AntiKolektifKolektifKlub

Narasumber: AntiKolektifKolektifKlub
Waktu: 17 Mei 2024
Lokasi: Zoom

Hoppla

Bagaimana proses bikin akun AntiKolektifKolektifKlub?

AntiKolektifKolektifKlub

Prosesnya postingan pertama tahun 2018. Awalnya iseng lah, itu juga dari fenomena akun meme sekitar awal-awal hampir di setiap lini keprofesian dan macam-macam lini itu pasti ada akunnya, misal kayak desainer ada, terus ada PNS. Ada akun meme-nya yang mencoba membawa humor-humor, isu, atau pun sekadar update informasi melalui bentuk meme. Waktu itu dibuatnya tuh sesuai dengan namanya (AntiKolektifKolektifKlub), merespon spesifik membicarakan kolektif. Cuma ke sini audiensnya makin meluas, jadilah sampai sekarang yang dibicarakan bukan cuman kolektif, tapi medan seni rupa lokal-global dan sebagainya. Terus bentuk-bentuknya juga reaktif lah, kayak lebih ngikutin audiens. Audiens sukanya apa ketika ngobrol dan sebenernya echoing dari audiens juga sih untuk konten. Terus kalau tujuan sih nggak, selain iseng.

Hoppla

Inget nggak post pertama bahas apa?

AntiKolektifKolektifKlub

Paling basic konten posting pertama itu yang kupu-kupu. Ngomongin komposisi kolektif, model meme nya kupu-kupu “is it collective?”, pakai template itu. Kupu-kupunya isinya ada seniman gagal, kurator gagal, periset gagal blablabla berkumpul di kata kolektif. Itu postingan pertama. Terus habis itu postingan selanjutnya agak chaos sih, yang awalnya tuh personal karena memang sedang gencar-gencarnya di kolektif dan mulai merasa kok agak aneh dan lain-lain.

Jadi kayak tahun pertama itu agak-agak secara konten, agak kocar-kacir lah karena bentuknya raw dan sebagainya, karena personal banget juga. Sampai di titik audiensnya mulai rapi, mulai agak rapi…agak-agak hati-hati, karena sebelumnya drop naming ya, itu agak kasar lah. Kasar dalam artian ravage baik dari desain konten dan sebenernya ini ngarahin ke siapa, audiensnya juga gak dipikirin. Tapi ke sini, lebih soft lah.

Hoppla

Bagaimana pandangan personal lo kepada kolektif seni rupa?

AntiKolektifKolektifKlub

Bagus, lanjutkan! Sebenernya, secara konsep kolektif di Indonesia spesifik di seni rupa memang beda kalau kita ngomongin kolektif. Ketika kita ngomongnya kolektif di seni dengan luar seni, ketika kita drop kata kolektif beda maksudnya. Kalau di luar tuh udunan, itu kolektif, gotong royong juga kolektif, demo rame-rame atau membantu bantuan bencana alam misalnya itu kolektif.

Jadi ketika ngedrop kolektif, kolektif tidak begitu spesial selain dari istilah untuk membicarakan hal yang dilakukan bersama-sama, tetapi ketika kita membicarakan kolektif dalam konteks seni rupa yang itu tuh kita tuh sudah terbentuk hal yang sangat spesifik. Maksudnya, kalau kita ngomongin kolektif, oh ada kayak kumpulan seniman yang bekerja bersama-sama bikin karya, bahkan sampai di titik yang namanya kolektif itu adalah kelompok seniman yang mencari hibah gitu. Nah, makin kesini makin sempit gitu makin ada-ada prejudice, sitigma, dan pengelompokan untuk istilah itu. Potensinya gue kira macam-macam ya kalau secara konsep dan yang sudah berjalan dan yang sudah berhasil tentunya, kolektif ini sebagai elemen produktif dari medan seni.

