Hoppla
Gue mulai dari ini sih Yos, mungkin lo bisa mengingat-ingat, mungkin lo pernah menemukan karya gitu, seniman Indonesia yang lo ingat lah ya, bisa jadi dia secara langsung menggunakan teknologi internet sebagai moda produksinya atau moda distribusinya. Atau pun lo melihatnya dia sebagai punya memiliki kecenderungan menggunakan logic-nya internet misalkan.
Kalau misalkan gue liat kayak karyanya Ade (Darmawan) yang Insya Allah itu kan menggunakan metode search engine-nya tapi dalam presentasi karya kan dia kan pakai buku, kemudian pake teks Insya Allah gitu, ya seperti itu lebih ke logic-nya, atau yang kira-kira kayak gitu lah. Mungkin lo punya pengalaman terutama sebelum pandemi, terus kemudian nanti lo bisa bercerita sepengamatan lu ketika masa pandemi, terus dua itu aja kali, Yos.
Ayos Purwoaji
Dua itu aja udah berat [tertawa]
Hoppla
Gue jujur aja, gua minta rekomendasi sih, Yos. Gitu aja sih.
Hoppla
Karena lo megang wilayah timur Indonesia nih lebih banyak tau lah.
Ayos Purwoaji
Yang aku pahamin nih Mas ya, yang mudah dari yang nomor dua dulu yang pandemi. Jadi yang pandemi itu kan terjadi kayak ledakan produksi karya-karya online, yang sifatnya online gitu kan, terus kemudian ada banyak pameran online, ada banyak ruang pamer yang kemudian dibentuk secara online.
Terus kemudian kayak aku ngeliat pandemi itu membuat satu ledakan penggunaan internet sebagai ruang pamer. Karena mungkin waktu itu ada banyak ruang-ruang fisik yang nggak bisa diakses oleh seniman untuk berpameran. Sementara gairah untuk memproduksi karya seni itu kan gak bisa berhenti. Bahkan ada pandemi, ada perang pun, yang namanya seniman ya… Yang namanya Guernica aja perang dunia pertama gitu, Pak.
Orang lagi perang, Picasso malah ngelukis. Kan si anjing, kenapa gak ikut wamil, ya kan? Malah gambar Guernica. Itu jadinya menurut aku pandemi itu nggak stop seniman buat bikin karya, untuk memproduksi karya. Nah, sementara ruang-ruang fisik itu terbatas, ruang-ruang internet itu jadi kayak semacam ngasih janji manis. Wah, ini ada digitalisasi dan sebagainya. Jadi ada kayak semacam banyak pameran, diskusi online, dsb itu aku rasa juga didorong karena terjadinya pandemi itu.
Nah, cuma memang hasil obrolanku dengan seorang kawan itu kami masih ngelihat, apa ya, kebanyakan seniman itu ngelihat internet sebagai ruang pamer saja. Seolah-olah menghadirkan yang fisik atau seolah-olah fisik ke dalam internet. Jadi terus kemudian logika ruangannya itu gitu juga. Kayak ada karya lukisan ya digantung di dinding gitu kan, padahal udah di internet. Padahal udah tinggal scroll aja sebenerya. Jadi kayak logika wall-nya itu masih wall fisik.
Jadi ditempel-tempel di dinding seolah-olah kita masih membutuhkan kayak semacam kesempitan. Kesempitan itu jadi kayak semacam constraint ya yang membentuk tubuh kita itu terasa sempit, dinding-dinding itu. Jadinya terus kemudian kita membutuhkan dinding itu untuk naruh karya-karya itu. Ada banyak banget kan, karya yang kayak gitu. Atau kalau nggak, modelnya ruang fisik yang digitalkan. Misalkan pameran-pameran yang basisnya Matterport, pakai 360, dsb yang sama juga.
Melihat pen-digital-an sebagai jalan keluar. Jadi, pandanganku sih selama pandemi itu orang masih ngelihat itu jadi kayak eskapisme. Internet itu jadi kayak ruang yang lain. Karena ruang fisiknya nggak bisa diakses. Nah cuma belum banyak rasanya seniman-seniman yang punya kecenderungan untuk melihat internet itu secara logikanya gitu. Jadinya logika internet itu apa sih? Logika interaksi, logika apa namanya, logika reproduksi, gitu kan. Nah itu yang menurutku masih belum banyak terjadi gitu.
