Hoppla
Bisa ceritakan proyek Universal Iteration?
Bob Edrian
Ada 6 tapi seniman, tapi format penayangan secara 3 minggu itu hilangkan. Kita menayangkan langsung berbarengan semua dengan durasi kurang lebih 1 tahun. Selama percobaan Universal Iteration yang pertama banyak masukaan juga gitu, kenapa sih harus ada durasinya, juga sebenernya yang gue sayangkan dari penyelenggaraan yang pertama adalah archiving-nya nggak ada, karya-karya itu. Karena kaitannya juga gitu sama kontrak-kontrak dengan seniman bahwa karyanya akan ditayangkan selama durasi tertentu, setelah itu nggak bisa ditayangkan lagi. Jadi, menarik juga sih ada problem di wilayah administrasi gitu ya antar institusi dan seniman yang membuat institusi jadinya cuma cuma megang dokumentasi sekian detik. Gimana mengaktivasi si karyanya, nah ini masih berlangsung sampai bulan Mei tahun depan.
Hoppla
Ini kan menarik sebenarnya idenya yakni memindahkan space ke digital, yakni internet. Kalau misalnya dilihat di sepanjang dua tahun belakangan ini itu kan praktiknya pasti banyak banget ya
yang kayak gitu ya karena kita nggak bisa ngumpul gitu. Menurut lo cukup nggak hanya sekedar memindahkan? Ada yang bisa dilakukan nggak dari penggunaan digital dalam konsep eksebisi art?
Bob Edrian
Sebenarnya yang ditawarkan Universal Iteration pada saat itu adalah kita, bukan menyiasati, mengkritisi juga sih, bagaimana pameran virtual tuh dianggapnya adalah alternatif dari pameran fisik. Makanya, akhirnya yan ditelurusi waktu itu net art gimana ya, banyak referensi ngelihat ngecek, misalnya Extended Asia-Hoppla. Misalnya, ini ada bentuk lain yang perlu perlu kita telaah lagi gitu, ketimbang bicara soal pameran virtual. Makanya, si Universal Iteration itu penyebutannya bukan pameran virtual, bukan pameran di dunia maya, tapi memang pameran seni media berkala, kalau dipanjangin pameran seni media berbasis layar dan internet memang pengen menekankan bahwa ini kita bukan membuat sebuah pameran yang menjadi alternatif dari pameran fisik.
Memang itu jadi ranah lain karena sampai persoalan pembukaan itu kita menyebutnya bukan pembukaan tapi kayak peluncuran. Itu hal-hal kecil yang akhirnya jadi menarik itu, jadi sekarang dipertanyakan lagi apakah perlu ada sambutan-sambutan seperti halnya pameran fisik, apa perlu diluncurkan saja cuma perlu counting down terus kita publikasi.
Jadinya, turunannya berbeda dengan susunan program untuk misalkan pameran fisik yang mengikuti. Jadi macam-macam gitu sekarang.
Hoppla
Kalau lo melihat karya-karya sebelum pandemi atau yang orang-orang sebut post-pandemi meski pandemi belum berakhir, lo melihat ada kecenderungan baru dari seniman-seniman itu dalam melihat pandemi atau sama aja?
Bob Edrian
Sama aja sih. Atau sebeneranya sama saja akselerasi penggunaan internet kemudian jadi banyak ranah di kalau kita bicara seni rupa gitu yang mencoba mencari alternatif nya, market gitu ya, artfair juga berusaha buat dibikin terus secara online, pameran fisik juga diupayakan buat muncul secara berbeda, kalau secara kekaryaan yang paling permukaan mungkin ya ada seniman-seniman yang kemudian mengangkat mengangkat pandemi ya, kalau secara umum mungkin gue melihatnya lebih ke ada waktu buat buat memikirkan kembali secara kolektif gitu karena ini kan problem rame-rame. Problem rame-rame yang menarik memunculkan kolektif yang “kayaknya harus bareng-bareng deh menyelesaikan problem yang rame-rame ini”. Akhirnya, muncul karya-karya baru mungkin karya kolaboratif yang banyak. Sejak pandemic gitu ya.
Hoppla
Kalau dari artistik sendiri, lo melihat pattern baru?
