebagai penonton gitu ya, penonton kritis ya jadi aku selalu senang jika ada seniman yang sangat mementingkan gagasan kepenontonan gitu dalam karyanya dan itu sering kali terjadi di teater dan pertunjukan. Jadi kalau, nah tapi setelah pandemi ini mungkin juga waktu itu kita spekulasi kita ekstrim yah kan waktu itu aku masih inget sampai Martin Suryajaya sampai membuat spekulasi bahwa nanti akan ada puisi baru yang lahir dari pandemi karena ada huruf-huruf yang tidak bisa muncul karena ludah gitu kan, namanya juga orang ketakutan ya kita zaman dulu.
Waktu itu aku juga seru juga gitu dengerinnya gitu. Tapi hari ini kan setelah pandemi dua tahun banyak juga hal dengan cepat kembali lagi, kaya kita semua haus pertemuan sehingga aku sudah muak rapat Zoom gitu aku lebih memilih gak mau rapat Zoom, kalau ngajar juga aku memilih enakan ketemuan ada kebiasaan-kebiasaan pas pra-pandemi yang tumbuh subur lagi gitu. Tentu saja misalnya kalau seniman teater dan pertunjukan mereka sudah ya langsung fisik saja karena waktu itu internet itu metode survival aja gitu kan.
Meskipun yang perlu dikaji dan diteliti oleh teman-teman yang menggeluti ini yang melihat apa sih ekses-ekses dari pandemi itu yang misalnya masih pengetahuan yang masih berguna gitu masih berguna kita bawa pasca-pandemi, setidaknya sebagai orang yang suka menyelenggarakan diskusi “kan oh ternyata online itu membuka akses yah gitu?’” itu kan aku dulu gak berfikir sejauh itu gitu aku pun misalnya jadi banyak akses pas di era pandemi acara-acara diskusi yang di Jakarta misalnya yang gak bisa aku datangi karena ada onlinenya jadi bisa nonton.
Sekarang pasca pandemi kembali ke fisik lagi aku kehilangan akse itu gitu dan mungkin orang-orang lain juga kehilangan akses-akses diskusi di mana di negara-negara lain yang bisa kita ikuti secara gratis gitu. Jadi pertanyaan soal akses itu menurutku jadi pertanyaan yang penting pasca pandemi ini. Apa yang muncul dan dimungkinkan tapi apa juga yang hilang gitu.
Yang kedua ngomongin soal akses lagi pengamatanku juga sebagai orang yang suka menyelenggarakan diskusi kita banyak di antara kita yang kalau punya kebetulan punya budget kita menyediakan juru bicara isyarat di online tapi kenapa kalau sekarang kita balik ke offline kita tidak menyediakan itu lagi? itu pertanyaan soal akses juga, apakah kemudian berarti pertemuan fisik ini tidak lebih accessible ketimbang online kan? atau jangan-jangan itu performatif saja? aku jadi banyak pertanyaan soal akses sih.
Hoppla
Ini mungkin perkiraanku soal jadi spekulasi itu kan balik lagi ke proyeknya, spekulasi itu kan berbasis dari arsip dan riset yang ditemukan dan diinterpretasikan. Nah sekarang kan sebenarnya kita lagi dipusingkan mungkin bukan dipusingkan yah tapi diskusinya kan menggunakan ai untuk digital-imaging misalkan menggunakan keyword saja.
Itu kan sangat tergantung pada naratif penulis ya dan disatu sisi bisa juga sebenernya membuat satu hal yang sangat spekulatif juga seperti yang dilakukan dalam projek Bandung Berlin gitu, misalnya kita yang membuat keyword bagaimana kalau Soekarno masih hidup dan mesinnya itu bisa mengkalkulasikan dari berbagai macam variabel-variabel terhadap masa depan.
Nah itu kedepannya mungkin gak sih melakukan itu gitu sebagai seorang periset dan kurator gitu?
Brigitta Isabella
Itu mungkin menarik yah, karena aku belum berfikir sejauh itu tapi memang kemampuan kita kan memang seringkali banyak diuntungkan oleh kemampuan algoritma untuk membuat prediksi kan? Nah, jadi ketika kita punya materi yang cukup untuk punya AI yang cukup untuk membaca semua materi-materi yang tersedia untuk membuat spekulasi itu menarik tapi catatannya itu adalah AI itu kan bekerja atas materi yang ada yah yang sudah diciptakan gitu masalahnya kan kita juga punya ketimpangan dalam produksi pengetahuan, kenyataannya sampai hari ini kita punya ketimpangan dalam produksi pengetahuan secara global.
Misalnya World Ranking University aja beda, ketimpangan yang lainnya misalnya budget pendidikan di negara maju sama di negara kaya kita beda akhirnya saat ini jangan-jangan yang memproduksi pengetahuan sejarah juga masih sejarawan yang tinggal di negara-negara maju gitu kan. Sehingga apakah AI akan mampu merefleksikan itu gitu? Itu catatan limitasi dari AI-nya, kenyataan bahwa jika kenyataannya sampai saat ini produksi pengetahun masih tidak adil.
Bukankah AI hanya akan menghasilkan pengetahuan yang berangkat dari ketidakadilan itu gitu, itu mungkin jadi menarik sih sehingga kita sebagai aku sih pro AI banget gitu tapi kan saat ini artinya kita harus menyediakan lebih banyak bahan bakar pengetahuan-pengetahuan untuk dibaca AI, pengetahuan-pengetahuan yang adil, yang memberi semakin banyak ruang untuk pengetahuan-pengetahuan orang yang termarjinalkan dalam bahasa Inggris kaya gitu-gitu kan persoalan bahasa aja kita nih sebagai orang yang bukan bahasa Inggris bukan bahasa utamanya itu sudah jadi ketidakadilan buat kita, kalau AI harus yang kalau akhirnya kita menerima AI sebagai sesuatu yang akan menarasikan membuat narasi-narasi penting buat kita gitu, tapi itu menarik sih.
Hoppla
Yang aku tahu kan kalau AI itu dia akan membuat output-nya itu kan berdasarkan apa yang diberikan kan, jadi mungkin akan jauh lebih menarik kalau misalkan kita bisa bikin variabel. Misalnya dia akan diberikan data-data hanya dari Blok Timur hasilnya apa? hasilnya akan apa gitu kalau misalkan kita diberikan data-data yang hanya dari Blok Barat itu kan bisa, mungkin variabel terhadap masa depannya bisa sangat sangat beda.
Hoppla
Persoalan AI pertama itu kan arsitektur AI-nya, itu seringkali kritik utamanya adalah mereka selalu ngikutin bahasa China sama bahasa Inggris dan konteksnya juga konteks Inggris dan Eropa atau Western dan konteks China. Jadi machine learning ini yang dia bikin dataset buat training data. Kalau kita masukin prompt terus dia muncul gambar apalah itu, nah dataset itu belum nyampe Asia belum dikasih konteks historisnya Asia itu yang menjadi persoalan utama, how to decolonise AI.
Brigitta Isabella
Nah itu sebenarnya juga projek yang menarik juga ya, yang artinya kan kita butuh ilmuwan komputer yang berada dikonteks ini atau punya paradigma dekolonial lah untuk itu. Iya harus bekerjasama yah. Yah kekuranganku aku kira di projek From Bandung to Berlin ini juga berat di ilmu paradigma sosial humanioranya, jadi emang masih internetnya sebagai kontainer aja gitu kan.