Aku nggak banyak melihat itu, katakanlah di seniman-seniman Jawa Timur itu tuh masih aku rasa juga nggak terlalu banyak seniman-seniman yang mengolah atau melihat internet sebagai logika, bukan sebagai ruang digital gitu. Jadi memang nggak terlalu banyak yang bisa aku refer. Dan mungkin aku sudah sempet cerita juga ke Mas Lindung gitu, aku sempet ke Papua 2017 waktu itu untuk riset tentang K-pop di Papua gitu. Kan perkembangan K-pop cukup pesat di Papua. Terus aku ngobrol sama beberapa rapper dan produser gitu, jadi mereka sangat gerilya tuh bikin produksi musiknya. Itu kan sangat ala kadarnya gitu lah.
Maksudnya mereka mengakali banyak hal yang nggak ada di Papua terus kemudian dengan alat seadanya mereka mengakali itu. Misalkan cara produce musik, ya mereka pakai alat laptop-laptop yang mereka miliki. Terus untuk mic-nya aja mereka bikin sendiri gitu. Gagangnya pakai kayu, terus abis itu dari mic clip-on sama mereka dioprek jadi mic buat nyanyi. Gitu-gitulah. Yang menarik adalah logika distribusinya waktu itu.
Jadinya saat itu aku sempet tertarik sama satu kampung yang sempet dibakar karena satu lagu rap. Jadinya di deket Danau Sentani itu ada satu kampung namanya Kampung Yoka. Itu pinggir Danau Sentani. Satu kampung ini pernah dibakar gara-gara satu lagu rap yang diciptakan sama anak kepala desa gitu. Karena menyinggung satu kelompok masyarakat temen-temen Wamena yang banyak ada di Abepura waktu itu merasa terbakar karena lagunya mendiskreditkan atau mendiskriminasi temen-temen Wamena. Terus abis itu dalam waktu yang relatif singkat, itu ada sekitar 5000 orang Wamena yang ada di Jayapura dan Abepura ngumpul nyerang desa itu dibakar habis. Jadi waktu itu aku yang wah, dahsyat juga satu lagu rap ngabisin satu kampung ya kan.
Terus aku tanya. Kebetulan aku ketemu sama satu produser yang bikin lagu itu. Jadinya dia yang membantu si anak kepala desa ini untuk produce lagunya. Kakak, itu lagu diciptakan sampai kerusuhan itu butuh waktu berapa lama? Eh tiga hari saja, Kakak. Cuma tiga hari. Terus aku tanya, itu distribusinya gimana lagunya? Setelah selesai diproduksi, itu gimana caranya kemudian 5000 pendengar itu bisa tahu lagu itu? Apakah kamu pake YouTube kah, atau pakai apa namanya SoundCloud kah? Eh tidak, Kakak. Terus pakai apa? Ya kami pakai ini, ShareIt. Jadi mereka pakai modus berbagi file sharing berbasis bluetooth.
Nah buat aku ini jadi kayak logika distribusi yang lain kan. Maksudnya tahun 2017 di Jawa itu ya orang udah mulai mengenal Spotify, Joox, gitu kan untuk mendistribusikan 1 karya itu orang udah menggunakan platform internet sebagai platform distribusi. Tapi, di Papua saat itu 2017 itu mereka menggunakan file sharing, bluetooth yang selalu ada di HP. Fitur yang ada di HP untuk berbagi distribusi file ini. Buat aku itu jadi menarik, karena bayangkan dari butuh waktu tiga hari kemudian bikin ribuan orang marah gitu. Ya itu hanya terjadi lewat perantara bluetooth.
Buat aku itu jadi suatu hal yang menarik juga. Jadinya kayak BTS-BTS [Base Transceiver Station] yang dibangun di Papua itu mungkin nggak terlalu, apa ya… karena mungkin ruang-ruang pertemuannya masih banyak, ruang-ruang sosialnya. Mungkin di Papua itu kayak misalkan oh satu tongkrongan, nanti pagi tongkrongannya dimana, siang ntar pindah tongkrongan terus eh kakak saya baru dapat lagu nih, share, share. Nanti dari yang di-share 5 ini pindah tongkrongan lagi. Eh kakak, share-share. Langsung sharing dan sebagainya.
Nah, jadi terus kemudian internet itu hanya sebagai pelengkap dari infrastruktur sosial mereka yang masih kuat. Begitu. Karena infrastruktur sosial mereka yang masih kuat jadi sebenernya internet itu nggak terlalu punya pengaruh untuk kemudian menjadi ruang distribusi, ya. Jadi mereka tetep menggunakan ruang sosial mereka yang antar tongkrongan itu, yang pindah-pindah antar satu tempat ke tempat yang lain, itu sebagai basis untuk distribusi.