Bob Edrian
Pattern baru, ehm, kalau bicaranya sekkarang anggaplah pandemi mereda, kan orang berusaha bikin pameran lagi. Tapi masa menariknya di masa yang kritis itu di 2020–2021. Kan banyak orang yang ngulik masa itu, akhirnya karya-karya banyak alternatifnya hingga banyak market-nya baru ya, kemudian orang melihat ada NFT dll. Jadi, memunculkan banyak orang mengulik karya-karya baru. Itu aja sih kayaknya.
Hoppla
Dari yang lo omongin, bagaimana lo mendefinisikan apa itu new-art dan karya-karya apa yang bisa masuk ke segmentasi itu? Kapan itu bisa dibilang net-art?
Bob Edrian
Kalau konteksnya new media… erat kaitannya dengan teknologi dan problematik kita menyebut istilah media baru karena new-nya tuh ada batasannya. Mungkin dulu belum ada internet, sekarang ada internet jadinya internet itu new media. Ketika media internet sudah digunakan, jadinya new-nya apa. Tapi, kalau bicara yang spesifik net-art yang memang gue tekankan di Universal Iteration, gimana seniman tidak membicarakan ruang-ruang fisik, tapi pembicaraan ruang yang di layar itu.
Berapa lapis buat orang bisa mengakses itu? Apakah dia harus berapa kali klik? Berapa lama yang harus dibuka? Itu ngomongin friction, apakah dia memanfaatkan third party lain? Apakah pas dia klik ini dia harus nyambung ke Google Drive? Jalur-jalur itu yang jadi membedakannya ketika kita bicara soal perbandingan sama Karya di ruang fisik. Di ruang fisik kita bicara misalkan ya udah produksi material, kemudian gimana kita logistik yang kita bawa ke ruangnya, terus kita display menyesuaikan sama kondisi ruangnya.
Tapi kalau di layar, possibilities-nya tuh jadi jadi berbeda dan obrolannya gini lumayan menarik. Sampai ada bahasan kurator perlu gak sih mikirin friction website-nya gitu, dari laman utama apa yang harus dilihat, terus pengunjung itu ngeklik apa buat sampai ke karyanya gitu. Sempet dibicarakan, karena biasanya kurator misalkan mengatur display di ruangan, ini kan websitenya adalah ruangannya gitu. Akhirnya, juga ikut ikut ngecek-ngecekin figma desainer gitu ya. Ini jalurnya enaknya gimana nih buat efisien dan lain-lain. Ada bahasa-bahasa yang berbeda sih ketika kita bicara soal net-art.
Hoppla
Jadi, bisa dibilang fungsi kurator itu rada shift ya?
Bob Edrian
Sebenernya gak shift terlalu jauh karena dalam satu ruang misalkan, kita memikirkan flow-nya pengunjung masuk dari mana, mungkin dia diharapkan ketemu karya yang mana dulu, beloknya ke mana dan lain-lain.Di website kita menemukannya juga jadinya dari homepage, lo mau ngasih lihat semua karyanya, kasih lihat satu-satu, makanya Universal Iteration I mencoba skema itu, gimana karyanya kita keluarin satu-satu deh jadi lorong itu. Dan durasi, orang selama 3 minggu cuma bisa mengakses karya itu doang gitu.
Dia harus kayak nungguin screening gitu, yang paling terakhir kayakya karya Tmorama, kalau lo mau lihat karya Tmorama meski dipublikasikan dulu, lo baru bisa lihat nanti pas di bulan November, karena itu idenya juga persoalan menunggu itu juga, kayak dulu TV belum ada internet, kita nonton TV, jadwal tayang nungguin waktu. Sekarang nonton film lo buka Netflix lo nonton apa pun kapan pun lo bisa. Sempet mencoba memainkan itu, tapi intinya playfulness nya masih sangat menarik sih si net-art ini, meski sejarah perkembangan awal kalau secara global, menarik juga itu menjadi ranah-ranah yang sulit ditembus sama-sama kuasa karena mereka mungkin males juga menelusuri itu, memanfaatkan Deep Web-Dark Web buat propaganda lah. Nah sejarah itu juga menarik buat ditempelkan ke net-art.
Hoppla
Tadi kan lo bilang akselerasidi zaman pandemi, itu kan saat-saat yang populer di blockchain baik currency nya atau pun praktik seninya, kalau lo melihat blockchain itu sendiri gimana? Apakah lo melihat ada masa depan kah? Atau cuma hype sementara aja?
