Agung Hujatnikajennong

Narasumber: Agung Hujatnikajennong
Waktu Wawancara:
10 Desember 2022
Lokasi: Orbital Dago, Bandung

Hoppla

Seperti yang gue WhatsApp dan email pingin tahu dari pengalaman lo kira-kira sepengetahuan lo ada gak tahun 2000an karya berbasis internet di ranah seni. Apa yang lo tahu?

Agung Hujatnikajennong

Gue udah singgung sedikit waktu tahun ‘99. Antara ‘99 atau 2001 itu ada pameran diinisiasi oleh 2 institusi yaitu Galeri Soemardja ITB dan Curtin University. Waktu itu idenya bagaimana memanfaatkan web. Waktu itu namanya masih web art yang dipakai. Memanfaatkan web ini dan kuratornya Pak Asmudjo dari Soemardja. Dari Curtin gue lupa namanya siapa, tapi itu proyek yang menurut gue breakthrough. Masih sangat baru karena pemakaian internet tahun segitu di Indonesia masih sebatas untuk komunikasi, email misalnya. Atau bikin website. Nah, waktu itu ada 3 seniman yang dipilih yang gue inget, Krisna Murti, Kristiawan, dan Dianto. Lalu ada 3 seniman Australia juga yang dipilih oleh seniman Australianya ini. Pertamanya percakapan, saling komunikasi lewat email dan tukar komunikasi tentang karya lewat email. Agak mirip pengennya waktu itu kolaborasi tapi saat itu enggak kejadian waktu bikin karya bareng-bareng. Karena seniman bikin karya sendiri-sendiri. Waktu itu seinget gue Kristiawan dan Dianto diundang ke Curtin untuk exchange.

Tahun-tahun segitu yang dilakukan adalah mengkonversi praktik yang dilakukan seniman. Kristiawan kan performance artist dan Dianto pelukis dan bikin instalasi. Waktu itu karya mereka cukup dikenal di biennale besar. Semacam dikonversi jadi presentasi dalam bentuk halaman web sebetulnya. Kristiawan bikin performance direkam kemudian dijadikan animasi sederhana lalu ditampilkan di situ. Proyeknya sendiri mereka sebut sebagai web art. Waktu itu breakthrough ternyata bisa ya bikin performance di internet.

Hoppla

Pak Krisna bikin apa?

Agung Hujatnikajennong

Krisna bikin video tapi dikonversi kalau enggak salah. Enggak distreaming, video yang bisa ditampilkan di internet. Waktu itu kan video belum identik terdigitalisasi seperti sekarang. Waktu itu masih analog lah. Ketika bisa dikonversi jadi video yang bisa ditonton di internet, baru banget waktu itu. Setelah mereka, Kristiawan dan Dianto ke Curtin ada pameran fisiknya. Ada karya yang dikirim dari Perth dipamerkan di Soermardja. Tapi, dalam realisasinya banyak material atau objek yang senimannya nggak sepenuhnya mengontrol karena via email saja. Mungkin belinya di sini sebagian. Model seperti itu masih sangat baru. Ada katalognya di Soemardja.

Gue nggak tahu Pak Asmudjo masih simpan atau enggak. Yang lain memang sebenarnya tahun itu cenderung memanfaatkan internet sebagai ruang presentasi baru. Jadi tidak sepenuhnya menggunakan bahasa pengkodean, website bisa dipakai sebagai pengganti ruang fisik atau ruang pamer fisik. Masih sebatas itu. Termasuk yang dibuat sama Gustaff dan temen-temen.. Tapi yang pernah bikin sebenarnya yang bikin HTML adalah Tanto. Dia terlibat di web art ini masih jadi kuncennya Soemardja. Masih jadi nongkrongnya di internet. Masih jadi benda ajaib banget. Tanto bikin animasi, yang itu pernah dipamerkan sebagai karya fisik sebagai video.

Hoppla

Waktu itu pakai monitor? Yang dipamerkan secara fisik.

Agung Hujatnikajennong

Ya pakai monitor tapi enggak salah waktu itu bisa ditonton di–waktu itu dia udah pakai website. Di antara kami dia paling canggih, udah punya email sendiri. Sampai sekarang jadi blogger. Komputer udah Macintosh yang sudah dia modifikasi sendiri. Keyboard-nya dia juga enggak ada hurufnya. Jadi cuma dia doang yang bisa pakai. Waktu itu dia paling paham soal internet art itu.

Hoppla

Kalau yang live performance itu pernah ada?

