Dalam Jaringan dan di Atas Layar

Universal Iteration merupakan sebuah platform presentasi karya berbasis layar dan jaringan internet yang pertama kali diluncurkan pada pertengahan 2021. Berlangsung selama lebih dari satu semester pada peluncuran pertamanya, Universal Iteration edisi kedua diluncurkan pada 2022 dan tayang hingga pertengahan 2023. Universal Iteration diinisiasi oleh Komunitas Salihara sebagai respons atas meningkatnya intensitas interaksi layar dan gawai pintar serta pemanfaatan teknologi internet hari ini.

 

Iterasi yang Universal

Tahun 2020 menandai dimulainya sebuah periode yang menuntut ragam bentuk adaptasi secara global. Pandemi yang hingga hari ini belum usai telah memaksa manusia untuk melakukan banyak siasat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Hampir segala hal dilakukan dari tempat tinggal masing-masing dan (sebisa mungkin) tanpa keluar rumah, hampir segalanya dilakukan di dalam jaringan dan di atas layar.

Sekitar akhir 2020 terjadi sebuah forum kecil yang diinisiasi oleh Komunitas Salihara. Perbincangan kala itu membahas ragam kemungkinan pemanfaatan teknologi layar dan internet di ranah artistik, dalam hal ini terkait ragam bentuk penayangan film dalam format festival daring. Tahun 2020 mungkin menjadi tahun yang paling produktif dalam melahirkan ragam aktivitas dan perhelatan seni budaya yang diselenggarakan secara daring. Di saat yang bersamaan juga menjadi tahun yang paling ambisius dalam memindahkan serangkaian peristiwa seni budaya yang bersifat fisik ke dalam ruang virtual. Forum kecil yang diceritakan di awal paragraf ini pada akhirnya tidak melahirkan inisiatif festival film secara daring. Perbincangan tersebut melahirkan gagasan iterasi yang universal, Universal Iteration.

Iterasi pada dasarnya bermakna perulangan. Dalam bidang matematika dan komputasi, iterasi dimaknai sebagai sebuah proses menuju penyelesaian masalah melalui aktivitas perulangan dan perbaikan. Iterasi dalam Universal Iteration menyoroti serangkaian perulangan yang dilakukan secara bersama-sama di dalam jaringan dan di atas layar. Konsumsi hiburan dan informasi, interaksi media sosial, kegiatan jual-beli, hingga upaya pencarian jodoh telah menjadi bentuk-bentuk iterasi pemanfaatan gawai pintar hari ini. Iterasi yang juga melahirkan ragam bahasa dan bentuk interaksi universal yang baru dan segera.

 

Iterasi Pertama

Karya-karya berbasis layar yang terkoneksi internet (medium net art atau internet art) serta format penayangan secara berkala menjadi penekanan dalam Universal Iteration yang pertama kali diluncurkan pada 22 Mei 2021 di laman galeri.salihara.org. Universal Iteration edisi perdana mempresentasikan 8 karya dari seniman individu dan kolektif yang masing-masing ditayangkan dalam durasi 3 minggu di periode waktu yang berbeda. Dalam pertimbangan awal perencanaan Universal Iteration, penayangan dalam periode waktu berbeda memungkinkan pengunjung untuk fokus menyelami karya secara satu per satu. Pemanfaatan teknologi internet konon membuat manusia kesulitan untuk fokus pada satu hal di satu waktu. Di samping itu, masing-masing karya yang dipresentasikan menuntut ragam interaksi yang berbeda dan beberapa di antaranya memiliki karakteristik yang terus berkembang dan bertumbuh seiring berjalannya waktu. Banyaknya interaksi dan pilihan waktu kunjungan menghasilkan pengalaman mengapresiasi karya secara berbeda.