Bob Edrian
Blockchain dan cryptocurrency itu kan memang fenomena bukan spesifik di seni, itu fenomena ekonomi. Tergantung, apakah ada seniman yang masuk ke wilayah itu, apakah seniman concern dengan persoalan blockchain, kemarin gue sempet dikasih liat karya Ian Cheng di Berlin, fisik, terus orang datang, orang nggak print tiket. Di tiketnya itu ada ada angka yang sebenernya pengunjung nggak tahu angka itu buat apa. Jarak berapa hari setelah pamerannya ditutup beberapa minggu, si pengunjung ini dapat email buat ngakses filmnya Ian Cheng di website yang baru bisa diakses, dibukanya pakai kode itu. Setelah pakai kode itu, dia sambungin lagi. Karena tiketnya ini NFT, jadi dia harus masuk ke e-wallet buat nonton itu.
Ini kan akhirnya ada seniman yang memainkan skema platform ini. Nah, kalau kita melihatnya sebagai yang ramai itu kan kita bisa menyebutnya sebagai hype. Seniman yang kita kenal sebagai seniman misalkan terus main juga di HEN (Hic et Nunc 101) atau mana, platform untuk kemudian jual beli NFT itu menurut gua kebebasan seniman buat milih platform, gue mau pameran di galeri mana kek. Kalau dilihat dari masa depannya itu kan blockchain itu lebih dekat kaitannya dengan security, bagaimana akhirnya satu data kepemilikan itu bisa-bisa kemudian kita bisa terjaga kepemilikannya, persoalan copyright, persoalan pembajakan. Justru blockchain bisa jadi pembahasannya di wilayah-wilayah IT, hak cipta, baru bicara seni kalau ada seniman yang merespon itu. Bisa jadi isu, suatu material yang bisa dimanfaatkan sama seniman.
Hoppla
Kan kita ngomongin NFT, kalau misalkan kita ngomongin virtual space, sebenarnya NFT seakan-akan bertindak sebagai galeri tanpa perantara orang lain. Lo melihat itu sendiri gimana? Apakah itu kecenderungan kontemporer?
Bob Edrian
Yang menarik dari platform NFT sebenernya adalah mimpi-mimpi buat desentralisasi itu. Tapi kan kita masih susah buat tidak menerjemahkan cryptocurrency dengan mata uang kita ya. Ethereum berapa rupiah sih, Tezos berapa Rupiah sih. Ketika kita masih membahas itu kan kita nggak ngomongin desentralisasi, desentralisasi terjadi kalau kita, misalkan gue suka ama iPad lo, gue beli, satu Ethereum ya, kirim aja. Lo dah gak mikir satu Ethereum berapa Rupiah. Bentar gue lihat dulu di Tokopedia harganya berapa rupiah. Tapi kan, agak utopis ya, menurut gue itu jadi bibit menarik orang sudah mulai berbicara tentang currency yang ada.
Kalau persoalan galeri, itu nggak apple to apple sih, kayak Instagram aja cuma lo bisa transaksi aja di situ dengan cryptocurrency. Karena kalau kita bicara galeri, ada skema lain nih. Di galeri ada artdealer tertentu, sementara ini tuh apa sebutannya marketplace, kalau kita samakan misalkan platform kayak HEN (Hic et Nunc 101) atau Open Sea sama kayak Tokopedia, jadi bisa belanja di situ, cuma mata uangnya berbeda dan yang dibelinya pun bukan bukan barang fisik. Yang menarik lainnya adalah itu yang dibelinya adalah misalkan benda virtual itu di wilayah itunya sih yang menarik.
Hoppla
Gue cukup tertarik dengan Universal Iteration ya. Yang gue ketahui iteration itu berulang, ada pattern-nya, ada IP yang berulang, bentuk berulang. Kalau lo melihat net-art, apa ada kecenderungan yang berulang? Apakah form berulang karena kemudahan teknologi? Atau memang sudah jadi universal atau template?
