Farah Wardani

Narasumber: Farah Wardani
Waktu Wawancara:
2 Desember 2023
Lokasi: Dewan Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta
Tautan Karya Terkait:
A. Digital Viral

Hoppla

Bagaimana bisa tercetus ide karya Digital Viral di OK.Video Flash 2011?

Farah Wardani

Dulu kan OK.Video mengundang gue, gue tertarik dengan ide Flesh bahwa bagaimana teknologi berhubungan dengan organ. Waktu itu gue suka main Twitter, bagaimana Twitter generate dan memobilisasi opini publik. Gue terpesona dengan interaksi, bagaimana internet punya kemampuan menggerakkan massa dan bagaimana dengan video? Ada Youtube, tapi belum begitu ramai karena sifatnya Youtube masih arsip ya, bukan interaktif kayak Twitter.

Lalu, untuk metode Digital Viral, ngundang kontributor untuk menjadi kurator video. Mereka kirim link video yang mereka kurasi, ada seratusan video waktu itu dan gue memetakan ke tema-tema tertentu. Tapi, tidak ada yang kirim “seks, bayi, binatang”, padahal masa itu mereka menduduki tema teratas di social media dan content sharing. Kemudian, video yang dikurasi dipresentasikan melalui iPod bajakan China yang tersebar di ruang pamer.

Hoppla

Dan lo punya kesadaran bahwa kontributor tahu perkembangan Twitter dan sosial media lainnya. Lalu, kenapa harus pakai iPod China?

Farah Wardani

Dari Decompression gue pakai iPod buat nampilin arsip-arsip dan itu seksi banget. Kita kan masih hardware mindset, kalau zaman sekarang kita bisa pake QR Code dan itu kelar. Gue melihat OK.Video ini masih sebagai exhibition platform, jadi gue gaya gitu pakai iPod meski bajakan China karena terhalang budget pameran. Waktu itu juga iPod sangat keren, transisi dari Walkman.

Mungkin itu juga maksud Flesh, bahkan viral aja masih membutuhkan kepanjangan tubuh hardware. Meski iPod nya mati saat pameran.

Hoppla

Digital Viral mengundang kontributor untuk menjadi kurator, bagaimana kecenderungan lo melihat proses kuratorial pada seni media?

Farah Wardani

Itu juga terkait hirarki pameran, waktu itu gue tersadarkan dengan internet apalagi Gen X yang sekarang berakhir dengan post-liberal, tapi dulu kan kita tumbuh dengan knowledge is power. Pengetahuan itu mahal, spirit bahwa lo tahu hal-hal yang gak banyak orang tahu. Pengetahuan menjadi aset. Generasi gue bergerak di situ, karena dulu terbatas. Hal-hal immaterial ya knowledge membentuk kita, dan itu usai ketika ada internet. Makanya, ketika ada Twitter orang-orang kemudian share pengetahuan mereka yang ternyata banyak diketahui pula oleh para netizen. Mereka bisa kurasi konten atau informasi dari internet, tapi waktu dulu, gue mengkurasi itu harus usaha banget. Sekarang semua orang bisa melakukanya. Nah, itu awal content curating. Gue mencoba membuktikan itu di Digital Viral.

Hoppla

Sebagai pengguna internet saat itu, ada kebiasaan tertentu saat mengakses internet hingga bisa mengidentifikasi atau menyebabkan viralitas konten?

Farah Wardani

Gue udah di IVAA dan kami melihat internet ini sebagai distribusi pengetahuan, kami juga bergantung pada internet khususnya social media Facebook untuk publikasi sekaligus menyebarkan acara-acara. Social media bisa digunakan untuk report engagement, bahkan Facebook waktu itu sudah ada statistiknya. Jadi, gue udah memetakan socmed dan memang ada faktor pekerjaan, bukan sekadar untuk sosial. Pada 2008 sudah ada kesadaran social media bisa untuk beragenda, itu masih sangat efektif untuk menyebarluaskan kerja kami. Gue cukup terkesima, mungkin kesadaran virality nya dari situ. Dari kebutuhan kerja itu, kemudian gue perhatiin jika suatu konten bisa muncul di feed teman, bisa dikatakan mungkin punya radar algoritma radar sendiri.

