Di masa pandemi Covid-19, penguasaan dan pemanfaatan teknologi menjadi asas menjalani segala aktivitas. Saya masih ingat bagaimana saya berusaha menyimak materi pembelajaran saat kuliah melalui aplikasi Zoom. Terkadang dengan santai saya nikmati di kamar atau tempat lain, tanpa ada kekhawatiran apabila terpental dari ruang Zoom atau kendala layar terhenti akibat koneksi internet yang buruk, karena sesudah itu saya akan mendapatkan rekaman pembelajaran. Berkat solusi aplikasi ruang online itu, agenda pertemuan atau rapat juga menjadi lebih fleksibel. Kamera yang dinonaktifkan menjadi jurus andalan untuk tidak memperlihatkan momen tertentu, barangkali ingin pergi ke toilet atau ingin menyantap makanan. Namun, saya menemukan tantangan baru terhadap tawaran kemudahan dan kecanggihan teknologi ini. Aktivitas bermusik menjadi sedikit ribet bagi saya sebagai cellist dan teman-teman musisi instrumen akustik (dalam hal ini: performing). Kondisi baru yang dikenal dengan new normal dan aturan pembatasan bersosialisasi berskala besar membawa perubahan drastis dalam dunia seni pertunjukan. Mau tak mau, butuh ide kreatif dan usaha meningkatkan keterampilan lain untuk menguasai perangkat elektronik yang mendukung kebutuhan itu.
Dulu fokus utamanya adalah penguasaan keterampilan untuk materi karya yang akan dipresentasikan. Kini, selain materi karya, perlu menguasai perangkat perekaman audio-visual untuk merekam permainan musiknya. Saat saya mendapatkan tawaran konser bersama, suasana rumah kurang kondusif untuk melakukan perekaman dikarenakan jumlah anggota keluarga yang menempati cukup banyak dan aktivitasnya yang beragam. Letak rumah pun hampir 24/7 diwarnai oleh lalu lalang bunyi sirene ambulans. Hampir tidak ada suasana dan ruang yang cukup hening untuk saya agar bisa leluasa merekam musik. Saya dan beberapa teman yang memiliki keluhan sama pada saat itu berhemat dan terlalu pelit untuk menyewa studio. Mencoba alternatif lain yang ekonomis, kami memanfaatkan sebuah kedai kopi milik teman di daerah Bantul. Kami menunggu hingga kedai tutup, dengan sabar saling mengantre dan menolong pada proses pengambilan video. Itu pun membutuhkan waktu berjam-jam karena proses rekamannya tidak sekali jadi dan tidak selalu sempurna, sehingga perlu diulang sampai mendapatkan hasil yang kami inginkan. Untungnya proses penyelarasan bunyi dan gambar dilakukan oleh tim lain. Presentasi pertunjukan yang ditonton audiens tentu juga berbeda. Panggung yang dahulu menjadi tempat untuk bermusik bersama, kini berupa gambar-gambar musisi yang sedang bermain di “panggungnya” sendiri, ditempel menjadi satu melalui beberapa tahapan proses kemudian dikemas menjadi sebuah konser virtual.
Seni, Pelaku Seni, dan Teknologi Selalu Berelasi
Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, para pelaku seni mampu menanggulangi hambatan pertunjukan seni. Ruang temu baru, panggung baru, dan beberapa peristiwa yang saya alami menjadi refleksi bagi saya. Musik mengalami berbagai perubahan baik itu variasi bunyinya, genrenya, penemuan instrumennya, dan variasi elemen pendukung lainnya. Sebagai contoh, perubahan mulai dari musik Gregorian yang berbentuk melodi vokal tanpa iringan hingga kemudian berkembang menjadi musik kelompok kecil atau bahkan besar dengan memadukan instrumen-instrumen yang menghasilkan beberapa bunyi lain yang lebih variatif. Komponis Johann Sebastian Bach, yang terkenal menggunakan teknik kontrapung, berhasil memperluas dan menggubah karyanya untuk ditampilkan dengan instrumen organ, harpsichord, dan karya untuk format orkestra—yang menjadi lebih kompleks. Beethoven pun tidak luput ikut menikmati transisi perkembangan teknologi instrumen dari harpsichord ke piano. Dalam konteks komposisi algoritmik, Guido dari Arezzo berkontribusi besar pada perkembangan notasi seperti mengembangkan solmisasi dan micrologus yang merupakan risalah praktik menyanyi dengan monodik dan polifonik. Kontribusi Guido menjadi pendekatan pertama terhadap cikal bakal struktur musik otomatis (Nierhaus, 2009).