Nah pada titik itu menurut aku jadi menarik logikanya. Logikanya jadi basis itu masih basis sosial. Rasanya di Jawa Timur, Ini dugaan, karena belum adanya kebutuhan untuk mendistribusikan karyanya melampaui dari ruang sosial dan geografis, itu yang membuat produksi-produksi karya seni yang berbasis logika internet itu belum terjadi. Berkaca dari apa yang terjadi di Papua tadi. Karena mungkin ruang sosial yang ada di Jawa Timur itu masih berbasisnya gitu kan? Masih nongkrong. Ada kesempatan yang luas untuk orang itu ketemu dengan orang lain itu lewat tongkrongan. Jadi terus kemudian logika internet yang kemudian memungkinkan kamu untuk kemudian mendistribusikan karyamu melampaui ruang sosial dan ruang geografis yang bisa kamu jangkau, itu jadi nggak berkembang. Itu dugaan. Itu harus diuji lagi.
Hoppla
Harus diafirmasi lagi ya.
Ayos Purwoaji
Kamu tahu kan 2021 itu yang namanya NFT, ruang-ruang diskusi NFT itu kan banyak banget ya kan. Wah orang-orang pada NFT blablabla. Apakah di Jawa Timur ada seniman yang mengikuti apa namanya hype itu? Ada, jelas. Terutama temen-temen yang basisnya seni digital ya, misalkan ilustrator itu ada. Cuma itu tidak terjadi di ruang-ruang seni rupa. Obrolan tentang NFT itu. Jadinya yang aku tau kalau misalkan obrolan-obrolan tentang NFT itu banyak sekali yang mengikuti, yang mendapatkan hype-nya itu temen-temen yang basisnya itu ilustrator, desainer grafis, dsb.
Di ruang seni rupa di Surabaya itu aku jarang. Kayak aku ngikutin beberapa grup WhatsApp perupa-perupa di Jawa Timur, di Surabaya gitu, nggak ada itu diskusi tentang NFT, Pak. Jadi buat aku oh oke menarik. Misalkan Ethereum, abis itu kayak OpenSea itu apa, nggak diperbincangkan di Surabaya. Mungkin di Jakarta atau di kota-kota lain jadi hype gitu kan, tapi tidak di Surabaya dan Jawa Timur pada saat itu. Yang sependek yang aku tahu tentu saja. Itu yang menurut aku menarik. Terus mungkin satu-satunya yang bisa aku refer untuk karya berbasis internet itu mungkin Mas Benny (Wicaksono). Karena di masa pandemi itu Mas Benny sempet bikin karya yang sifatnya generative art gitu, yang itu di-upload apa namanya, coding-nya itu diupload di internet.
Terus kemudian karya itu akan berubah seiring dengan waktu. Kayak berkembang terus gitu karyanya. Dan orang bisa akses itu dari mana pun dan terus karya itu selalu evolve, generate terus karena algoritmanya memang dibuat sedemikian rupa. Jadinya seingetku Mas Benny itu bikin tiga karya yang berbasis internet gitu ya. Ada satu karya itu judulnya kalau nggak salah nih, perlu ditanyain lagi, karya itu judulnya Seteru Dua Kubu.
Hoppla
Belum pernah denger.
Ayos Purwoaji
Jadi karya Seteru Dua Kubu ini merespon tentang cebong kampret itu lho. Gara-gara pemilu berapa sih? 2019? Itu kan kemudian ada polarisasi di masyarakat kan. Ada polarisasi di masyarakat terutama di social media, terus kemudian ada ungkapan-ungkapan oh pendukung presiden tertentu itu disebut cebong, kelompok pendukung presiden tertentu disebut kampret gitu kan. Nah kata-kata cebong kampret ini kemudian di-mining secara otomatis pakai algoritma tertentu.
Jadi Mas Benny bekerja sama dengan seorang teknisi informasi yang kemudian membuat algoritma yang kemudian mining kata-kata cebong dan kampret itu menggunakan API-nya Twitter. Jadinya mereka menambang data secara real time yang kemudian dihubungkan dengan perangkat printer ya.
Hoppla
Printer sama TV sih.