Bob Edrian
Sejujurnya yang ditekankan oleh Universal Iteration adalah perilakunya. Bagaimana manusia behave sama teknologi. Satu bukunya Basar Shumon, Douglas Coupland, dan Hans Ulrich Obrist (The Age of Earthquakes: A Guide to the Extreme Present, 2015) dia memperbaharui bukunya Marshall McLuhan tahun 67,The Medium is the Massage, buku itu kan belum membahas internet dan kalau misalkan buku itu membahas internet seperti apa, kemudian muncul bukunya Obrist dkk disitu. Ada satu statement bahwa manusia itu nggak pernah berubah yang berubah itu teknologi perubahan teknologi itu bukan mengubah manusia tapi mengamplifikasi sifat-sifat dasar manusia. Yang menarikplatform kayak media sosial itu mengamplifikasi karakteristik aslinya manusia. Manusia dari dulu memang suka show off, dia suka sebenarnya kalau dirinya digali kehidupannya. Media sosial tuh mengamplifikasi beberapa orang yang punya kecenderungan itunya. Kemudian banyak tendensi untuk memperlihatkan dan posting perilaku yang kemudian disebut iteration karena ini dilakukan lebih dari satu orang lebih, dari satu kelompok, dengan kita menyebutnya ini adalah perilaku yang cukup universal.
Hoppla:
Tapi dari pandangan artistik lo ada persamaan form gak?
Bob Edrian
Seni media atau net-art?
Hoopla
Terserah lo mengidentifikasi itu bagaimana?
Bob Edrian
Kita bisa melihatnya begini, mereka menggunakan teknologi media yang kemudian produknya dijual secara massal, misal pelukis sampai hari ini kan masih menggunakan kanvas, tapi kita melihatnya bahwa seni lukis itu berulang karena dia bermain di ranah visualnya, di wilayah seni media pasti ada perulangannya. Ada seniman yang cenderung menggunakan proyektor ada yang mungkin lebih memilih mapping, device-nya, aparatusnya pasti berulang. Tapi isunya yang mungkin itu bisa macam-macam, dia memang isunya kemudian mengkritisi medianya itu sendiri, ada yang cuma menggunakan media itu sebagai media presentasi aja, tapi ada juga yang kemudian mengangkat isu-isu tertentu yang menarik.
Hoppla
Kalau di net-art?
Bob Edrian
Yang menarik adalah banyak platform mungkin apps, sebelum gue berinteraksi sama seniman-seniman yang memanfaatkan apps ini, oh ada ya apps buat taking notes, scheduling, dan lain-lain. Itu kan akhirnya menjadi wilayah nguliknya si seniman, dia nggak cuma dari misalkan gue mau memanfaatkan Google Drive, memanfaatkan ini. Itu yang bikin jadi sangat ramai dan mungkin jadi cukup memusingkan buat user ya buat audiensnya, harus ngeklik ini aku harus pindah ke sini ya. Cara berperilaku nya gimana ya di platformnya. Kemungkinan ini yang bisa jadi nggak iteration, tapi upayanya buat improving. Kalau di ranah Matematika itu istilahnya algoritma, dia mengulang tapi untuk mencapai satu titik improvement. Nah, penggunaan apps yang berjuta juta ini ini untuk kemudian memunculkan kesedaran baru kalau si karya punya karakter yang berbeda.
Gimana sih kita berinteraksi sama layar, gimana sih kita berinteraksi sama platform dan aplikasi yang lain. Upayanya memang iterasi, peruangan, tetapi hasil akhirnya dalam bentuk visual, dalam bentuk perilaku, kayak versi usernya.
Hoppla
Selain behaviour, lo ada mengidentifikasi misal warna yang sama, pattern semacam itu? Atau mungkin banyak yang menggunakan hype pixel art?
Bob Edrian
Menurut gue trend menjadi makin sulit ya untuk menelusuri. Kalau kita lihat karyanya kan beda-beda, tapi platformnya yang hype. Hari ini juga menurut gue di luar, gue juga udah cukup bosan dengan mapping, proyeksi apa kita perlu mencari alternatif lain yang mungkin perlu didorong itu, perulangan itu ada, dan warnanya kadang seni media itu kalau kita bikin pameran seni media udah ada yang pakai ini bahasanya LCD yang mapping dong, sound udah nih, VR dong, ada-ada bahasa-bahasa yang berulangnya gitu. Kita kemudian terbiasa mengkategorisasikan karya-karyanya based on teknologinya. Gitu kan itu jebakan seni media ya lo jadi bicara soal aparatusnya.
Hoppla
Jadi, lo mengidentifikasi net-art ini dalam kaitanya dengan interaksi dan materialnya. Tadi kan nyebut juga hype, di content creating culture, aplikasi semacam TikTok filter AI, apakah bisa disebut sebagai seni?