Kolektif Blanco Benz Atelier mempresentasikan karya bertajuk Ketopong Sultan yang secara bentuk akan terus berkembang seiring dengan interaksi pengunjung. Gagasan futurisme historis yang diangkat oleh Blanco Benz Atelier dikombinasikan dengan ketertarikan mereka pada metode dan sistem pertukaran nilai yang tertua, dalam hal ini sistem barter. Artefak digital dalam bentuk ketopong sultan Kerajaan Kutai yang dikombinasikan dengan langgam-langgam modern kemudian ‘dilelang’. Pengunjung bisa melakukan upaya akuisisi dengan cara mengajukan objek atau benda-benda fisik miliknya yang dirasa memiliki nilai yang sama dengan karya Ketopong Sultan.

Menganalisis masa lalu dilakukan pula oleh Riar Rizaldi untuk mengajukan pernyataan dan pertanyaan yang saling terkait di ranah industri film horor. Mulai dari jejak-jejak mengalami realitas dalam layar yang merebak ke kehidupan sehari-hari, perbandingan konstruksi imaji mistisisme rural dan kemodernan wilayah urban, aspek subversif film horor terhadap kuasa Orde Baru, hingga gelombang desentralisasi melalui fenomena distribusi dan konsumsi sinema dalam format VCD dan studi kasus munculnya produksi film-film vernakular. Dalam Ghost Like Us yang berdurasi kurang lebih 20 menit, nuansa mistik dalam penggambaran hantu-hantu ‘yang mengganggu’ merupakan sebuah alternatif penaklukan kuasa dan pusat. Bagaimana film-film horor Indonesia yang diproduksi dalam dekade-dekade berbeda tidak hanya merepresentasikan perkembangan artistik dan teknologi media gambar bergerak, tetapi juga menandai pergeseran-pergeseran pemikiran dan situasi sosial politik. Ghost Like Us menjadi semacam jembatan dalam menelusuri isu represi dan demokrasi, cara pandang pusat dan yang periferal, hingga perihal distribusi dan jejaring.

Teknologi hari ini mendefinisikan ulang makna jejaring dan distribusi informasi. Secara sadar atau tidak, berselancar dalam lautan media sosial meningkatkan permintaan serta konsumsi teks dan visual dalam layar. Aktivitas fisik seperti bertemu rekan kerja dan lingkaran terdekat, menikmati pemandangan alam, hingga (mungkin saja) berolah raga seolah-olah dapat diwakili dengan aktivitas mata dan jari di atas gawai pintar. Ilusi aktivitas fisik dalam layar menjadi salah satu ketertarikan Tromarama yang diwujudkan dalam karya bertajuk Median. Median mengetengahkan aktivitas skiping dalam sebuah ruang virtual. Pengunjung ditempatkan di area median dari dua sumbu yang membentuk sebuah ilusi ruang dalam format video 360 derajat.

Karya Farhanaz Rupaidha berjudul Bayang menawarkan bentuk interaksi dan pemahaman yang lain dalam kasus karya-karya berbasis layar dan komputasi. Melalui pengamatan langsung di perkampungan Danau Setu Patok, khususnya Dusun Karang Dawa, Bayang menjadi gambaran jukstaposisi antara kenyataan dan representasi ideal atas sebuah ekosistem. Pengunjung dapat berkeliling sesuka hati dan turut melakukan observasi di ruang virtual olahan Farhanaz dengan cara mengunduh aplikasi buatannya. Penekanan pada observasi atas aktivitas-aktivitas sederhana juga menjadi ketertarikan Mira Rizki Kurnia yang menggubah bunyi-bunyi keseharian. Kondisi pandemi memaksa Mira Rizki Kurnia untuk lebih banyak berdiam diri di rumah dan mengurangi aktivitas-aktivitas sosial di luar. Kondisi isolasi tersebut memicu rasa penasaran untuk menyimak ragam bebunyian dari objek serta aktivitas di sekitar ruang personalnya (yang terdengar sangat halus atau sering kali terabaikan). Bebunyian halus atau cenderung samar tersebut kemudian ia rekam satu per satu. Dalam karya Whitepage 2.0, pengunjung bisa menjelajah bebunyian yang direkam sang seniman sekaligus menggubahnya menjadi komposisi selayaknya musique concrete. Pengunjung juga dimungkinkan untuk merekam dan membagikan hasil gubahannya melalui laman karya Mira di Universal Iteration. Isolasi memunculkan dorongan eksplorasi dan partisipasi.