Di sisi lain, seolah si kolektif itu adalah tren, fashion yang sekelibat terjadi. Jadi, seolah-olah itu misinya biar ikut tren. Nah, menjadi masalah ketika si kolektif ini terjadi belakangan, terutama waktu gue awal-awal bikin akun ini. Walau sekarang ya proporsional lah bentuknya, banyak yang oke dan ada juga yang agak aneh gitu posisinya, terhadap kemunculan kolektif-kolektif yang terjadi.

Kolektif juga ya sebenarnya bagus, kalau kita ngomongin di sebuah profesi kan ada dalam perspektif berkesenian sebagai profesi, kadang kolektif itu jadi bentuk awalan career path untuk seniman, jadi kayak jenjang karir gitu, ada seolah kayak gitu di skena seni rupa sekarang itu, ya untuk masuk scene tuh lo harus membangun kolektif atau masuk ke kolektif yang sudah established. Jadi, ya bahasa kasarnya itu jadi adek-adekan atau jadi jadi inilah…jadi kader sebuah kolektif established atau ya membangun merintis kolektif bersama teman-teman. Nah itu jadi seolah sebuah scheme jenjang karir untuk seniman, untuk bisa survive di medan seni.

Tapi, banyak juga kolektif yang sebenarnya terbentuk secara natural dari awalnya, misalnya kelompok seniman atau kelompok pertemanan yang kebetulan sama-sama berkarya di sub-tema atau sub-bidang kesenian tertentu, sama-sama fotografi, sama-sama bekerja di ruang publik dan lain-lain. Atau bahkan se-simple yang awalnya mereka itu satu kontrakan seniman-seniman muda tinggal bareng punya studio bareng, terus akhirnya karena bekerja terus-menerus, jadinya secara natural jadi kolektif. Kayak gitu sih pandangannya.

Hoppla

Ada nggak sih cara atau pertimbangan khusus nih di AntiKolektif ketika memilah dan menggunakan meme untuk mengkritik?

AntiKolektifKolektifKlub

Itu sebenarnya tidak pernah ada tujuan kritik, dalam artian ofensif atau mengkritik dalam artian menyanggah gitu. Nggak ada sih, nggak pernah dalam satu waktu gue mencoba untuk selalu ada di posisi menyanggah, mungkin ada sih tapi beberapa. Tapi, itu mungkin lebih ke personal. Biasanya postingan itu personal pandangannya. Tapi, yang paling awal itu sebenarnya ya bukan mengkritik, tetapi lebih mengangkat hal-hal yang sebenarnya terus dibicarakan gitu. Kayaknya agak jarang mengkritik, itu nggak pernah jadi hal utama yang gue lakuin sih.

Yang pertama tuh pasti humor, itu nomor satu…nomor satu sebenernya. Humornya dulu apakah ini lucu atau enggak ya. Jadi humornya dulu, kritik itu sekian. Bahkan kritik itu munculnya ya kalau udah direspon setelahnya. Gue berusaha untuk tidak terlalu di awal mengkritik. Jadi lebih ke hal-hal yang sifatnya sering terjadi terus diangkat dalam bentuk humor. Itu yang nomor satu sih. Terus, lebih ke ini juga sih…soal informasi, kayak gue agak sering tuh ketemu orang yang kayak dia tidak di seni rupa, tapi keep updated-nya dari meme justru. Jadi, gue lebih suka memposisikan dirinya kayak media, jadi diseminasi informasi lewat humor dalam format meme. Ya mungkin kalau ada kritik, itu layer kesekian. Yang paling jadi utama, porsi utamanya, yaitu 1. humor, 2. informasi.

Hoppla

Bagaimana peran-interaksi internet dan media sosial buat ngembangin diskursus seni rupa kontemporer di Indonesia? Apakah dengan akun-akun selain AntiKolektif juga mungkin mempengaruhi?

AntiKolektifKolektifKlub

Sebenernya pandangan digital juga shifting dari medan seni. Yang paling simple, poster harus di-print bahkan balik juga lebih jauh lagi, poster pameran dulu itu disablon di tahun 70-an, dari sablon terus berangkat lagi ke teknologi offside, terus mana lagi jadi photocopy terus kesana lagi berubah jadi digital print sampai di titik bikin pameran tidak perlu membuat poster cetak. Di digital sekarang ya lewat sosial media poster pameran, itu kan udah salah satu shifting di seni rupa.