Ayos Purwoaji
Sama TV jadinya itu kayak live gitu terus kemudian itu langsung di-print gitu. Cebong, kampret. Cebong, kampret gitu. Terus karya kedua itu yang aku tau judulnya lupa eh, tapi Mas Benny itu bikin karya tentang DNA Covid-19 ini kan masih banyak orang yang belum paham apa ini Covid-19. Terus untuk memahami apa itu Covid-19 itu badan kesehatan Amerika kemudian membuat sequencing genome-nya. Membuat sequencing genetikanya yang kemudian itu dijadikan semacam data biner. Jadi untuk memahami apa itu Covid-19 itu kemudian data sequencing genetiknya itu di-upload di internet. Website-nya apa, itu Mas Benny yang tahu.
Terus kemudian dari data itu diolah jadi kayak semacam karya algoritmik yang itu kemudian hidupnya di internet. Jadi ketika kita akses laman tertentu yang karya itu ditanam, itu menampilkan satu laman yang karya itu bikin kayak fraktal gitu lho. Jadi karya itu berubah terus. Karya itu berdasarkan dari sequencing genetik si virus Covid-19 ini. Terus karya yang ketiga itu sound art. Aku agak lupa judulnya apa. Waktu itu Mas Benny kayaknya lagi mau apply buat satu award gitu lah. Aku lupa apakah Julius Baer atau apa gitu ya. Jadi Mas Benny itu bikin semacam karya sound art yang itu diolah dari tembang yang digubah sama Sunan Kalijaga.
Jadinya Sunan Kalijaga itu pernah bikin satu tembang macapat yang intinya adalah tentang keselamatan umat manusia gitu lah. Dari tembang macapat ini terus kemudian datanya itu diolah dijadikan semacam algoritma yang musiknya itu terus bergerak. Kalau kita dengerin itu kayak ambience sound gitu. Jadi suaranya itu kayak “hmmmm” kayak humming gitu lho. Nah suara itu dihasilkan dari algoritma itu. Ketika kamu ngeklik di waktu yang berbeda, itu suaranya juga akan evolve terus. Jadi selalu berubah setiap saat. Jadi aku ada waktu karya itu dibuat, aku sering akses laman itu untuk kemudian jadi backsound aku kerja gitu. Karena itu kayak ambience sound gitu. Itu semoga masih ada ya, masih tersimpan. Harusnya sih masih ada ya website-nya.
Hoppla
Itu tahun berapa ya, Yos, yang karya sound?
Ayos Purwoaji
Semua dibikin 2021, 2020 gitu. Waktu pandemi itu. Jadi pandemi itu malah membuat Mas Benny semakin produktif. Jadi aku berharap pada pandemi yang berikutnya [tertawa] biar Mas Benny bikin karya terus. Yang lain pandemi pada lesu, kenapa Mas Benny bersemangat. Jadi kan dia butuh konflik untuk kemudian dia berkarya. Tapi karya sound itu menariknya adalah tiap jam 12 malam potongan kidung macapat ini akan terdengar gitu. Jadinya yang lain ambience gak jelas gitu, tiap jam 12 malam teng, itu akan ada sekitar 2-3 menit itu tembang macapat itu.
Ada yang nembang tengah malem. Asli, aku baru tahunya itu waktu kerja jam 12 malem kan, ada tembang. Oh, asu Mas Benny! Kalau misalkan dia diputer jam 12 malem WIB Itu baru muncul.
Hoppla
Itu berapa panjang pas jam 12 itu bunyinya, tembangnya?
Ayos Purwoaji
Aku nggak yakin tapi sekitar 2-3 menitan. Itu sih selebihnya ada pameran-pameran online gitu, aku rasa dia nggak menggunakan internet sebagai logika, tapi internet sebagai ruang saja.
Hoppla
Jadi media dia sekarang ya? Si Benny? Internet, nggak cuma logikanya doang. Udah bisa memanfaatkan internet itu sendiri.
Ayos Purwoaji
Iya, buat aku ya mungkin Mas Benny ya yang di Surabaya yang bisa aku refer kalau misalkan seniman siapa yang pakai internet logikanya dalam berkarya, logikanya, ya Mas Benny.
Hoppla
Nggak ada lagi emang Yos, yang muda-muda?
Ayos Purwoaji
Kami itu manual eh Pak, bukan digital eh. Solder sama las, itu penting.
Hoppla
Tapi tadi kalau ngomong yang lo bilang tentang NFT atau mining, crypto, dll bahkan gue taunya itu awal dari geng-geng Jawa Timur, bahkan dari Malang gitu. Karena beberapa temen Malang anak grafiti, temen-temennya mereka sih, kayak lagi nongkrong gitu ya, 2019 itu udah ngomongin tentang bitcoin dan si NFT gimana caranya seniman grafiti main NFT harus ada yang ngurusin kalau mau, harus ada kayak agensi.