Agung Hujatnikajennong

Mungkin ada tapi gue gak inget. Tapi tahap awal internet itu hanya sebagai ruang pengganti fisik. Dianggapnya seni itu bisa dipamerkan di internet. Cara mengaksesnya tentu otomatis beda. Si web art ini pameran 24 jam, lho. Ini kan internet itu kan nature dari website. Tapi lompatan itu, ruang virtual menggantikan ruang fisik, menurut kita itu lompatan. Sesuatu yang baru.

Hoppla

Kenapa enggak berkembang saat itu?

Agung Hujatnikajennong

Menurut gue juga hubungannya sama kultur internet sendiri di Indonesia. Sebagai media komersial, kan. Media untuk kepentingan komersil sebenernya. Yang memanfaatkan itu sebagai medium yang bisa dieksplorasi demi kepentingan artistik doang, itu jarang. Atau enggak ada sama sekali. Internet ya esensi dari media yang sebelumnya dipakai di iklan, dagang, segala macam.

Aktivisme ini berjalan. Tahun 2000an kan ada aktivisme di kampung gimana, di Jakarta gimana. Dalam hal pemberdayaan internet keluarga. Ya, karena kenapa seniman enggak memanfaatkan itu di awal? 2005 gue inget Exonemo.

Menarik kenapa seniman enggak memanfaatkan itu secara maksimal? Jadi kalau dilihat dari situasinya juga, mungkin ada kaitannya sama kurikulum di sekolah seni yang belum mendorong ke sana, jadi internet masuknya coding ya adanya di informatika di sekolah computer science. Paling mentok di seni ya komunikasi visual. Jadi kulturnya menyebabkan internet tidak dimanfaatkan maksimal oleh para seniman. Kalau ada ya hanya segelintir saja. Orang-orang memahami internet bisa buat dagang, bisa buat iklan.

Hoppla

Kalau lihat perubahannya kapan? Lo merasa seniman sudah ada konsentrasi untuk coba di masa awal.

Agung Hujatnikajennong

Mungkin setelah ada web2.0 ini lebih memasyarakat ketika ada blog, jadi setiap orang bisa bikin konten sendiri, jurnalisme sendiri. Mulai seniman pada bikin blog. Lagi-lagi ya memang hanya untuk presentasi jadi sebagai perantara saja. Justru yang menarik kan wilayah non-seni wilayah yang emansipatif berdampak pada perubahan. Itu dari aktivisme. Gue enggak tahu apa ini ada kaitannya dengan kalau di seni tahun segitu kan kalau di Indonesia ada gelombang besar, ya semua tersedot ke sana. 2000-an awal yang paling seksi ya pasar. Karena medium ini enggak terkenal di pasar, ya enggak ada yang pakai akhirnya. Tahun segitu kelompok seniman yang fokus di seni media kan enggak banyak. Enggak sebanyak sekarang. Mereka pun secara hubungan memanfaatkan internet sebagai media memproduksi sesuatu tapi mempublikasikan saja. Ya sebagai pengganti.

Hoppla

Apa karena gagap, mungkin?

Agung Hujatnikajennong

Bukan berarti mereka enggak bisa. Gua yakin kalau kulturnya enggak kaya di Indonesia lebih banyak seniman-seniman yang bisa bikin dari bahasa pemrograman, coding, dan sebagainya.

Hoppla

Lo kan sering ke Jepang, perbandingannya gimana?

Agung Hujatnikajennong

Jauh kalau sama Jepang.

Hoppla

Kalau Asia Tenggara?

Agung Hujatnikajennong

Yang menarik ada seniman kontemporer yang bikin instalasi dan mengangkat internet. Itu namanya Tsunamii.net (Tien Wei Woon, Charles Lim Yi Young). Mereka cuma berdua, di tahun 2002 mereka bikin dan berusaha membuktikan kalau ruang virtual ini masih sangat bergantung dengan fisik. Mereka bikin dari kabel optik dan itu seinget gue karyanya enggak berwujud presentasi di internet tapi mempersoalkan internet. Itu menarik banget. Dan mereka juga bikin website-nya. Mungkin sekarang udah lama enggak ada. Di Asia Tenggara itu, di Indonesia sendiri mungkin belum ada sampai ke situ.

Pertanyaannya apakah mereka gagap? Gue enggak berani memastikan itu. Gue lebih percaya masih ada sistem atau kultur tertentu yang mengarahkan persepsi kita kalau internet belum sejauh itu. Kalaupun ada yang berpikiran lain itu sedikit. Gue melihat ketika pandemi, semua orang pindah. Terus kemarin-kemarin, ke mana? Gua berpikir, kenapa ya meledak tapi sebelumnya “diabaikan”?