Yang paling agak tentara tuh karena gua mengalami pameran harus bikin poster terus harus diantar di beberapa titik, terus relasi digital dan sosial media ya dari sisi seniman tuh shifting yang paling gede tuh ya soal referensi ya gitu kalo referensi berkarya ada beberapa akun meme misalnya kayak akun ini atau ya beberapa kali misalnya dari akun Indoartno, akun meme lain seperti Frieze Magazine, ada beberapa karya yang mirip nih. Si A mirip si B, begitu pun di seni rupa kontemporer, karena akses informasinya lancar, jadi memang soal identity berkarya jadi agak sulit, karena kayak kita konsumsi banyak dan kadang secara langsung atau tidak langsung kita reference banyak antar seniman. Dan itu masif secara global.

Kedua media ya, kalau seni rupa Indonesia kita minus soal media. Itu lah kenapa akun meme jadi ramai, apalagi waktu pandemi intensitas makin tinggi. Itu karena tidak ada media seni rupa yang established dalam diseminasi informasi, teori, atau makalah dll; bahkan selevel ulasan pameran tidak banyak. Akhirnya, informasinya kan paling banyak itu dari gosip dari obrolan kecil-kecilan. Terus yang kedua, kalau di sosial media ke meme akhirnya, mereka ke akun-akun meme yang yang sifatnya tuh cepat, lugas dan menghibur gitu. Ahirnya ke sana itu shifting-nya. PR yang berasa untuk seni rupa ya itu sih pengelolaan media, yang harusnya lebih bagus lah, dari se-simple ulasan pameran yang sangat jurnalistik, gak usah titik kritik.

Itu aja sekadar ulasan nggak banyak untuk media. Jadi, pemanfaatan sosial media di seni rupa kontemporer itu masih belum oke. Baru sebatas IndoArtNow, masih sebatas poster acara, event, terus kemudian dokumentasi. Tidak sampai ke titik jurnalistik karena memang kenyataannya tuh pendanaan untuk media kan emang lumayan kecil kan emang susah, terus feedback secara ekonominya juga tidak terlihat menggiurkan.

Hoppla

Ada nggak event paling ramai waktu itu yang bisa diceritain yang akhirnya bisa kalian respon dengan humor di dalam ini?

AntiKolektifKolektifKlub

Apa ya, SBY ngelukis sih yang gue inget. SBY ngelukis lumayan, itu sebuah fenomena, apa ya yang paling rame gue lupa. SBY ngelukis sih yang gue inget, waktu sama zaman-zaman pandemi orang-orang bikin OPR (Online Virtual Room), itu lumayan. Waktu itu gue edit Art Jakarta gue kasih karakter The Sims, yang pasti kalau udah nyenggol seniman mirip siapa, itu mereka suka tuh biasanya, audiensnya

Hoppla

Awalnya itu booming gimana?

AntiKolektifKolektifKlub

Awalnya ya penuh dengan terkaan aja sih, kalau di Indonesia booming gara-gara kejadian ada seniman NFT dibilang meng-copy seniman lain gitu itu kan. Yang gue bilang tadi kalau ada ngangkat soal seniman meng-copy seniman lain itu biasanya rame, ya emang suka gosip orang-orang.

Hoppla

Oke berarti yang spesifik biasanya Insya Allah rame ya?

AntiKolektifKolektifKlub

Iya, terus yang rame lagi kalau gue ngangkat soal kesengsaraan seniman muda, itu pasti ramai karena penontonnya biasanya yang seniman yang sengsara, karena itu yang paling gampang relate. Terus kan kalau kita ngomongin rata-rata misalnya di pelaku seni ada banyak dan yang sukses sedikit…sekian persen, jadi ketika ngomongin kesengsaraan dan kesusahan seniman dalam meniti karir, yang pasti itu ramai karena yang relate pasti banyak. Atau bahkan seniman yang sukses pernah ngerasain di titik itu kan.