Gue juga mulai melihat di Twitter, retweet bisa jadi pembicaraan, gue lupa kapan mulai trending topic tapi intinya alat ini menjadi perpanjangan atau sarana suatu fenomena.

Hoppla

Ada impresi atau emosi tertentu ketika melihat konten viral kala itu?

Farah Wardani

Novelty dan sense of discovery

Hoppla

Fenomena paling viral kala itu? Selain bayi, binatang, dan sex?

Farah Wardani

Pada 2010—2011, internet mulai menjadi proto-SJW, misal ngomongin morality, religion, mulai muncul influencer, jadi sarana hal-hal yang generasi sebelumnya belum diomongin ke permukaan. Mulai muncul SJW pas itu kayaknya zaman-zaman SBY. Maksudnya bahwa yang bersifat ke-Islam-an, seperti FPI dan ormas-ormas keagamaan mulai masuk dan jadi gede di internet, sampai akhirnya social media evolves, kemudian kita pilih Jokowi, isu-isu tersebut mulai berakhir; digantikan dengan dagang-dagang layaknya Jokowi yang pedagang. Kita gak ngomongin lagi soal militer, moving away dari represi militer, lalu ke agama, ketakutan-ketakutan public society, mengangkat public civilian yang pedagang, akhirnya kita dagang-dagang.

Hoppla

Pertama kali denger kata viral?

Farah Wardani

Lupa, tapi kayaknya dari Twitter.

Hoppla

Kemudian bagaimana mengidentifikasi viral pada era 2010—2011?

Farah Wardani

Ketika konten direproduksi dan span waktu viral belum kayak sekarang, untuk suatu konten menjadi viral dibutuhkan waktu sekitar satu hari, tapi dia agak lebih lama jangka hidupnya. Satu isu bisa nempel banget. Itu pun jumlah retweet-nya hanya ratusan. Viral jangkauannya masih geer lah. Lucu sih, Dulu gue masih bisa merasakan gullibility dan meyakini bahwa ini penting, kalau sekarang kan asal lewat.

Hoppla

Pernah mengidentifikasi viralitas lewat televisi? Mengingat saat itu dan mungkin hingga saat ini viralitas disiarkan melalui televisi analog.

Farah Wardani

Gue gak pernah nonton televisi sejak tinggal di London. Mahasiswa masih nonton televisi, lalu pindah ke Inggris gue kenal Google, dial-up. Begitu pulang, gak ada kebutuhan televisi dan ketika tinggal sendiri di Yogyakarta 2006, gue gak pernah nonton televisi meski punya televisi tapi itu khusus buat nonton film yang disambungin ke alat. Jadi, emang bener-bener mengidentifikasi lewat internet.

Menariknya, zaman itu algoritma tidak se-obvious sekarang, lo bisa mengidentifikasi atau nentuin isu viral tanpa orang harus menjustifikasi “oh ini huge”, tapi lama-lama internet makin aneh. Lo klik ini, lalu disodorin iklan-iklan. Dulu enggak, kita emang bisa melihat bahwa ini isu penting di masyarakat dan lo tahu ini isu bukan yang dipaksakan ke lo, ada algoritma yang mengatur lo.

Gue juga pernah membunuh akun Instagram gue tahun 2016-an, waktu itu juga belum ada yang kode etik berkomentar buat para netizen atau pembatasan konten, jadi ngomongnya masih norak banget yang berbau NSFW.

Hoppla

Lalu, seberapa penting keberadaan kurator di seni media sekarang ini?