Belakang hari, jika mampir ke sebuah kafe untuk menonton penampilan sebuah band jazz, akan terdengar akor atau nada yang miring-miring. Sungguh sangat berbeda dari inovasi rumpun tangga nada diatonis dan susunan harmoni yang digunakan pada musik klasik. Kemudian, melompat ke genre atau pertunjukan musik lain, seperti musisi yang memainkan efek drone menggunakan gitar di atas panggung hingga seorang disk jockey yang sedang mengatur musik menggunakan controller atau turntable-nya, adalah hasil dari salah satu perkembangan teknologi elektronika. Pada masa pandemi, penampilan pertunjukan seni dengan rupa warna caranya digiring ke dalam ruang virtual. Tubuh yang organik serta bunyi yang terdengar diproses secara digital untuk disiarkan dan dinikmati langsung melalui media penyiaran. Perjalanan singkat ini membuktikan seni sudah lama dikawinkan dengan teknologi dan sains lainnya untuk menjembatani kreativitas manusia. Tanpa mengesampingkan peran dan fungsi dari musik itu sendiri, dengan memahami perjalanan proses musiknya, maka makna musik tidaklah sederhana.
Sejumlah ketidaksederhanaan perkembangan ini merupakan wujud ekstensi kreativitas terhadap akal-tubuh manusia yang lekat dengan perkembangan teknologi dan pemanfaatannya di lingkungan sosial. Pertunjukan musik tetap hadir dan hidup di masa pandemi berkat kemampuan adaptasi dan kreativitas manusia yang telah menghadirkan kemampuannya yang luar biasa untuk memperbaiki kondisi kehidupan kita. Refleksi ini juga setidaknya cukup bagi saya untuk tidak overwhelmed menanggapi kemutakhiran dan kompleksitas teknologi, dan menyikapinya secara wajar.
Live Coding dalam Ranah Pertunjukan Seni
Perjumpaan saya dengan ruang pertunjukan virtual tidak selesai sampai di sini. Pada 31 Oktober 2020, melalui layar ponsel, saya mengamati pertunjukan oleh sebuah kelompok bernama Supercontinent Ensemble yang disiarkan langsung di kanal Youtube October Meeting.1Selengkapnya https://www.youtube.com/live/P4IhykjFyOw?feature=share Kelompok ansambel itu beranggotakan 6 personel yang berasal dari berbagai bagian negara dan penampilannya dilakukan secara remote. Dalam tampilan layar yang saya perhatikan, terdapat 8 kolom kotak di mana masing-masing personel menuliskan teks berupa angka, huruf, dan simbol-simbol lain menjadi susunan kode. Ketika pemain selesai menyusun kode, kolom-kolom kotak akan berkedip hampir secara bergantian yang kemudian menghasilkan bunyi-bunyi. Disusul dengan kolom lain berkedip yang menghasilkan gambar yang bergerak-gerak secara interaktif mengikuti bunyinya. Pertunjukan audio-visual yang berdurasi kurang lebih 30 menit itu menyoroti peristiwa keenam personel yang aktif mengetik dan mengganti-ganti kode dengan melakukan perubahan-perubahan teks secara bersinambung hingga usai. Meskipun saat itu saya tidak paham arti dari kode-kode yang ditampilkan, bisa dibilang mereka menunjukkan kepiawaian mengkoding program/perangkat lunak untuk bermain musik dan visual.