Hoppla

Ada nggak batasan untuk membuat konten seperti ini?

AntiKolektifKolektifKlub

Batasan gue kira, waktu itu privacy ya, penggunaan foto. Nah, itu yang paling sering gue bentrok, kan model meme itu kan ya kita ambil foto diberikan konteks baru, ambil gambar konteks baru. Nah, itu sering berselisih ketika kita pake gambarnya dengan tujuan pake gambar itu aja, tapi konteksnya baru misalnya. Itu beberapa kadang ada yang kok ambil foto ini, disebutnya mencuri gitu.

Tapi, di sini gue sendiri sih gue mencoba ada di posisi yang ya kalau udah ada di internet ya bisa terjadi, cuma ya itu biasanya bermasalah di akhir. Sudah di-posting nanti ada yang komen kok nggak nge-tag sih yang punya gambar itu. Nah, itu tuh di satu sisi salah, tapi di platform internet itu bisa banget terjadi gitu. Terus kan gue kadang merasa gue sih secara personal merasa tidak bersalah, tapi kalau memang ada yang bermasalah ya biasanya gue takedown atau sesuai perintah bapak netizen nya lah. Terus gue berada di posisi yang gue lakukan kan non-profit ya, jadi gue nggak mengambil profit apa pun, dan gue juga nggak terlalu mikirin apa sih crowd yang gue dapetin dari akun anonim ini, jadi itu diperdebatkan lah sambil jalan. Tapi biasanya, akhirnya gue pakai template meme yang paling aman, pakai template yang emang udah jadi umum aja.

Hoppla

Jadi kalau makin umum biar lebih gampang diterka juga ama audiens ya?

AntiKolektifKolektifKlub

Iya. Terus privacy, privacy dalam artian ya kadang kalau kita pakai foto figure lain itu ya. Itu memang biasanya kadang-kadang ada yang tersinggung dan lain-lain tapi ya itu dihindarilah.

Hoppla

Buat kalian pribadi nih, apa sih mungkin pandangan paling liar kalian untuk memprediksi seni rupa kontemporer Indonesia nih? mungkin dari fenomena 20 tahun ke belakang sampai 20 tahun ke depan ada nggak sih yang bisa mungkin kalian terka selama ini dalam membaca kolektif dalam membaca fenomena-fenomena seni rupa?

AntiKolektifKolektifKlub

Kalau secara luas sih, gue kira PR (pekerjaan rumah) sekarang soal apa ya gimana ya agak berat sih, nggak nyambung sama AntiKolektif tapi ya ini yang paling mendekati itu gue kira soal positioning seni rupa kontemporer Indonesia dengan global. Global itu dalam artian konteksnya western ya. Western scene ya itu gue kira yang harus diselesaikan ya gimana caranya seni rupa Indonesia…eh seni rupa global tuh bisa real global gitu. Jadi, nggak ada pandangan kaya semua kanon-kanonnya semua tuh dari western kayak kejadian Ruang Rupa dan Documenta sih yang gue perhatiin ya. Itu kan rejection-nya lumayan, rejection di kanon lumayan gede waktu itu untuk Ruang Rupa dengan bumbu-bumbu permasalahan yang mereka sajikan di Lumbung.

Itu gue kira jadi satu hal yang kayaknya sih akan bisa selesai kali ya 20 tahun lagi di mana gesekan-gesekan antara antara seni rupa. Jadi kita kan kalau secara global jadi seni rupa pinggiran, nah seni rupa pinggiran terus ada seni rupa pusat di Eropa dan Amerika, itu bisa nggak ada. Itu sih, itu pun liar kan karena ini masalah yang luas sistematik dan gak cuman seni rupa. Jadi itu, kemudian apa lagi ya bayangan-bayangannya.