Bob Edrian
Kalau dia diolah sebagai seni, bisa.
Hoppla
As long as itu dilabeli sebagai seni?
Bob Edrian
Bukan
Hoppla
Bagaimana batasannya?
Bob Edrian
Batasannya sebenarnya ini problem yang juga terjadi di zaman dulu ya. Teori institusional yang akhirnya ada objek, satu objek yang sama bisa jadi kalau ditaruh di rumah lo sama satu ditaruh di museum itu jadi dua objek yang berbeda. Yang satu adalah karya seni, itu masih bisa kita ambil sih gagasan itu. Gimana lo menempatkan karya-karya tersebut dan siapa yang kemudian membuat. Intensi itu masih penting, intensi individunya, mau nggak mau ada sedikit persoalan reputasi. Apakah memang dia kemudian banyak berinteraksi dengan dunia seni yang berpameran tadi dia paham berinteraksi itu bukan berarti dia punya jejaring, punya teman, tapi dia punya pisau bedahnya, dia tahu cara mainnya. Dia udah pernah di medan seni atau cara main di medan seni. Oh ini dealer, kolektor, kurator. Kalau dia udah tahu cara mainnya mau dia, misalkan, dia bikin karya mau ditaruh di apa namanya galeri, mau ditaruh platform kayak TikTok, selama dia intensinya bikin karya itu kan penting.
Hoppla
Tapi itu karya gak video misal Bunda Corla? Atau video viral lainnya? Lalu, apa yang membuat lo juga mengidentifikasi suatu karya selain intensi dan penempatan ruang?
Bob Edrian
Nah, yang menarik tadi ya persoalan penempatan karya. Kalau karya memang diintensikan hidupnya di TikTok, ada kesadaran di situ. Misalnya, Yovista, dia bikin karya filter, karya dia harus hidup di Instagram. Ketika dia diproyeksikan di ruang pamer, bisa jadi karya dia enggak relevan. Tapi, dia punya intensi bahwa karya dia filter ini memang karya seni.
Hoppla
Apa itu internet?
Bob Edrian
Buat gue dia alat bantu untuk berjejaring, berjejaring ini kaitannya nggak cuma persoalan komunikasi antar manusia itu, tapi juga komunikasi manusia dengan alam. Maksudnya lu bisa melihat banyak tempat denganmemanfaatkan internet. Tapi, secara umum, internet alat bantu harus.
Hoppla
Ini kan ada pengalaman layar ya, ketika lo melihat karya di layar, bagaimana pengalaman lo?
Bob Edrian
Kalau gue harus membandingkan melihat karya seni di ruang fisik dan di layar, di layar banyak paketannya. Dalam artian lo siap apakah karya itu siap dengan buttonnya, apakah kita aware misalnya buka gagang pintunya, kalau di layar kan ada pointers, terus button. Itu bahasa yang berbeda, tapi yang menarik adalah pas gue melihat karya di layar ya gue harus mengubah dulu cara pandang gue melihat karya di ruang fisik dan layar. Kalau di layar, gue harus siap dengan pengalaman gue berhadapan dengan layar, dengan interface yang macam-macam. Ada bahasa yang baru sih yang buat gue menarik.
Hoppla
Jadi, bahasa bisa dianggap sebagai gap yang harus diantisipasi?
Bob Edrian
Gue melihat bukan gap ya, gue malihatnya sebagai bahasa yang lain sih. Karena lo adaptasi aja sih, kalau di layar lo pernah berhadapan dengan interface tertentu.
Hoppla
Tapi gimana lo menjembatani itu supaya pengalaman lo menyeluruh?
Bob Edrian
Itu sebenernya yang menjadi dialog, ketika ngobrolin karya seniman yang menggunakan layar, ketika dia memunculkan interface-nya, button atau interface kayak gini apakah cukup familiar sama banyak orang atau memang pengen orang tuh bereksperimen sama layar lo. Dialog itu yang jadi menarik karena hampir pasti interaktivitas itu jadi poin yang paling dominan karena kalau ama layar, selain misalkan karya layar yang lu itu video yang bisa nonton, tapi kalau karya net-art ini mah lo harus bisa ngeklik. Itu kan interaksi-interaksi jadi poin presentasi, jadi sangat tinggi interaksi aktivitasnya di karya-karya berbasis layar.