Farah Wardani

Kalau gue masih merasa kurator diperlukan, terutama yang berurusan dengan nilai, preference, subjektivitas tertentu, atau rekomendasi untuk membuat suatu narasi. Kurator menciptakan narasi, narasi dapat diterjemahkan sebagai viralitas, atau juga presentasi pameran. Kurator yang mengontrol narasi. Masih dibutuhkan, tapi porsinya di situ, dan bukan berarti dia dianggap penting banget atau yang wow.

Tapi menurut kalian bagaimana? Gue bilang narasi karena orang bisa bikin narasi, entah dengerin atau enggak. Di Digital Viral memang semua orang menjadi kurator, tapi publik atau vox populi yang menentukan nilai entah narasi, ekonomi, nominal, dll. Kurator, pada akhirnya, tidak memiliki kuasa di situ.

Hoppla

Tapi ide viral lo ini menarik, karena saat banyak produsen, mungkin yang dibutuhkan adalah orang yang bisa membaca. Yang dibutuhkan bukan lagi produser, tapi pengkurasian atau pembacaan. Lo menampilkan itu di 2011.

Farah Wardani

Iya, dan bahwa tindakan itu masih dibutuhkan karena kita punya sikap, daripada kita di-algoritma-kan,

Hoppla

Andaikan dibuat Digital Viral 2, apa yang akan lo baca ketika lo memposisikan produsen dan distributor memiliki power yang sama?

Farah Wardani

Kemarin Karya Normal Baru ada yang menyentuh tapi masih belum ada kesadaran ke sana. Gue melihat kecenderungan seniman-seniman masih senang memainkannya, bukan untuk melawannya with your own narratives. Dan mungkin juga tidak harus seniman, tapi movement itu bisa diciptakan semua orang. Nah, bagaimana kita mengintervensi berbagai kemungkinan internet mainstream? Gue belum bisa menjawab. Sekarang kan kita makin riuh, tapi kayak gimana kita mencoba menantang.

Digital Viral kan tujuannya bukan untuk menjadi viral, tapi membaca Digital Viral di situ dan melihat isu-isu viral. Apakah masih bisa memakai metode itu? Tapi cakupannya makin luas.

 

B. Karya Normal Baru

Hoppla

Bagaimana lo membaca seniman menggunakan internet di masa pandemi?

Farah Wardani

Karya Normal Baru cukup menarik, ada pertentangan mindset antara karya yang bersifat seni rupa dan praktis. Tapi karena ada batasan di situ, gue melihat internet masih digunakan sebagai ruang strategi dan presentasi. Kecenderungan karya di internet, sekali lagi balik ke pertanyaan “emang harus mindset seniman?” Jadi, jangan membebani seniman, kalau mereka maunya pameran, ya silakan. That’s fine. Malahan kita harus bertanya bagaimana orang-orang biasa kayak kita yang non-techpreneur, digital activist, atau seniman media menantang teknologi? Mungkin banyak mitos juga tentang seniman media, internet. Kita harus memperbaiki sikap kita. Kita hacking, mengintervensi, tapi sejauh mana kita mampu.

Kalau seniman, mungkin kayak Oomleo, yang berhenti cuma menggunakan Adobe Photoshop 7, nah sejauh mana lo memilih untuk menggunakan teknologi tertentu? Itu bisa disebut intervensi. Zaman Orde Baru itu gila, orang-orang jadi materialistik, sekarang juga mirip, bedanya dulu analog sekarang digital, mainstream, konsumtif, blink-blink dengan segala kemunafikan atau propaganda. Sustainability, ekosistem itu juga propaganda. Dulu ada kekuatan militer, sekarang kekuatan korporat.

Hoppla

Ada harapan atau ekspektasi tertentu ketika membuat Karya Normal Baru?