Kalau Indonesia sih, gue kira PR-nya untuk Indonesia sendiri ya seni rupa, sama jadi kaya yang global itu, seni rupa Indonesia pinggiran terus pusatnya Eropa dan di Indonesia pun masih ada stream itu, antara seni yang terpusat dan seni pinggiran. Yang pusatnya Jakarta, pusat-pusat kapital ya Jakarta, Jogja, dan mungkin porsi kecil Bali. Ya, itu kadang kita ngomongnya seni rupa Indonesia tuh yang enggak Indonesia. Itu kenyataan di lapangan kan, seni rupa Indonesia cuma Jakarta-Bandung-Jogja dan porsi kecilnya Bali, ya pemahaman…apa bayangan liarnya itu udah nggak ada lagi gitu. Mungkin bisa terlihat dari mulai adanya biennale Makassar, terus ada kegiatan-kegiatan Pekan Seni Media kan beberapa tahun terakhir dilakukannya ada di Riau, di Kalimantan, di Maluku dan lain-lain gitu. Itu udah jadi petanda, tanda-tanda ada kekuatan dari pinggir untuk akhirnya bisa masuk dalam sirkuit seni rupa kontemporer Indonesia secara keseluruhan.

Begitu pun bayangan soal ketika ngomongin seni rupa Indonesia itu…seni rupa kontemporer Indonesia yang sekarang itu sempit, seni rupa kontemporer itu sempit. Sempitnya tuh sesempit hanya art fair dan biennale. Ketika kalau kita ngomongin seni rupa kontemporer kita seolah digiring ke hal yang itu-itu lagi. Hal-hal yang kecil banget gitu, padahal kan kalau kita ngomongin seni rupa itu kan banyak. Simple-nya ya seni rupa kontemporer bisa apa aja gitu. Karena kalau kenyataannya sekarang tuh ya kayak seni rupa kontemporer cuman milik sebagian orang kecil gitu, mungkin kalau di Bandung kerasanya seni rupa kontemporer cuma milik salah satu lulusan universitas tertentu.

Kemudian, kalau di Jakarta itu ya seni rupa punya kolektif tertentu. Terus, kalau di Jogja itu punya institusi-institusi tertentu gitu, institusi dan lulusan perguruan tinggi tertentu, seolah kesempatannya itu beneran terbatas. Nah, harapannya ya mungkin 20–30 tahun ke depan bisa lebih banyak. Tentunya, itu juga harapan…ya bayangannya terliarnya ya patron, kolektor, dan juga termasuk juga mungkin support dari negara juga lebih gede lah untuk men-support seni rupa kontemporer. Karena posisinya sekarang kan patron dan kolektor itu kalau dibandingkan dengan jumlah yang pengen jadi seniman itu sangat jauh, mungkin 1:1000.

Hoppla

Adakah mungkin pengalaman tidak mengenakkan saat mengurus akun ini? pernah tersandung skandal?

AntiKolektifKolektifKlub

Itu standar lah, namanya juga usaha. Itu standar dalam artian bahkan media biasa pun bisa punya pendapat-pendapat yang berbeda gitu, apalagi akun meme anonim lagi kan. Jadi, nggak jelas gitu siapa yang megang, orang nggak tahu. Ya standar sih, biasanya serangannya tuh sama. Ketika pendapat yang kita anggap lucu ternyata nggak lucu ya tuh itu biasanya ada aja yang kayak gitu, atau kalau kita ngeluarin statement kayaknya statement-nya tidak sesuai fakta dan lain-lain. Itu ada lah, tapi bentuknya masih aman lah, tidak terlalu menyebalkan dan udah jadi resiko dari format yang ditawarin dari AntiKolektif itu. Memang resikonya ke sana…ya masih toleran lah.

Hoppla

Selanjutnya gue mungkin lebih nanya soal teknis dan metode. Pertama, kenapa lo pakai Instagram dan tidak media sosial lain?

AntiKolektifKolektifKlub

Kalau pakai Instagram ya karena Instagram waktu itu ramai ya. Gue tuh bikin Twitter, tapi udah nggak aktif gara-gara gue lupa password-nya. Jadi, ada Twitter. Kalau Instagram kan visual. Terus waktu itu Twitter, gue pengennya lebih bentuknya teks, tebak-tebakan dll gitu. Tapi, Twitter tuh, sempet rame waktu itu. Tapi, Twitter agak serem ya, karena bisa di retweet dan lain-lain gitu. Bentuknya agak liar, bisa keluar konteksnya, bisa melebar jauh dibanding Instagram. Terus kalau di Instagram kan formatnya lebih simple ya, sama yang mengubah adalah Instagram story (Instastory) ya, karena kan metodenya biasanya ambil gambar terus kasih konteks.