Berkat menonton pertunjukan tersebut, pengetahuan saya tentang ragam ruang pertunjukan bertambah, yang tidak melulu disajikan di dalam ruang konser, atau berupa gambar rekaman dari studio atau kamar pribadi/ruang yang disulap sedemikian rupa. Esoknya, obrolan santai dengan Rangga Purnama Aji (inisiator Paguyuban Algorave Indonesia) berbuah pada mengenalkan komputer sebagai media untuk bermusik dengan cara yang baru. Cara baru ini yang juga digunakan secara kolaboratif oleh Supercontinent Ensemble, bernama live coding.
Di masa kini, proses penciptaan seni (musik) lekat dengan penggunaan komputer. Ini menunjukkan bahwa perkembangan teknologi memiliki potensi besar akan pemanfaatannya bagi komponis maupun praktisi musik. Selain dimanfaatkan untuk menulis notasi musik, juga dimanfaatkan sebagai alat perekaman dan untuk memainkan musik dengan cara baru, ditandai dengan ramainya tren musik EDM dan musik elektronik eksperimental lain di tengah masyarakat. Manusia merespons perkembangan komputasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru dalam wilayah eksplorasi dan eksperimentasi dalam ragam penciptaan musik, sebagaimana menjadi alat untuk berinteraksi antara media satu dan alat (instrumen) lainnya, pemrosesan sinyal suara, hingga memproduksi musik secara otomatis. Musik otomatis sering dikenal sebagai musik generatif atau musik algoritmik, sehingga diidentikkan dengan musik komputer. Menurut Boden & Edmonds (2009), pada praktik seni kontemporer digital, komputer hanya memerlukan formalisme dan harus diprogram dengan instruksi yang tepat dengan gangguan minimal atau nol dari manusia, artinya sebagian karya diproduksi otomatis dengan membiarkan program komputer berjalan dengan sendirinya tanpa di bawah kendali manusia. Untuk memberikan peluang komputer agar bekerja secara otomatis, sistem komputer membutuhkan algoritma. Jika didefinisikan secara luas, algoritma merupakan pola. Pola ini memiliki sistem yang bekerja teratur secara urut. Peran manusia adalah sebagai pencipta pola-pola yang menjadi cara atau langkah kerja komputer.
Eksplorasi algoritma pada komputer menjadi populer dalam ranah eksperimentasi dan penciptaan seni, salah satunya terbukti dari banyaknya peminat dari berbagai negara terhadap pertunjukan live coding. Pada bidang musik, live coding merupakan fenomena baru dalam ranah musik komputer di abad ke-21. Menurut Mclean & Wiggins (2010), live coding merupakan cara mengimprovisasi musik melalui pengeditan sumber kode dengan melakukan pembaharuan kode yang sedang berjalan. Musik yang dibuat merupakan hasil dari penyusunan atau perubahan sintaks parameter-parameter algoritma secara real time. Terlepas dari pertunjukan seni, fenomena live coding sebenarnya sudah muncul pada 1970–1990-an bersamaan dengan munculnya genre musik elektronik. Pada saat itu live coding sebagai praktik berkesenian ditampilkan dengan mendemonstrasikan grafis dan musik.2Selengkapnya https://flypaper.soundfly.com/discovery/enter-realm-live-coded-music/ Dengan munculnya perkembangan komputer mikro pada 1970-an, komputer akhirnya menjadi cukup kecil dan muat untuk diletakkan di atas panggung, sehingga dapat digunakan sebagai instrumen pertunjukan. Salah satu sesi live coding pertama yang diketahui dilakukan oleh Ron Kuivila, di mana pertunjukannya berlangsung di STEIM, Amsterdam, pada 1985 (Zmölnig & Eckel, 2007). Dalam acara daring RC3 2021 NOWHERE,3Selengkapnya https://media.ccc.de/v/rc3-2021-chaoszone-345-what-is-algorave#t=2540 Alexandra Cardenas mengungkapkan, live coding:
- adalah teknik menulis yang dapat diterapkan ke berbagai bentuk seni seperti musik, visual, puisi, tari, dan lainnya secara simultan melalui keterlibatan algoritma komputer;
- adalah bentuk seni pertunjukan yang berpusat pada penulisan sumber kode dan pemrograman interaktif dengan cara improvisasi;
- adalah domain penelitian baru di mana disiplin ilmu komputer menyatu dengan seni pertunjukan;
- adalah komunitas yang didistribusikan secara global yang bertujuan untuk membuka ruang aman untuk menciptakan seni yang performatif dengan cara yang inklusif, beragam, dan transparan.