Ayos Purwoaji
Tapi di temen-temen itu kan, kayak grafiti, ilustrator, ya kan? Desainer grafis. Di seniman nggak ada kalau di Jawa Timur ngomongin NFT. Itu nggak tau tuh, apa ya kayak gitu.
Hoppla
Kenapa kok bisa kayak gitu?
Ayos Purwoaji
Makanya gak tahu. Mohon diriset ya, saya juga nggak paham (tertawa).
Hoppla
Iya teknologi itu kayak lo ngomongin zaman-zamannya hacker deh, zaman-zamannya belanja online, mentalnya dari Malang pasti kan.
Ayos Purwoaji
Gak paham aku.
Hoppla
Iya penjahat-penjahat belanja carding-an itu..
Ayos Purwoaji
Oh carding? Iya Malang menurut aku carding-nya jauh lebih kenceng sih daripada Surabaya. Jogja lebih kenceng daripada Jawa Timur tentu saja.
Hoppla
Kalau lo tadi udah sempet nge-refer highlight Benny ya, dan sebenernya gue mau itu sih, yang data mining itu kan dia itu isunya sebenernya terjadi di semesta internet. Cebong kampret di Twitter. Terus kemudian dipake sama dia dengan karya yang memang secara produksi juga gunain internet lah di situ. Kalau misalkan karya-karya yang membicarakan persoalan-persoalan yang terjadi di internet, lo ada gak tuh? Misalkan kayak ada kasus-kasus misalkan hoax, atau misalkan ada yang terjadi di semesta internet tapi kemudian karya itu produksinya tidak berhubungan dengan teknologi internet. Bisa jadi kayak video, karya film, tapi dia sebenernya bicarain tentang persoalan-persoalan yang terjadi di ranah virtual. Perdebatan-perdebatan atau tentang pemahaman terhadap realitas virtual kayak gitu lah. Ada gak?
Ayos Purwoaji
Mungkin ada yang lain tapi mungkin yang aku inget itu Biennale Jatim 2017. Itu kan memang secara spesifik membicarakan tentang hoax kan yang waktu itu kenceng 2017 dan temanya The World is a Hoax yang waktu itu mungkin memang semacam perayaan, atau mempertanyakan atau juga gugatan atas banyaknya hoax yang terjadi. Tapi aku lebih suka melihatnya sebagai perayaan karena akhirnya kemudian banyak seniman yang diundang pada Biennale itu yang kemudian justru merayakan tentang hoax itu. Mereka melihat hoax itu jadi semacam pembelokan realitas yang dimungkinkan melalui internet.
Karena memang kemudian basis kebenaran itu nggak hanya dilihat oleh mata. Kalau dulu orang melihat bener nggak itu dari pengalaman empirik ya. Misalkan tuh anaknya jatuh tuh gua liat tadi. Jadi itu kayak pengalaman empirik itu menjadi basis bagi kita dalam menyerap apa itu kebenaran. Tapi ketika adanya media, kebenaran itu kan termediasi. Nah menurut aku internet itu kan sebetulnya. Ketika orang kemudian melihat kebenaran itu nggak harus dengan mata kepala dia sendiri tapi dengan desas-desus, dengan segala macam informasi yang berkembang, itu jadi alat untuk seseorang itu mencerna atau mempersepsikan apa itu kebenaran.
Nah justru dari karya-karya yang diundang itu banyak sekali yang merayakan hoax itu sebagai suatu hal yang menarik. Yang justru dirayakan. Waktu itu contohnya ada karyanya Toyol Dolanan Nuklir. Si Toyol dia menarik tuh, dia kan bikin karya tentang klenik-klenik gitu kan, jadinya dia memajang satu boneka terus abis itu bonekanya bisa gerak gitu lah, di sampingnya dikasih bunga-bunga, kasih coretan-coretan rajah. Terus ada beberapa media yang meliput karya si Toyol itu karena mungkin secara kultur dekat dengan budaya-budaya di Jawa Timur yang klenik. Percaya-percaya yang gitu-gituan itu masih banyak di Jawa Timur.