Ade (Darmawan) bikin Insya Allah itu 2006. Itu pameran seniman-seniman Asia mereka tiap tahun keliling ke Filipina, Singapura, dan waktu itu kebagian di Bandung, jadi gue sempet megang lah. Itu masuk web art sih. Walaupun yang online-nya menurut gue enggak ada. Akhirnya di-print juga sama dia. Tapi gue pernah ngomong, kenapa ini enggak dibikin? Yang dia angkat kan ngetik Insya Allah sekarang itu kan beda. Kalau di Google kan dia search engine akumulatif, sekarang dan nanti malam hasilnya beda kan di Google. Itu proyek yang menurut gue bisa didorong secara online. Itu menarik sih. Itu Indonesia banget. Kata-kata yang di Indonesia semua orang ngomong. Berusaha futuristik tapi religius. Menjanjikan sesuatu yang sangat besar kita ketik Insya Allah. Itu ada beberapa versi print-an.

Sampai 2012 masih jalan terus proyeknya itu? Kalau enggak salah jadi buku waktu itu. Sampai mau bikin Al-Quran. Nekat.

Itu sebelum hashtag populer sih, ya. Kalau gue membayangkan riset lo ini harus bisa lepas dari stigma seni yang konvensional itu. Lo harus bisa mencari proyek yang bisa lo identifikasi sebagai seni. Berdasarkan frame-nya seni kan yang dibuat seniman dan dipamerkan. Kalau sempit kayak gitu pasti mentok. Lo jadi harus cari di ranah lain. Kalau di ranah global jadi lebih luas untuk mengidentifikasi net sebagai art lebih banyak modelnya. Termasuk yang model bahasa ASCII gitu yang awal-awal. Visualnya itu kan internet banget sampai yang hacking gitu. Para pelakunya sendiri bukan seniman malah hacker. Kalau mereka kan kita enggak tahu siapa. Bisa jadi di Indonesia itu ada. Bagaimana kemudian itu digali dan “divalidasi” sebagai seni. Lo bisa melihat paradigma seni di Indonesia bergerak di wilayah itu dan mereka bergerak sebagai aktivisme. Genealoginya bisa lo tarik di situ. Paling deket kan Mulyono yang menurut mereka empowerment dan aktivis internet juga yang melakukan itu di Indonesia udah dari awal ada. Sampai yang dari Gustaff bikin itu.

Keuntungan kita pakai definisi seni kan apa saja bisa lo validasi sebagai seni. Untuk menemukan yang baru menurut gue gak apa-apa, sih.

Hoppla

Tapi urgensinya apa kalau lu melihat itu? Apakah seni sudah mentok atau perlu didefinisi ulang?

Agung Hujatnikajennong

Kalau yang muluk bahwa seni itu punya dampak pada perubahan sosial. Utopianya kan itu. Itu yang gue bilang udah tua banget di Indonesia dan kulturnya ada. Tetap ada kaitannya sama sejarah praktik seninya, gitu. Mirip dengan upaya menulis sejarah atau apa pun. Misalnya yang sedang diupayakan oleh peneliti kurator. Contemporary art bisa punya lineage di luar Jim Supangkat, gitu misalnya. Bisa dari Arnold. Kalau praktiknya dia kan supranatural kan. Kultur lokal itu bergerak sebagai sesuatu yang hidup. Kurator ya ada juga di kebudayaan kita sebenarnya. Di kuncen makam, dia kan menjaga artefak juga. Kita enggak punya konsep museum tapi kalau kita teliti konsep pra-modern atau tradisional aktivitas itu ada. Mengumpulkan, preserve. Seni juga bisa digituin menurut gua sih.

Hoppla

Gimana posisi net art dalam seni media? Media kan dominan?

Agung Hujatnikajennong

Praktiknya mungkin tidak menonjol. Framework atau paradigma yang dominan itu cenderung sedikit. Gue jadi inget Pak Krisna kan sering kayak gitu. Dia pameran judulnya Transit itu internasional juga Indonesia-Australia. Dia pameran di situ tapi enggak menyebut diri dia kurator. Upaya kayak gitu berharga jadi memperluas definisi seni dengan menarik praktik karya yang tadinya bikin sendiri, dari yang bukan seniman dan mereka menyadarinya sebagai praktik sendiri. Kita ngomongin film kan bukan seni akhirnya kita tarik. Upaya yang kayak gitu jarang sehingga si net art ini ya sempit jadinya. Atau kayak proyek yang lo kerjakan sekarang ini?