Pada presentasinya, karya-karya berbasis teknik live coding ditampilkan dengan memproyeksikan tampilan proses penulisan kode dalam layar komputer kepada audiens, sehingga proyeksi layar editor yang digunakan pemain merupakan komponen utama dalam pertunjukannya. Menurut Burland & McLean (2016) dan Blackwell et al. (2022), dengan menampilkan transparansi proses secara terbuka, live coding menawarkan potensi bagi siapa pun yang menonton, berbagi ide baru dan belajar tentang wawasan algoritma, baik itu musik atau visual, dari apa yang pemain lakukan. Oleh karena itu tampaknya layar yang terproyeksikan memang menjadi salah satu bagian yang semestinya ada dari pertunjukan live coding.
Kolaborasi di Live Coding dan Beberapa Kesulitan yang Dihadapi
Perangkat lunak live coding seperti Flok (dikembangkan oleh Damián Silvani) dan Estuary (dikembangkan oleh David Ogborn) diciptakan agar dapat dimainkan secara kolaboratif. Kedua perangkat lunak ini menghubungkan lebih dari satu pengguna ke dalam satu tampilan editor kode. Keduanya adalah web-based platform yang sangat memungkinkan untuk melakukan penampilan live coding bersama-sama, membangun secara langsung dengan memanfaatkan jaringan LAN (local area network) maupun jaringan internet dalam satu server yang sama. Kedua perangkat lunak ini bahkan dapat digunakan oleh banyak orang secara terpisah baik lokal maupun interlokal dengan perbedaan waktunya masing-masing. Singkatnya, kolaborasi ini memberikan kesempatan untuk para pemain menyatukan persepsi/ide garapan karya musik dan visual secara langsung, dan secara berkesinambungan menulis untuk membangun sebuah konstruksi karya. Baik musik maupun visual, masing-masing menggunakan bahasa program dengan aturan sintaks yang berlaku. Dalam penyusunannya, seluruh sintaks harus lengkap dan sesuai dengan kaidah yang telah disusun oleh para developer bahasa pemrograman sendiri-sendiri. Menariknya, semua pemain dapat saling melihat dan turut campur tangan ke tiap “dapur penciptaan” selama proses pengembangan algoritmanya.
Bermain secara berkelompok namun membawa pemain ke tingkatan kompleksitas yang lebih rumit. Seni yang diproduksi dengan mengkombinasikan lebih dari satu disiplin ilmu memiliki tantangan mengelola agar pertunjukan itu merupakan satu kesatuan. Di satu momen berbagi pengalaman, Marcell (Invinixity), seorang seniman komputer grafis, berpendapat bahwa masing-masing pemain ibarat seorang pengaba yang sedang memimpin dan menjaga tiap orkestranya. Tiap pemain bisa memainkan lebih dari satu sampel suara bahkan hingga membentuk satu kelompok musik sendiri. Maka dari itu, terkadang saat jamming session atau pertunjukan live, kelompok-kelompok musik itu berjalan sendiri-sendiri.