Nah, ada beberapa media yang meliput, ada Detik ada apa, itu motret. Beberapa hari kemudian itu aku dikontak beberapa gallery sitter gitu. Mas, tadi pagi ada orang gitu Mas, tamu dateng pagi-pagi bahkan pintu galeri belum dibuka gitu, dia nanya kapan bukanya? Oh iya nanti Pak jam 8 gitu. Kenapa, Pak? Saya mau lihat karyanya ini lho, Mas. Jadi dia menyajikan kayak potongan screenshot gitu. Ini saya lihat karya ini, nih. Ini karya berbahaya banget. Anjing… berbahaya banget. Setelah itu setelah pintu dibuka, satu gallery sitter mengikuti orang ini kan. Ternyata dateng ke karya Toyol terus abis itu dia bersemedi di depan karya Toyol terus dia kayak baca-baca mantra-mantra apa terus dia nabur bunga. Jadi dia bawa kresek gitu yang ternyata itu adalah bunga yang ditaburin. Anjing… siaaaap…
Jadinya menurut aku kayak gitu tuh, mungkin Toyol nggak punya intensi ke sana terus kemudian adanya persepsi kebenaran yang termediasi ini, itu dimungkinkan ternyata. Jadi orang melihat karya Toyol ini, wah ada isinya, ada roh jahat di dalam sini gitu. Terus dia datang pagi-pagi untuk membersihkan itu, kayak cleansing dari roh-roh jahat itu. Terjadi di Biennale Jatim 2017. Terus ya beberapa karya lain kayak Gelar ya waktu itu diundang juga. Dia juga kan menggunakan beberapa lukisan pakai filter-filter internet. Itu tuh juga menurut aku juga masih cukup nyambung dengan topik yang wkatu itu dibicarakan dan mungkin logika internet juga. Jadi mungkin itu satu pagelaran yang bisa aku refer gitu ya untuk kemudian gimana apa yang terjadi di belantara internet, itu dibicarakan di dalam kesenian di Jawa Timur. Selebihnya rasanya ada beberapa pameran tapi aku lupa. Nanti aku coba cari tahu.
Hoppla
Yos, waku Jatim Biennale itu lo sendiri ya kuratornya?
Ayos Purwoaji
Sama satu lagi namanya Asy Syams. Anak UNESA gitu Mas, dosen UNESA.
Hoppla
Lo kenapa memutuskan The World is a Hoax waktu itu? Ada cerita gak lo tentang itu?
Ayos Purwoaji
Ya karena waktu itu aku sama Syams melihat ini, waktu itu ini lagi dibicarakan di mana-mana. Hoax itu jadi sangat meresahkan. Mungkin juga deket-deket sama tahun-tahun politik, gitu kan, terus kemudian itu jadi satu hal yang mengancam dan padahal kan kalau kita ngomong hoax itu kan purba banget ya. Maksudnya dari kapan tahun kan. Sebelum ada internet kan sebetulnya kecenderungan untuk ngibulin dan membuat desas-desus itu ada di setiap zaman. Ketika informasi itu termediasi itu kan ada kesempatan untuk memiuhkan atau mendistorsi pesan, mendistorsi komunikasi itu kan. Jadi buat aku sebetulnya hoax itu ada di segala zaman.
Cuma internet membuat dia jadi lebih meresahkan lagi karena tatarannya jadi lebih personal, gitu kan, jadi lebih cepat, jadi lebih globat gitu. Aku rasa kalau misal hoax itu adalah gejala lama dalam kehidupan umat manusia ya sebetulnya. Nah, waktu itu tertarik ngomongin itu karena waktu itu dekat juga. Waktu itu kami membicarakan realitas internet sama Syams juga, sama beberapa kawan juga, akhirnya kami sepakat oh yaudah ini menarik untuk dibicarakan, untuk dirayakan juga barangkali. Salah satu karya juga ini, kami menampilkan karya Mbak Nova Ruth di pameran itu yang waktu itu dia pernah bikin uang-uangan palsu itu, lho.
Filastine sama Nova bikin kayak uang palsu gitu yang sampe dia ditangkap sama FBI di satu border negara gitu kan. Nah itu buat aku jadi menarik. Jadi kami minta untuk Filastine untuk mengirim file-nya terus kami cetakin di Surabaya. Kebetulan waktu itu si Nova sama Filastine lagi datang ke Jawa Timur juga terus aku bisa ngeliatin hasil cetakannya terus dia setuju. Terus baru kami perbanyak. Itu juga kami tampilkan di Biennale Jatim waktu itu. Ada Agan juga, banyak sih macem-macem waktu itu.