Kalau cepat itu…paling cepat itu ya pakai Instastory tuh paling cepat dan paling gampang jadi masih di satu aplikasi gitu. Audiensnya juga ya udah kebentuk di Instagram. Awalnya tuh nggak banyak sih audiensnya, paling cuma 50 atau 100 pas awal-awal. Pas udah banyak ya udah lanjutin di Instagram, bahkan gue tuh pernah satu hari satu meme. Sekarang udah mulai jarang karena sejak pandemi itu gue udah mulai jarang ya, karena event juga dikit, obrolan juga nggak banyak kan, karena gue ngerjainnya sendiri. Instagram sama apa ya Instagram udah itu tuh, kenapa Instagram…media sosial lain, Twitter ada cuman nggak jalan ini ya.

Hoppla

Berarti lo emang basis di distribusi image-nya?

AntiKolektifKolektifKlub

Iya sih bisa dibilang, sama gambarnya juga nyolong-nyolong juga, terus kan kadang sama yang kedua, lagi mulai dari Instagram terus tumbuh di Instagram yang gue melihat respon audiens. Terus biasanya konten itu ngikutin audiensi beberapa kali.

Hoppla

Nah, terkait dengan analogi image yang dikolase lo emang pure personal atau riset dulu?

AntiKolektifKolektifKlub

Personal lah, apa ya..gak bisa dibilang riset…cuman first idea aja kayak “ah…oke nih”, ngomongin apa “eh…lucu nih” tapi biasa aja tuh paling sering itu berangkatnya tuh dari image dulu. Image apa masukin konteks, image apa masukin konteks. Kecuali kalau ada hal-hal yang spesifik baru kayak agak-agak dicari, tapi paling banyak tuh geraknya dari gambar-gambar, misalnya ada rame gambar, orang ngeposting format meme apa gitu ya, itu di rekonteks ulang.

Hoppla

Sebenarnya tadi udah ditanya ketika lo tadi menyeleksi, memilih, kemudian mengkomposisikan image, lo ada gak metode tertentu? Selain yang tadi lo bilang batasan-batasan lo adalah ngambil gambar secara umum, berarti kan ada aspek viralitas di situ ya buat blurring ownership.

AntiKolektifKolektifKlub

Metode…metode lain…metode lain…apa ya… nggak ada sih kayaknya lebih kayak gitu aja.

Hoppla

Berarti paralel dari image?

AntiKolektifKolektifKlub

Kalau nggak ya paling diputarbalik dari konteksnya dulu baru image nya dicari gitu.

Hoppla

Tapi ada kemungkinan gak lo bakal stretch batasan-batasan itu?

AntiKolektifKolektifKlub

Oh, maksudnya kayak gue gambar misalnya gambar-gambar atau bikin komik gitu?

Hoppla

Bisa juga.

AntiKolektifKolektifKlub

Nggak ada waktu sih…haha…lebih ke gak ada waktu sih. Ya, gue tertarik sebenernya…ada ke arah sana, tapi gue juga terbatas…terbatas copywriting dll. Gue kira itu bukan bakat gue sih di situ, gue lebih ke one line, kalau copywriting, editing dll gue kira cukup sulit ya. Tapi, gue kira itu bagus kalau ada yang kayak gitu. Kalau dari AntiKolektif sampai titik ini kayaknya porsinya nggak ke sana.

Hoppla

Jadi lo bertahan di organiknya image yang beredar di internet?

AntiKolektifKolektifKlub

Ho.o, lebih gampang lah karena apa dikonsumsinya juga gampang kan gitu.

Hoppla

Terus kan tadi lo nyebut audiens dan AntiKolektif bisa dibilang cukup segmented dikenal di kesenian, lo berpikir untuk meluaskan scale lo?