Karya Farhanaz dan Mira sedikit banyak memunculkan pertanyaan terkait bagaimana pengalaman ruang dan waktu yang dialami secara berbeda di tengah perkembangan teknologi hari ini. Begitu pun Bandu Darmawan yang merespons hal tersebut melalui instalasi Budi & Daya dengan memanfaatkan media kamera yang terhubung dengan internet. Pengunjung diajak untuk memikirkan kembali waktu dan tempat di mana ia berada ketika memantau perkembangan tumbuhan yang begitu lambat secara real-time. Tumbuh kembang organisme juga menjadi ketertarikan House of Natural Fiber (HONF) dalam karya bertajuk The Ungovernables Structure. Manusia bukan penghuni tunggal di Bumi, dan jelas bukan satu-satunya makhluk hidup yang boleh memanfaatkan segala kekayaan alam. HONF yang berkolaborasi dengan Fakultas Rekayasa Industri dan Desain, Institut Teknologi Telkom (ITT) Purwokerto mendorong sebuah rancangan arsitektur yang mampu menopang ekosistem buatan yang terdiri atas miselium, sianobakteria, alga, dan lumut. Melalui karya ini, HONF dan ITT mengimajinasikan produksi struktur bangunan-bangunan di masa depan yang fungsinya tidak hanya berpusat pada manusia, tetapi juga makhluk hidup lainnya. Melengkapi instalasi The Ungovernables Structure, HONF tampil dalam sebuah performance bertajuk F.O.L.T. (Freedom of Living Things). Pertunjukan olah bunyi yang dihasilkan dari kombinasi antara aktivitas merangkai komponen elektronik pada tubuh manusia serta interaksinya dengan ragam organisme. Selaras dengan gagasan The Ungovernables Structure yang mempertanyakan dominasi satu makhluk hidup, dalam hal ini manusia, terhadap kehidupan makhluk lainnya di bumi. F.O.L.T. adalah kebisingan sekaligus teriakan bagi siapa pun yang berpikir bahwa ekosistem bumi hanya diisi oleh dua entitas: manusia dan non-manusia.

Terkait entitas non-manusia, Natasha Tontey mengajukan narasi spekulatif yang cukup ekstrem. Dalam karya bertajuk Hama Memberkati/Pest to Power, Natasha menghadirkan kecoak-kecoak yang berinteraksi sekaligus mempelajari manusia sebagai representasi atas gagasan terkait masa depan dan relasi antroposentrisme dengan lingkungan. Kecoak, yang dalam pandangan Natasha dianggap sebagai makhluk marginal atau periferal, ternyata menjadi hama yang justru lebih unggul dalam hal keberlangsungan hidup apabila ditempatkan pada isu gaya hidup bersih manusia yang kapitalistik.

Peluncuran pertama Universal Iteration melahirkan banyak pertanyaan lanjutan yang tidak hanya berkaitan dengan perkembangan seni internet secara umum, tetapi juga perihal konsekuensi pemanfaatan teknologi bagi ragam organisme hidup secara individu maupun kolektif.