Hoppla

Kalau ke depannya web 3.0 ini gimana?

Agung Hujatnikajennong

Menurut gue web 2.0 irisannya dengan seni udah banyak yang ngomongin tapi lebih mudah dibicarakan. Di seni kan ada istilah relasional. Kalau kata Pak Mulyono itu kan disebut seni partisipatif dan lain-lain. Pada dasarnya sama, gimana membongkar sekat yang dulunya sangat tebal antara seniman dan audiens. Jadi lebih interaktif lebih partisipatif. Menurut gue itu irisannya jelas dan kemudian kalau kita ngomongin media sosial sebagai irisan web 2.0 ya irisannya masih di situ.

Web 3.0 itu sebenernya pingin bikin dunia sendiri, ya. Kayak isu besarnya kan desentralisasi kan enggak bergantung di sistem besar. Sekarang kan kalau Google bubar kita bubar. Mereka kan ingin bikin dunia sendiri enggak bergantung ke perusahaan gede dan ingin bisa bertahan. Meski masih awal tapi gue merasa kalau desentralisasi ini agak-agak utopis juga. Mungkin enggak sih sebenernya? Nah ini kaitannya sama proyek Tsunamii itu keren. Gimana cryptocurrency terpengaruh dengan perang Rusia ini berarti bahwa dunia meta itu tetep bergantung dengan yang fisik. Enggak tahu sih 50 tahun lagi. Kalau sekarang ya mungkin masih susah. Artinya memang NFT art itu web 3.0 misalnya memotong kompas yang tadinya seni itu termediasi, proses distribusinya tergantung pada sistem tertentu. Itu kan pengen dipotong. Si desentralisasi itu bisa memunculkan si tatanan itu.

Cuman kan kalau kita lihat sekarang ternyata misalnya museum melirik NFT art, dilelang. Lelangnya entah di Sothebys atau Christies itu sangat konvensional. Kemudian kalau menyebut rekor harga NFT tertinggi ya di situ. Bukan di SuperRare. Enggak ada yang pecah rekor kecuali di lelang internasional. Meskipun sistemnya sudah ter-decentralized cuman sudah terlalu tua sehingga kita susah membongkarnya. Cuman yang menarik banyak kebaruan dari segi khazanah visualnya misalnya karena semakin luas image apapun bisa jadi NFT art. Sampai Ghozali juga bisa. Yang validasinya sistem seni lama. Tetap kan istilahnya “digoreng”. Ada yang investasi dan akhirnya banyak yang tertarik. Kemudian lokapasarnya lebih banyak, lebih beragam juga. Yang kemudian nanti kalau di sejarah itu mengkanonisasi sesuatu tetep sistem lama.

Gue tetep yakin bahwa desentralisasi dan dunia yang otonom itu diperlukan. Supaya kita tahu kita ada di dalam sistem di mana entah siapa yang mengontrol. Ide desentralisasi tetep inspirasi.

Hoppla

Gue mau tanya tentang agenda kebudayaan Indonesia dalam kemajuan seni. Adakah karakter khusus Indonesia dalam seni, edukasi seperti di Asia. Misalnya mentalitas berpikir?

Agung Hujatnikajennong

Gua yakin ada. Tapi nggak satu. Ketika kita ngomong ini yang bahaya kalau kita menganggap ini bukan konstruksi. Ini perlu dihindari. Misalnya Indonesia itu Islam, kita bisa terima. Tapi kalau kita menerima tanpa sikap kritis, kita sedang dibodoh-bodohin. Yang beredar sebagai stereotip, stigma, itu pasti konstruksi. Tapi kenyataannya karena kita hidup di sini, gue yakin kita tahu bahwa ada lho, yang Indonesia banget. Kita enggak satu. Yang dominan kita harus sadari itu sebagai konstruksi. Yang menarik kalau kita menemukan sesuatu kalau itu bagian dari kultur kita. Harusnya seniman seperti itu.

Ini kaitannya enggak cuman di internet tapi ada istilah techno-culture. Budaya teknologi kita banyak yang unik. Gue kalau dulu main PS, CDnya bajakan cepet rusak. Kalau bisa jalan itu karena keberuntungan. Kita masih mengharapkan keberuntungan. Misal bismillah dulu, karena rusak. Itu menurut gua Indonesia banget. Yang kayak gitu banyak.

Kita mungkin percaya ada Ghost in the Machine ini.