Hoppla
Waktu lo lempar ide gagasan kuratorial lu ke seniman, respon seniman gimana?
Ayos Purwoaji
Macem-macem. Ada yang mereka langsung oke, kayak misalkan Mas Agan. Oh ya udah nanti aku langsung kirim gitu. Ada yang seperti itu, tapi juga ada yang beberapa kayak… waktu itu kami juga pengen ngundang Mas Hahan karena waktu itu dia udah mulai bikin karya yang itu lho, Mas, yang speculative entertainment. Nah buat kami itu cocok nih, ada beberapa fragmen yang bagi kami bisa ditampilkan ulang di Biennale Jatim. Jadi waktu itu dia kayak bikin semacam pipa-pipa buat nyimpen karya itu kan. Biasanya digulung, disimpen di pipa-pipa itu kan.
Nah, itu cuma nampilin pipa terus depannya itu dikasih stiker, di dalam ini ada karyanya Sudjojono yang ini gitu. Jadi abis itu kayak cuma bikin stiker doang itu di atas pipa-pipa, kan brengsek ya. Kan nggatheli. Jadi dia kayak membuat persepsi atas apa yang ada di dalam pipa itu. Padahal kan nggak, itu cuma pipa doang. Terus kemudian di dalamnya ada tulisan oh ini ada semacam condition report-nya dari karyanya Sudjojono. Sudjojono, judulnya ini, karya ini, tahun segini. Padahal ya isinya kosong sebetulnya. Nah waktu itu aku tawarkan ke Mas Hahan. Mas Hahan, aku tertarik nih buat nampilin karyamu ini. Waktu itu dia merasa karya dia nggak cocok, kemudian nggak kami tampilin.
Nggak cocoknya karena sebetulnya karya dia tidak membicarakan realitas internet itu, hoax yang ada di internet. Tapi dia membicarakan tentang, apa namanya, lebih ngomongin tentang bagaimana realitas yang terjadi pada pasar seni rupa. Jadi kemudian kayak ya sama-sama nipu, tapi beda konteks. Terus abis itu kemudian karyanya nggak cocok buat tampil di Jatim Biennale. Yaudah gapapa. Gitu sih. Jadi ada banyak ragam sih. Ada juga yang kadang kedodoran juga untuk merespon tema itu. Terumata karya seniman yang udah agak “senior” di Jatim, itu mereka agak kedodoran itu untuk nerima The World is a Hoax itu jadi… oh ini aku harus ngapain ya? Terus abis itu mereka bikin karya yang agak mengada-ada. Ya ada juga yang kayak gitu, yaudah lah ya.
Hoppla
Tapi emang rata-rata refer ke itu ya, ke situasi waktu itu ya dan juga internet ya?
Ayos Purwoaji
Sebagian besar ke situ.
Hoppla
Nggak gua masih mikir tuh kenapa culture di Surabaya masih DIY ya?
Ayos Purwoaji
Padahal di sini ya kampus teknologi ada juga kan kayak Politeknik, kampus-kampus teknologi. Tapi memang kayak nggak banyak seniman-seniman yang menggunakan internet sebagai logika. Nah, dulu sebetulnya Mas Benny itu sempet kepikiran untuk kerjasama dengan satu kampus. ITS. Dia mau kerjasama dengan jurusan elektro kalau nggak salah. Di jurusan elektro ada beberapa dosen yang agak mengsle, yang menurut Mas Benny bisa nih, dosennya paham seni rupa. Nah dia pengen bikin kayak semacam workshop tentang seni media baru waktu itu. Tentang internet, tentang coding dan sebagainya.
Nah terus sempet dia juga untuk merealisasikan itu dia kayak ngobrol sama Pak Andre, “Pak, tolong dong aku di support buat bikin workshop di kampus nih untuk seni-seni yang berbasis teknologi internet.” Cuma kayaknya waktu itu entah kenapa gak ada dukungan. Entah Mas Benny gak jadi bikin proposal kah, atau Pak Andre-nya udah gak punya anggaran kah, nggak tahu aku kondisinya gimana. Nanti bisa ditanyain ke Mas Benny. Tapi itu tidak terjadi, situasi pelatihan itu jadi nggak terjadi. Nah aku rasa memang butuh lebih banyak intervensi ke kampus-kampus berbasis teknologi.