Hoppla
Bagaimana lo mengapresiasi bentuk-bentuk net-art yang semakin banyak? Apalagi penggunaan teknologi juga berdampak terhadap lingkungan.
Bob Edrian
Menurut gue perlu dipandang dari dua sisi. Di wilayah artistik, gue sangat mendukung dan mengapresiasi, ini bahasa baru dan memperkaya pemikiran baru. Ketika banyak penulis yang menuliskan karya-karya kanon lainnya, mungkin suatu hari lo harus bisa menulis kanon di dunia maya. Itu juga bisa menarik. Tapi, yang dibahas di seri Universal Intermission juga efek dari jejak karbon. Bagaimana akhirnya server, penggunaan internet berlebih salah satunya NFT ada efek terhadap lingkungan.
Gue pikir jadi dua hal yang berbeda ketika lo mau mendorong artistik atau misalkan kita bicaranya sustainability, kelangsungan hidup. Apakah karya-karya konvensional tidak ada limbah nya ada juga tapi kan kita nggak membahas itu ya. Perlu porsinya aja sih, maksudnya sampai titik ini pun kita enggak pernah ada standar seberapa tinggi adiksi, angka-angka adiksi itu di titik berapa, sampai kita dibilang addicted to internet. Kita nggak tahu, mungkin kita cuma bisa ngeliat di smartphone ada pemberitahuan bahwa screen time hari ini sekian jam, cuma kita nggak tahu excessive-nya seberapa banyak.
Dari situ gue sih pengennya di Intermission siapa pun yang kemudian mengakses itu at least ada awareness-nya, ada manfaatnya loh sebenarnya. Lo mau concern atau nggak, itu kan balik lagi itu individu masing-masing. Tapi memang ada karya saat itu, dari XX Lab “(R)emission” yang ahkhirnya mendorong lo sadar lo menghapus data sekian gitu ya, bakal dikonversi jadi menanam pohon di mana. Itu kan paling literal. Menurut gue karyanya emang literal, tapi perlu untuk bicara soal emisi. Kalau gue hapus sekian, gue tanam berapa tanaman ya. Karena terus berinteraksi dengan layar, kita kerasa gak sih. Kalau gue scroll berapa image, berapa temperaturnya. Karena efeknya gak langsung, jadinya susah bagi manusia untuk engage sama isu itu.
Hoppla
Seberapa penting peran kurator dalam net-art? Ketika sekarang semua orang bisa menjadi kurator.
Bob Edrian
Di wilayah kontekstualisasi serangkaian pilihan karya, kurang lebih posisinya masih sama. Penting atau tidak pentingnya tergantung konsep pamerannya ya. Entah pameran yang dikurasi atau enggak, menurut gue sama pentingnya kalau dia menawarkan konsep yang menarik gak apa-apa juga.
Hoppla
Berarti hanya konsep?
Bob Edrian
Tawarannya juga. Kalau di net-art, user interface-nya yang menyusun jalur ke karya. Kan bisa web developer atau web designer yang melakukan itu, tapi kesadarannya berbeda.
Hoppla
Kesadaran yang bagaimana?
Bob Edrian
Misal, kalau web designer bicara soal efisiensi, berapa friction-nya, apakah dia terlalu rumit buat pengunjung? Tapi kalau misal kasus kemarin, misal karya Farhanas, friction-nya banyak. Satu, batasannya cuma bisa di Windows, dia nggak bisa OS. Lalu, dia pindah ke satu platform, buat membantu men-download aplikasi. Dari website, diklik, masuk ke email user, di email ada link untuk men-download file-nya karena ukuran file agak lumayan besar. Habis itu, di-install dulu aplikasinya. Kalau misalkan kesadarannya gimana mencari cara yang enggak ribet, harus ini itu, tapi saat itu cara berpikir gue adalah perlu nih jalur keribetan ini karena ini yang dialami juga oleh kita di internet.
Ini juga terjadi di karya Rizki Lazuardi di Intermission yang dia munculin filmnya dan di tengah-tengah banyak iklan judi bola dan lain-lain. Secara settingnya menarik gitu, ada kesadaran fenomena internet bahwa orang-orang tuh entah kenapa berusaha keras buat bisa mengakses satu film walaupun misalkan friction-nya terlalu banyak. Misal, lo ngetik dikit iklan, enggak apa-apa gue close muncul lagi iklan, yang penting gue bisa nonton film itu. Jadi, aspek-aspek itu kan bisa jadi nggak ditawarkan sama web designer. Bagi saya itu bisa begitu dari kurator, mungkin biar senimannya sendiri kontekstualisasi. Tapi, itu masih pekerjaan,yang berperan penting dari kurator buat bisa memberi konteks dari perhelatan.