“[K]alau jamming dengan instrumen pada umumnya, katakanlah instrumennya tetap digital, kayak piano synth atau keyboard, kita (musisi) udah tahu notnya, kita (visualis) dengar langsung teman main apa, jadi bisa saling menyesuaikan, dengan ngatur kenop pengontrol volume misalnya, begitu juga dengan bassist-nya atau yang lainnya… kalau di coding, karena live, kita enggak tahu kapan teman habisnya, kira-kira kapan… yang satu ngerasa kalau kayaknya (algoritma) ini masih enak diterusin, tapi ternyata yang lain udah ganti nuansa.”
Artinya, selain memiliki pengetahuan akan pemahaman sintaks dan musikal, imajinasi/persepsi penting untuk merasakan/menalar angka atau simbol saat menginput ke dalam parameter algoritma. Menurut Marcell, karena keterbatasan temporal penulisan sintaks untuk membuat algoritma maka harus efisien, praktisi setidaknya mempunyai bekal strategi bagaimana pertunjukannya akan dilakukan. Sistem kalkulasi komputer yang memproses terlalu banyak algoritma juga akan mengalokasikan urutan sistem kerjanya kembali, Marcell menambahkan, “Tugas-tugas (algoritma) kan ngantre ke komputer buat dijalanin tuh, kalau kapasitas komputernya enggak muat nantinya (komputer) kayak akan ngepotong bagian tugas-tugas itu tadi.” Selain problematika kecepatan bandwidth, kesalahan eksekusi kode pada algoritma dan banyaknya parameter yang disusun menyebabkan latensi atau glitch pada saat pertunjukan berlangsung. Karena pada inti permainan live coding adalah improvisasi, problematika itu membawa live coder berpikir untuk pengambilan keputusan secara cepat, mulai dari mengurangi parameter algoritma sampai membiarkan glitch menjadi gagasan konsep baru selama pertunjukan berlangsung. Sebagai contoh, pada saat latency music concert #1, Ali Azca, Elefou, dan Renzo yang di tengah-tengah kolaborasi musiknya tersendat dan bertransformasi seperti menjadi musik dengan efek distorsi membawa pendengar untuk merasakan variasi bunyi yang kontras serta menjadi pertunjukan yang memiliki atmosfer musikal yang unik (hal ini juga dialami saat berlangsungnya sesi saya bersama Ximena dan sesi Marcell bersama Favio).4Selengkapnya https://www.youtube.com/watch?v=hDphDsFyBYc
Efisiensi penulisan sintaks juga meminimalisir kesalahan penulisan dan menyusun algoritmanya. Karena penulisan sintaks harus benar-benar sesuai, maka salah dalam satu karakter saja akan berimbas. Namun, karena semua pemain bisa saling terlibat, beruntungnya para pemain berkesempatan untuk saling menanggulangi. Semakin mendalam aktivitas penulisan kode maka akan semakin banyak live coder harus menghadapi algoritma yang berjalan (Roberts & Wakefield, 2018). Melalui penelitiannya, Brown & Sorensen secara khusus telah menemukan kriteria-kriteria yang berlaku untuk proses generatif yang digunakan dalam live coding. Mereka lebih lanjut menyatakan, “Generative processes should be: succinct and quick to type; widely applicable to a variety of musical circumstances; computationally efficient, allowing real-time evaluation; responsive and adaptive, minimising future scheduling commitments; and modifiable through the exposure of appropriate parameters (Brown & Sorensen, 2009).”