 

Iterasi Kedua dan Kolaborasi

Konsekuensi pemanfaatan teknologi menjadi isu utama dalam peluncuran Universal Iteration edisi kedua. Pergeseran pemahaman terkait persepsi ruang dan waktu dan dampak lingkungan yang dihasilkan oleh pemanfaatan teknologi internet menjadi sorotan dalam subjudul Intermissions. Universal Iteration edisi 2022 melibatkan enam seniman: Aki Onda, Eldwin Pradipta, Indah Arsyad, Rizki Lazuardi, XXLab, dan Yovista Ahtajida. Iterasi kedua ini juga menandai perubahan format penayangan karya yang sebelumnya ditayangkan secara satu per satu (masing-masing tiga minggu) menjadi penayangan karya secara bersamaan dengan durasi tayang selama satu tahun penuh. Hal tersebut berkaitan dengan dorongan untuk mengeksplorasi ragam kemungkinan tayangan di atas layar. Layar dapat dipahami sebagai media terbatas yang sekaligus tidak terbatas ketika terkoneksi dengan internet.

Masing-masing karya dalam Universal Iteration: Intermissions menekankan sudut pandang berbeda dalam menanggapi persoalan ruang-waktu dan lingkungan. Mulai dari XXLab yang mengajak pengunjung untuk berperan serta dalam mengurangi jejak karbon melalui upaya menghapus tumpukan e-mail. Aki Onda dan Indah Arsyad yang mengobservasi dan menyuarakan kerusakan lingkungan di lokasi-lokasi spesifik melalui presentasi berbasis video narasi dan video real-time. Rizki Lazuardi menyoroti isu pembajakan yang dibalut dengan banjirnya produksi visual iklan dalam layar. Hingga Eldwin Pradipta dan Yovista Ahtajida yang merespons isu dan ilusi ancaman kecerdasan buatan bagi manusia. Semuanya bermuara pada pemahaman atas bagaimana teknologi telah dikonsumsi, dipikirkan kembali, dan dievaluasi. Satu bentuk iterasi yang dilakukan secara universal.

Iterasi kedua Universal Iteration menandai upaya lain dalam mengembangkan format-format presentasi berbasis layar dan jaringan internet. Bekerja sama dengan platform XPLORE yang diinisiasi oleh ARCOLABS, Universal Iteration turut mendukung lahirnya platform Age of Consent yang mengembangkan lebih jauh makna partisipasi dalam jaringan.

800 400 Bob Edrian

Bob Edrian

Bob Edrian adalah seorang kurator dan penulis yang tinggal di Jakarta, Indonesia. Fokus  penelitiannya pada perkembangan bunyi dalam seni rupa dan seni media, proyek kuratorialnya antara lain Bandung New Emergence Vol. 6: Dengarkan! (2016), Intomedia (2017), Soemardja Sound Art Project (2018), Instrumen Festival Seni Media Internasional (2018-2019), Pancaran Citra Lokal (2020), Iterasi Universal (2021- 2023). Ia memenangkan Curatorial Research Grant (2016) yang didanai oleh Selasar Sunaryo Art Space dan Sidharta Aboejono Martoredjo (SAM) Fund for Arts and Ecology (Indonesia) dan terpilih sebagai salah satu peserta Para Site Workshops for Emerging Art Professionals 2018 (Hong Kong). Dia adalah Direktur di Audial Plane, sebuah divisi seni suara dan musik eksperimental dari Orange Cliff Records. Saat ini menjabat sebagai project manager di IndoArtNow dan kurator di Artina•Sarinah. Tulisannya telah ditampilkan dalam The Bloomsbury Handbook of Sound Art (2020) yang diterbitkan oleh Bloomsbury Publishing, London.

Penulis Bob Edrian
Ketik di sini ...

Preferensi Privasi

Ketika Anda mengunjungi situs web kami, informasi mungkin disimpan melalui peramban Anda dari layanan tertentu, biasanya dalam bentuk cookie. Di sini Anda dapat mengubah preferensi Privasi Anda. Perlu dicatat bahwa memblokir beberapa jenis cookie dapat mempengaruhi pengalaman Anda di situs web kami dan layanan yang dapat kami tawarkan.

Untuk alasan kinerja dan keamanan, kami menggunakan Cloudflare
required

Situs web kami menggunakan cookie, terutama dari layanan pihak ketiga. Tentukan Preferensi Privasi Anda dan/atau setujui penggunaan cookie oleh kami.