Hoppla
Tadi kan kita ngobrol soal teknis, tapi konteks macam apa yang ingin lo tawarkan? Dimana positioning kurator net-art?
Bob Edrian
Gue gak bisa nyebut kurator net-art. Misalkan dalam kasus gue yang gue bikin aja, Universal Iteration I, kita ngobrolnya global behavior berhadapan dengan internet. Yang kedua, kita tawarkan yang lain. Oke, ini kita bicara soal penggunaan internet, ada efeknya gak sih? Makanya yang kedua, gue sama Mas Asikin Hasan, berbicara soal residu internet. Itu konteks yang akhirnya mengikat si 6 seniman ini daam satu pemahaman yang sama. Kalau bicara soal residu, gue akan menawarkan karya ini. Jadi, ada tawaran konteks. Lo melempar tema lah, membahas apa.
Hoppla
Melempar wacana?
Bob Edrian
Iya, itu juga.
Hoppla
Lalu, apa itu net-art?
Bob Edrian
Karya yang hidupnya di internet.
Hoppla
Hanya di internet? Dengan menggunakan material dari internet?
Bob Edrian
Bukan material internet, tapi dia hanya bisa hidup di internet. Maksudnya adalah karya itu menjadi tidak relevan jika kita keluarkan dari layar. Misalkan, ada satu karya yang esensinya hidup di layar, tapi ada yang “gue pengen di ruang fisik nih, gue proyeksikan”, enggak bisa. Kalau diproyeksiin, konsepnya bakal berbeda, dia harus lo akses di situ. Karya-karya misalkan generasi awal net-art, kan pakai GIF, apakah dia akan relevan kalau lo print? Atau lo buat hologram terus lo pajang, kan enggak. GIF harus hidup di situ, di layar dan internet.
Hoppla
Berarti enggak ada kemungkinan untuk menjadi hibrid?
Bob Edrian
Nah, hibrid menurut gue itu akhirnya menjadi persoalan. Bahasa-bahasa hibrid-hibrida, hari ini tuh terutama dicetuskan kaitannya dengan pameran, ada upaya-upaya buat menghadirkan “oke, ini adalah pameran virtual”, itu kan nggak virtual, ada yang 360, dari ruang fisik dipindahin ke digital, itu kan kita gak bisa sebut itu net-art. Kita nyebutnya ya mindahin aja. Tapi, kalau net-art itu ya memang karyanya di situ, kalau mau ditampilkan di ruang fisik, ya lo ditampilin pakai layar.
Hoppla
Bisa ditampilkan di layar?
Bob Edrian
Bisa, kan interaksinya tetap di sana.
Hoppla
Berarti tetap harus ada interaksi?
Bob Edrian
Iya, interaksinya maksudnya olahannya mungkin digital, kode biner 1 dan 0. Itu esensinya net-art.
Hoppla
Kalau karya digital kita print out, terus kita pamerin di ruang galeri, apakah tidak relevan?
Bob Edrian
Jadi karya yang lain. Sebenernya tergantung senimannya, kalau senimannya punya kesadaran bahwa karya gua net-art, nggak bisa hidup dimana pun selain di internet dan layar. Dia nggak bakal mengambil risiko buat ini bakal gue print menjadi karya lain. Tapi, kalau dia mau bicara soal multiplikasi dari dunia virtual, akhirnya ada kesinambungan antara yang virtual sama yang fisik, lo bikin virtual bisa di internet, tapi dia juga bisa nge-print di dunia fisik dan ada dua-duanya. Balik lagi intensi tadi sih, senimannya berpikir apa sih. Kalau dia bener-bener dalam kepalanya kosong aja gitu ya, bikin digital terus ada yang nawarin di print “tetap karya lo kan”, “ya iya sih print aja deh”, dia nggak ada kesadaran itu.Punya kesadaran bahwa hidupnya di sini, secara gagasan itu dia enggak bisa keluar dari rumahnya dia, kalau keluar itu menjadi tidak relevan. Yang penting kesadaran itu sih, dan kita harus ngebahas dari kasus karya sih.