Algorave dan Paguyuban Algorave Indonesia
Algorave adalah aksi/gerakan di dalam komunitas live coding, yang terdistribusi membuka dan menawarkan ruang seni pertunjukan dengan cakupan seninya yang beragam. Nama Algorave dibuat oleh Alex Mclean dan Nick Collins pada 2011. Algorave diproklamasikan pertama kali oleh mereka saat warm-up konser untuk acara SuperCollider Symposium di London, Inggris, pada 2012. Sejak itu, nama Algorave menjadi sebuah gerakan Algorave-Algorave lain dan menjadi sebuah gerakan besar di dunia. Algorave mencakup berbagai gaya, baik itu minimal techno hingga sesuatu yang kompleks, dan gerakan tersebut telah digambarkan sebagai titik temu filosofi hacker, geek culture, dan clubbing (Alexandra Cardenas dalam RC3 NOWHERE, 28 Desember 2021).
Dilansir dari algorave.com,5Selengkapnya https://algorave.com/about/ Algorave berasal dari “suara yang keseluruhannya atau sebagian besar dicirikan oleh emisi rangkaian kondisional yang berulang”. Pada pokoknya, merupakan acara di mana orang-orang menari dan mengikuti irama entakan beat techno dari musik beserta tampilan visual yang dimainkan. Sebagian besar pertunjukan melibatkan pembuatan musik dan visual berbasis kode dan komposisi algoritmik yang dibangun menggunakan sistem perangkat lunak terbuka seperti IXI Lang, Pure Data, Max/MSP, SuperCollider, Extempore, Fluxus, TidalCycles, Gibber, Sonic Pi, Foxdot, dan Cyril. Beberapa pemain/praktisi live coding (biasa disebut live coder) melibatkan perangkat keras instrumen lain yang diintegrasikan ke komputer. Latar belakang para live coder yang biasa tampil dalam acara Algorave juga dari berbagai kalangan, baik itu musisi, seniman visual, programmer, dan lain-lain. Karena sifat komunitas ini yang terbuka, siapa pun dapat mengakses pengetahuan tentang live coding. Dengan memanfaatkan akses online secara gratis, orang-orang dapat mencari tahu dari melihat dokumentasi video, makalah yang terbit, hingga dokumentasi kode yang dibagikan para live coder, yang dapat disalin/ditiru untuk belajar. Sejumlah acara, pertunjukan, dan praktik komunitas live coding dari seluruh dunia juga dapat ditonton di platform Youtube melalui sebuah kanal bernama Eulerroom.6Selengkapnya https://www.youtube.com/@Eulerroom
Paguyuban Algorave Indonesia (PAI) hadir atas dasar upaya dari Rangga untuk merangkul para praktisi seni berbasis live coding di Indonesia. Sebagai seorang seniman dan komponis, Rangga sudah bertahun-tahun mendalami live coding dan mengalami berbagai perjumpaan pengalaman. Menggunakan live coding, ia pernah terlibat dalam beberapa acara nasional dan internasional. Dirinya juga tergabung dalam komunitas live coder Argentina CLiC (Colectivo de Live Coders) serta merupakan anggota dari ansambel live coding internasional bernama IG Noto. Ia telah beberapa kali mengenalkan dan memberikan lokakarya musik berbasis live coding dengan menggunakan perangkat lunak untuk musik bernama Sonic Pi dan Estuary. Dua perangkat lunak ini pula yang dikenalkan pertama kali ke saya. Menurut Rangga, Estuary dapat diakses dengan mudah, sedangkan proses instalasi Sonic Pi tidak rumit. Kedua perangkat lunak ini merupakan alat yang ramah untuk awal memulai belajar live coding, karena di dalamnya juga terdapat panduan dan langkah-langkah awal bagaimana membuat musik dengan kode.