Farah Wardani

Gue setiap mancing seniman entah di ruang mana pun akan selalu melihat sejauh mana mereka mampu menaklukkan ruang. Banyak kurator dan seniman yang gak bisa menaklukkan ruang. Meski bisanya pindah medium, itu gak masalah. Kita buka kemungkinan mereka bikin apa, menariknya seniman kita selalu berangkat dari isu

 

C. Perspektif Pengarsipan dan Pengembangan Teknologi

Hoppla

Internet dan kaitannya dengan pengarsipan menjadi isu yang sangat menarik dan santer diperbincangkan. Kaitannya dengan blockchain, copyright dan bagaimana metadata terus berkembang secara eksponensial. Bagaimana melihat kecenderungan pemanfaatan teknologi ini? Apa ada strategi pengarsipan ke depan?

Farah Wardani

Kalau IVAA, boleh dibilang kita settle archiving-based community. IVAA selain arsip kepemilikan Yayasan Cemeti, orang kan ngasih ya dan IVAA memfasilitasi dokumentasi, ada komunitas seniman yang percaya dengan IVAA. Kami lagi ngobrolin dengan board sekarang, ke depannya sudah cukup untuk archive collecting, kita gak mengoleksi ke depan lagi. IVAA akan berfungsi sebagai konsultan substansi, kami mempelajari strategi pengarsipan lebih sebagai pengetahuan. Kami juga bukan praktisi secara sistem, karena selama ini gerilya. Jadi lebih ke fasilitator posisinya. Untuk mengarsipkan secara blockchain, IVAA gak akan ke situ, biarkan itu dilakukan oleh orang lain.

Jangankan membicarakan pengarsipan blockchain, Kemendikbud aja punya Data Pokok Kebudayaan sementara oral history archiving di rural area aja belum kelar-kelar. Banyak objek kebudayaan yang hilang begitu saja, IVAA bisa membantu fasilitator untuk mengintegrasikan arsip. Dari situ, kami memberikan rekomendasi.

Hoppla

Apa setelah digital archiving? Kita sudah melalui digitisasi, bergulat dengan digitalisasi, dan mengejar inovasi digital.

Farah Wardani

Kita kan udah bisa mengarsipkan sendiri, everybody is archivist now. Gue lihatnya relasi kuasanya bagaimana, karena gue berangkat dari sejarah, apa yang kita arsipkan sekarang tetap akan ada kuasa. Misal, arsip yang masuk ke IVAA, kan kita menentukan arsip mana nih yang masuk. Sekarang kita bayangin, semua orang pengarsip dengan mass archiving dan menaruhnya di internet, ke depan kayak gimana ya orang melihat arsip. Apakah Lambe Turah bisa menjadi arsip? Bagaimana archivist menjadi victor?

Kalaua analog kan gampang, dari analog aja ada kliping banyak, itu kan menentukan legacy dan prominence dia dalam sejarah. Ke depannya, orang akan melihat sejarah adalah apa yang dianggap netizen penting. That’s disturbing. Kalau pun memanfaatkan algoritma, apakah dia akan long-lasting atau hanya akan menjadi kuburan? Pertayaannya, seberapa prominence kah arsip lo? Dan apakah orang-orang kayak kita tercatat legacy? Bagaimana rekam jejak digital menjadi rekam masyarakat ke depan. Apakah kita punya tanggung jawab ke depannya, itu terserah.

1600 736 Anggraeni Widhiasih
Ketik di sini ...

Preferensi Privasi

Ketika Anda mengunjungi situs web kami, informasi mungkin disimpan melalui peramban Anda dari layanan tertentu, biasanya dalam bentuk cookie. Di sini Anda dapat mengubah preferensi Privasi Anda. Perlu dicatat bahwa memblokir beberapa jenis cookie dapat mempengaruhi pengalaman Anda di situs web kami dan layanan yang dapat kami tawarkan.

Untuk alasan kinerja dan keamanan, kami menggunakan Cloudflare
required

Situs web kami menggunakan cookie, terutama dari layanan pihak ketiga. Tentukan Preferensi Privasi Anda dan/atau setujui penggunaan cookie oleh kami.