AntiKolektifKolektifKlub

itu nggak perlu.

Lebih ke humor…humor, akun hiburan. Ya gue kira itu kalau kita ngomongin meme secara keseluruhan lokal @ecommurz ya itu bagus tuh. Gue kebayangnya bisa jadi kayak @ecommurz. Nah, model kayak gitu tuh sampai di titik bisa apa…bisa punya posisi…bisa punya posisi daya tawar yang gede untuk industrinya. Gue kira itu tuh salah satu bentuk akun meme yang sukses gitu karena dia punya daya tawar. Ada beberapa pendapat dia tuh bisa mempengaruhi industri yang dia kontenin. Itu sih gue kira bentuk sukses sebuah akun meme secara holistiknya lah. @ecommurz oke, sampai dia bikin misanya kayak kejadian lay off dia bikin satu sheet dimana orang-orang bikin ngisi layout satu sheet yang bisa diisi dan dilihat oleh recruiter. Itu ada advokasinya sih, itu bagus. Di seni rupa belum ada tuh yang kuat…sampai titik dia bisa punya tawar ke industrinya.

Hoppla

AntiKolektif ini memang ditujukan untuk living in digital atau suatu saat lo ada pikiran pameran entah dimana?

AntiKolektifKolektifKlub

Gue dulu kebayang bikin gini sih, cuma nggak ada waktu juga, sama alasannya sih nggak ada waktu. Cuman kebayangnya dulu ya dia bisa gini, kalau bikin pameran sih enggak. Pertanyaannya kan kalau cuman pengulangan atau derivatif dari apa yang ada di Instagram kan agak-agak aneh. Kalau sekarang sih nggak di situ aja, cuma kalau ditawarin mungkin boleh-boleh aja untuk pameran. Tapi kalau dia cuma nawarinnya nggak punya tawaran yang signifikan juga…nggak tertarik juga sih.

Hoppla

Tawaran yang bagaimana?

AntiKolektifKolektifKlub

Apa ya…tawaran real life, apa pun, kalau gue sendiri belum kepikiran banyak sih untuk dibawa ke konteks di luar si akun itu. Gue harus mikir lagi itu, soalnya formatnya harus memang beda. Kalau pun ad, ya gue pengennya dia beda. Jadi bukan derivatif atau pengulangan dari apa yang udah ada di konten itu, misalnya dalam bentuk zine yang ada ulasan atau ada tulisan yang komprehensif itu dengan berangkat dari meme yang dibuat gitu. Gue pernah sih bikin project sama beberapa orang lain, ada yang bikin tulisan-tulisan berangkat dari meme, bikin tulisan. Jadi bukan gue yang bikin, tapi orang lain yang bikin tulisannya. Jadi, dia cuman minta izin mengambil gambar yang mana, terus wawancara gue kenapa gambar itu muncul terus dia bikin tulisan. Itu sih intinya, gue nggak pengen ulang misalnya ada meme ini terus diprint dipamerin nggak sih kalau kayak gitu, gue nggak mau.

Hoppla

Berarti tergantung bahasa ruang yang akan dipakai nanti?

AntiKolektifKolektifKlub

Iya, harus beda.

Hoppla

Lo ada identity khusus secara bentuk? Atau memang sifatnya universal?

AntiKolektifKolektifKlub

Universal sih, nggak ada harus gimana gitu, nggak ada aja karena tujuannya juga cuman pokoknya lucu udah menghibur banyak yang relate.

Hoppla

Menurut lo sejauh mana image akan menjadi efektif sebagai power positioning dan pada akhirnya lo akan berpkiri bahwa image dapat menjadi network? Bagaimana pendapat lo?