Mulanya, di awal Januari 2021, Rangga mengajak Mohammad Ali Azca, Bagaskoro Saputro, Muhammad Khoirur Roziqin, dan saya berkumpul bersama untuk merencanakan membentuk sebuah komunitas terbuka live coding, yang kemudian menjadi wadah bagi teman-teman dapat saling bertemu dan berjejaring. Rangga merasa bahwa live coder di Indonesia masih sangat sedikit, dan sudah saatnya skena live coding disalurkan untuk menjadi sebuah pendekatan baru bagi siapa pun yang tertarik dalam penciptaan seni maupun pertunjukan seni. Rangga membentuk komunitas ini agar teman-teman mendapat ruang untuk saling belajar bersama, berbagi ide, pengalaman, wacana acara, ataupun pertunjukan live coding dan yang berelasi. Sejak April 2021, PAI telah melakukan beberapa agenda acara, berkolaborasi dengan live coder dari Peru (Proyecto MUTAR) dan Kosta Rika, serta mengadakan lokakarya. Di satu kesempatan, PAI menampilkan instalasi karya dalam festival Sumonar dengan tajuk Spectrum Optica, yang karyanya didesain menggunakan teknik live coding.
Pertunjukan perdana PAI diadakan secara virtual dengan menampilkan 13 penampil (22 April 2021).7Selengkapnya https://www.youtube.com/watch?v=JUjgZQaRvq4&t=6s Sebelas penampil menggunakan teknik live coding dan 2 di antaranya menampilkan karya audio-visual dengan teknik komposisi algoritmik. Para pemain menyajikan gaya musik masing-masing dengan berbagai format penampil (solo dan berkelompok) serta variasi perangkat lunak yang dimainkan. Ada bermacam cara penyajian para pemain yang menggunakan teknik live coding. Pertama, memulai dengan cara from scratch, yaitu ketika keadaan tampilan layar editor perangkat lunak masih kosong. Cara ini digunakan pemain untuk menyusun barisan script dengan tujuan membuat sumber kode, kemudian dikembangkan hingga akhir pertunjukan. Cara kedua, pemain telah menyiapkan beberapa barisan sumber kode di layar editor, kemudian dikembangkan hingga akhir (prepared). Salah satu penampil, t1mpuk, menyajikan pembuatan musik dengan menggunakan perangkat lunak TidalCycles yang digabungkan dengan perangkat keras synthesizer modular.
Live coding tak terikat dengan genre, tidak hanya memainkan musik techno melainkan juga sebagai perpanjangan langkah mencari penggarapan artistik, seperti Rangga yang ungkapan gagasannya memaknai latar belakang filosofi etnis Jawa dalam Mekar ing Antarane, Floating Gold (kolaborasi Rangga bersama Peni Candra Rini dan kelompok gamelan Naga Mas), Sumping dalam grup duonya bersama BASASAE, dan karya-karya Rangga lainnya. Ada juga Rifal Taufani yang mengadaptasikan alat musik saronen di Sonic Pi seperti di dalam karyanya berjudul Epos Trunajaya, serta Ali Azca yang senang mengeksplorasi dangdut koplo dalam Jebajeb in Ur Angkot. Sebuah pengalaman menarik dari Gigih Alfajar, yang tergabung dalam komunitas PAI dan seorang pengajar prodi musik di Universitas Teknologi Sumbawa. Ia menyadari bahwa prodi musik di universitas tersebut memiliki beban yang berat terkait persoalan bagaimana menyuburkan minat musik yang minim dan akses yang terbatas di daerah itu. Ia kemudian memiliki gagasan mengajarkan musik koding sebagai sarana memperdalam kreativitas untuk mengembangkan kefasihan dalam disiplin ilmu musik dan informatika dalam pembelajaran siswa. Menurutnya, mengenalkan musik koding merupakan langkah yang baik sebagai pendekatan awal memahami musik dan teknologi. Gigih juga mendampingi 2 mahasiswa untuk mengajar di SMKN 1 Sumbawa. Selama 2 bulan mendampingi, ternyata minat murid SMK tumbuh dengan baik, para murid konsisten berlatih setiap jam sekolah berakhir. Ia berharap dengan adanya pembelajaran musik koding, ke depannya akan tumbuh minat musik yang beragam, bahkan tumbuh gagasan-gagasan musik baru dalam dunia musik yang juga relevan dalam situasi kebudayaan Sumbawa.