Karena aku rasa masih belum ada sambungan yang cukup solid antara kampus-kampus seni. Jadi di Surabaya itu ada 3 kampus seni, Ada UNESA (Universitas Negeri Surabay) yang keguruan, ada UNIPA yang keguruan, UNIPA ini Universitas PGRI Adi Buana, dia juga punya (Pendidikan) Seni Rupa. Satu lagi itu namanya STKW (Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta). Itu kayak ISI-nya Surabaya gitu lah. Nah jadi sebenernya ada 3 kampus di Surabaya yang ngomongin seni, tapi seninya ya seni manual. Maksudnya ya seni lukis, patung, mungkin instalasi-instalasi ala kadarnya gitu. Nah aku rasa kalau misalkan ada usaha untuk menghubungkan antara kampus seni dan kampus teknologi. Di Surabaya ada beberapa kampus yang berbasis teknologi jadi misalkan ITS, ITATS (Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya), ada STIKOM Sekolah Tinggi Ilmu Komputer di Surabaya, terus abis itu ada satu lagi Politeknik Surabaya itu juga banyak ngomongin coding dan sebagainya.
Nah itu belum ada sambungan gitu. Aku rasa harus ada usaha-usaha untuk kemudian mengintervensi kampus-kampus teknologi itu dengan seni terus kemudian mengintervensi kampus-kampus seni dengan teknologi. Aku rasa kalau itu dilakukan, itu akan muncul tuh, kemengslean-kemengslean yang timbul dari pernikahan antara keduanya. Nah sementara ini belum ada yang menyambungkan itu secara simultan. Itu mungkin jadi salah satu alasan kenapa seni-seni berbasis internet atau seni-seni berbasis algoritma itu nggak banyak muncul di Surabaya. Gitu. Apakah menurutmu itu masuk akal?
Hoppla
Lukisan nggak ada, Yos?
Ayos Purwoaji
Lukisan kenapa?
Hoppla
Yang mungkin dia bikin mapping logic internet atau apa gitu.
Ayos Purwoaji
Oh ada ini, satu pelukis, namanya Pak sopo yo, aku lali. Pak Mujib namanya. Ada satu pelukis namanya Pak Mujib. Nanti kalau Mas ke Surabaya atau ketemu, aku anterin. Nah Pak Mujib ini cerita gitu. Mas aku tuh bikin inovasi. Inovasi apa nih, Pak? Jadinya Pak Mujib ini bikin lukisan, tapi terus lukisannya di satu sudut itu ada QR code-nya gitu lho.
Jadi dia berpikir ini tuh breakthrough banget, menghubungkan antara seni lukis dengan internet gitu. Teknologi. Jadi aku tanya gimana itu Pak? Jadi lukisanku tak kasih ini, Mas, QR code. Wah masoook, Pak!
Jadi lukisannya itu dikasih QR code gitu. Nah, aku sih belum ngecek ya isi QR code-nya itu apaan. Tapi minimal dia punya usaha lah ya untuk kemudian menikahkan, menghubungkan antara seni lukis konvensional dengan belantara internet. Itu lumayan lho Bung, di Surabaya itu. Aku yang tak, siap pak jos manteb.
Hoppla
Tapi Yos, temen-temen robot itu nggak ada atau mereka bisa sharing?
Ayos Purwoaji
Itu dia. Aku rasa sebetulnya itu potensinya gede karena di Surabaya itu ya ITS aja yang robotikanya banyak. Politeknik Surabaya itu juga robotikanya banyak. Di ITS itu ada satu gedung khusus untuk robotika. Tapi nggak ada sentuhan seni di dalamnya.
Hoppla
Industri aja ya? Nggak juga ya?
Ayos Purwoaji
Iya industri. Padahal itu kalau dioprek itu…
Ayos Purwoaji
Jadi suatu saat aku pernah bikin pameran di Surabaya itu tentang satu biro arsitek gitu. Terus di pameran itu aku mengintegrasikan itu sih, jadinya kayak ada satu wall yang isinya itu cuma QR code. Bukan QR code, waktu itu apa ya? Kayak foto tapi bisa di-scan gitu. Nah itu langsung nyambung ke satu website yang dibangun yang kemudian karya-karya si arsitek yang ada di website itu bisa dipermainkan tampaknya. Jadi 3D yang bisa diputer-puter. VR iya VR. Itu mungkin sih yang pernah aku coba lakukan dalam konteks pameran arsitektur. Kalau yang lain aku belum tau. Mungkin ada ya di temen-temen mahasiswa itu yang kemudian bikin pameran arsitektur terus bisa VR atau apa. Mungkin ada tapi aku nggak tau, tuh.