AntiKolektifKolektifKlub

Gue kira itu ya…kalau dia udah direproduksi terus-terusan sih itu, maksudnya itu dia udah dikonsumsi berulang-ulang udah ada berapa cycle itu biasanya powerful, misalnya image Wojak itu yang orang warna putih gitu Itu. kan udah-udah direproduksi dibikin ulang dikonsumsi konteksnya udah tumbuh di banyak orang yang ada di internet ya itu powerful pasti. Kalau ada wojak diaplikasikan ke konteks apa pun dia masuk. Kayak gitu sih, itu contohnya melihat sejauh mana itu efektif penyebaran informasi atau katakanlah discourse disini.

Hoppla

Sekarang kan banyak pameran-pameran atau biennale yang menghitung tingkat engagement dari berapa banyak lo masuk ke FYP TikTok atau seberapa banyak persebaran image di sosial media sebagai distribusi informasi dan mungkin discourse dalam konteks ini. Bagaiamana pendapat lo?

AntiKolektifKolektifKlub

Informasi kalau gue ngelihatnya sih apa ya…yang kayak gitu sih buat quantity sih bagus ya, tapi kan buat quality yaitu proses ya…itu proses. Nggak bisa bergantung dari situ aja. Maksud gue, kayak misalnya ada pameran terus dia rame gitu, itu bisa mendatangkan kuantitas audiens baru yang banyak, tapi si posisi gambarnya itu…videonya itu tuh dia nggak ngasih apa-apa gitu. Nggak ngasih apa-apa selain informasi. Pada akhirnya balik lagi ketika ada audiens yang banyak, tadinya rame nih foto-foto di galeri yang ramai di TikTok, dateng tuh tapi ujung-ujungnya itu ada di pertemuan mereka antara audiens itu dengan si ruang-ruang yang nanti mereka datengin itu sih.

Jadi, powerful-nya image itu baru sampai titik bikin mereka tertarik datang, tapi itu udah bagus banget sih. Sebenarnya dah cukup efektif sekarang gue lihat beberapa pameran, kalau dateng gitu kalau gue nanya kok rame, “oh ya kemarin trending di TikTok”. Itu oke sih, oke di satu sisi secara kuantitas itu oke dan scene seni rupa membutuhkan itu kan…membutuhkan kuantitas. Baru kalau kita ngomongin soal apakah tersampaikan, apakah yang datang itu ngerti, apa yang datang itu mau datang lagi, itu balik lagi ke ruang itu masing-masing dan kejadian setelah itu. Nggak bisa dipungkiri punya segmen baru itu.

Hoppla

Terakhir, gue tanya lagi dimana posisi AntiKolektif? Apakah ada kepikiran untuk power bargaining di scene yang offline atau emang udah di online aja atau keduanya?

AntiKolektifKolektifKlub

Gue personal selagi masih ngerjain sendiri, udah segini aja. Tapi, kalau misalnya memang akhirnya bisa punya kesempatan untuk sampai ke sana sih, gue sih oke-oke aja gitu. Bisa punya power bargain…ya selayaknya sebuah media lah. Positioning-nya lah. Kayak gitu sih gue kira, bagus-bagus aja sih cuma di titik sekarang. Gue lebih tidak menyanggupi ke sana, jadi kayak gue pengen, tapi melihat keadaan sekarang sih segini juga udah cukup. Lebih berharap ada yang lain yang nerusin ya dia bisa sampai di titik bargaining dan lain-lain. Soalnya kalau gue nanti ramean buat sampai di titik itu jadi kolektif dong hahaha. Gue media independen dulu aja, udah cukup juga udah bagus banget.

820 390 Anggraeni Widhiasih
Ketik di sini ...

Preferensi Privasi

Ketika Anda mengunjungi situs web kami, informasi mungkin disimpan melalui peramban Anda dari layanan tertentu, biasanya dalam bentuk cookie. Di sini Anda dapat mengubah preferensi Privasi Anda. Perlu dicatat bahwa memblokir beberapa jenis cookie dapat mempengaruhi pengalaman Anda di situs web kami dan layanan yang dapat kami tawarkan.

Untuk alasan kinerja dan keamanan, kami menggunakan Cloudflare
required

Situs web kami menggunakan cookie, terutama dari layanan pihak ketiga. Tentukan Preferensi Privasi Anda dan/atau setujui penggunaan cookie oleh kami.