Epilog
Live coding tidaklah sekadar alternatif sebuah instrumen yang menghasilkan sebuah pertunjukan atau produk seni. Live coding merupakan seni generatif yang membuka kemungkinan baru mengenai pola algoritmik dengan keterlibatan elemen waktu, kontrol, dan upaya kontrol di dalamnya. Pertunjukan seni live coding mengajak untuk membuka sudut pandang baru tak hanya bagi pelaku seni, namun siapa pun yang menonton, untuk ikut serta merasakan proses penciptaannya. Sekaligus bagaimana manusia berinteraksi dengan mesin dan berkomunikasi dengan bahasa yang dipahami oleh mesin dan manusia, mendeskripsikan berbagai hal dengan kata-kata menjadi sebuah karya. Setelah menelaah mengenai live coding, sikap saya adalah menganggap kesalahan yang terjadi dalam sebuah pertunjukan menjadi sesuatu kewajaran dan apa adanya, bahkan suatu kesalahan mampu menunjang menjadi materi musikal dan bersuka cita selama pertunjukan.
Perjalanan saya belajar komposisi musik dan eksplorasi menggunakan perangkat lunak TidalCycles tak lepas dari bagaimana saya bisa menerima persepsi musik baru. Selama proses praktik ini, pemahaman terhadap improvisasi membawa ke sudut pandang yang lebih luas dalam belajar mengkomposisi—di mana yang disusun/dibentuk tidak melulu yang bersifat melodious, atau berupa progresi-progresi harmoni. Lebih lanjut, menerima perubahan estetika prinsip bunyi baik yang harmonis atau yang terdistorsi, apakah kumpulan suara-suara yang bertabrakan masih dianggap harmonis? Apakah suara yang terdistorsi dan memiliki pola-pola abstrak terdengar aneh dan tak wajar? Ini mengingatkan saya bahwa domain estetika musik sangatlah luas. Selama perjalanan itu juga, sikap penerimaan persepsi musik baru memicu kesadaran saya akan orientasi penciptaan musik dalam mengolah rasa dan karsa sampai pada kesimpulan musikal yang saya peroleh. Bagi saya, keleluasan live coding yang unik membawa kita masuk ke ruang yang abstrak, mentah, berbagi kemungkinan untuk menyelami proses-proses eksperimental kreatif dan untuk menemukan aneka pembaharuan artistik menjadi pertunjukan dan penciptaan seni yang dinamis.
Referensi
Blackwell, A. F., Cocker, E., Cox, G., McLean, A., & Magnusson, T. (2022). Live coding: A user’s manual. MIT Press.
Boden, M. A., & Edmonds, E. A. (2009). What is generative art?. Digital Creativity, 20(1–2), 21–46.
Brown, A. R., & Sorensen, A. (2009). Interacting with generative music through live coding. Contemporary Music Review, 28(1), 17–29.
Burland, K., & McLean, A. (2016). Understanding live coding events. International Journal of Performance Arts and Digital Media, 12(2), 139–151.
McLean, A., & Wiggins, G. A. (2010). Live coding towards computational creativity. Dalam ICCC (hlm. 175–179).
Nierhaus, G. (2009). Algorithmic composition: paradigms of automated music generation. Springer Science & Business Media.
Roberts, C., & Wakefield, G. (2018). Tensions and techniques in live coding performance. Dalam Dean, R. T., The Oxford handbook of algorithmic music (hlm. 293–318). Oxford University Press.
Zmölnig, J., & Eckel, G. (2007, August). Live coding: An overview. Dalam ICMC.
Catatan Kaki
- 1
- 2
- 3
- 4Selengkapnya https://www.youtube.com/watch?v=hDphDsFyBYc
- 5Selengkapnya https://algorave.com/about/
- 6Selengkapnya https://www.youtube.com/@Eulerroom
- 7Selengkapnya https://www.youtube.com/watch?v=JUjgZQaRvq4&t=6s