Hoppla

Kalau generasi baru yang muda dan cukup menarik prakteknya di net art ini kayak gimana?

Agung Hujatnikajennong

Ini susah karena gua nggak terlalu update sebenernya. Kalau misalnya batasan net art itu yang tampil di internet, terus terang gue enggak tahu. Tapi ada satu karya Nurrachmat Widyasena, karyanya sangat physical, instalasi. Dia ngutip dari internet kayak umpatan yang bahasa Indonesianya ini: “Lo janji ke bulan, tapi yang gue dapet cuma Facebook”. Dia bikin tulisan dari alumunium rusak yang sebenernya memperlihatkan kekritisan pada cita-cita dunia modern yang selalu melihat ke depan, jauh. Tapi kita sebenernya tetep di sini-sini aja. Karya seperti itu kalau ada di internet juga pasti menarik. Gua yakin temen-temen yang muda-muda lebih bisa kritis.

Kalau NFT artist disebut net artist ya banyak sebenernya. Mungkin NFT art yang menarik karena diperjualbelikan dengan mata uang sendiri, dia beda dengan seni digital yang lain karena kalau disimpan di Web 3.0 dia akan ada terus di sini. Konon kalau dunia hancur, Web 3.0 ini masih ada. Seniman dengan kesadaran seperti itu pasti banyak. Minimal kalau ada generasi baru yang ada pada level itu, generasi seniman baru. Kalau gue enggak mau pameran biennale mau NFT aja. Minimal dia ingin terus di situ gue yakin pasti ada. Enggak usah pameran di Biennale Jogja atau Biennale Jakarta, gue di sini aja.

Udah kayak subkultur sendiri, Discord sendiri. Bahasa visualnya sendiri.

Hoppla

Ke depannya antara virtual dan fisik bakal semakin terkoneksi atau nggak? Bakal menjauh atau mendekat? Pasti ada dampak-dampak secara fisik.

Agung Hujatnikajennong

Setelah pandemi cenderung terakselerasi si teknologi virtual exhibition ini. Di awal-awal kita menggambarkan itu akan jadi pengganti. Pokoknya gak perlu pameran di galeri, lah. Tapi belakangan setelah pandemi mereda dan lain-lain, tadinya gue berpikir ini akan jadi suatu sistem yang punya dunia sendiri sebenarnya. Karena menggantikan sepenuhnya itu enggak mungkin. Susah lah. Karena kita ngomong sistem seni yang tua. KIta kan mulai 10 tahun yang lalu. Gue enggak pernah berpikir akan menggantikan tapi akan jadi sistem sendiri yang berkembang seiring teknologinya.

Misalnya mungkin kalau software 3D engine makin canggih kita makin immerse. Misal pakai Oculus kita bisa melihat sesuatu yang real di dunia virtual ini. Tapi sebenarnya dunia nyata kan masih ada. Oculus pasti dipakai oleh manusia, user-nya manusia. Selama manusia masih hidup di alam oksigen ini pasti yang fisik enggak bakal ilang. Sekarang kayaknya udah jarang virtual exhibition. Orang lebih senang ke Museum Macan. Art Jog sehari 5.000 orang sehabis pandemi itu. Dibuka lagi, rame lagi. Jadinya virtual exhibition masih ada.

Pasti masih beririsan. Irisannya sedalam apa akan bergantung. Kalau pandemi kan kemarin irisannya dalam. NFT art sekarang ada istilahnya physical digital. Ternyata selain digital ada physical juga, jadi sneakers lah, jadi t-shirt lah tapi masih NFT related namanya si phygital itu.

Tadinya gua melihat agak antipati kok ini digabung? Kalau mau virtual ya udah. Mau enggak mau ya harus diterima juga. Akhirnya muncul istilah phygital, hybrid. Tetep ada. Physical hybrid kan ada. Ini tergantung pengertian ruang yang mana. Jadi prinsipnya kan network. Komputer-komputer yang terhubung satu sama lain. Ketika terhubung ruang itu enggak terelakkan. Ruang yang abstrak yang tidak menggantikan arsitektural, tapi sebagai pertemuan antar informasi itu akan tetap ruang dalam pengertiannya. Bahwa dia adalah sebuah semesta, itu bukan pengertian ruang yang konvensional. Web 3.0 itu kan utopianya semesta sendiri kan. Bukan ruang yang konvensional. Dunia yang terdesentralisasi menurut utopianya web 3.0 kan ruang. Masih ada lapisan sosialnya. Aspek manusianya itu pasti ada, kecuali kalau itu robot semua, manusia punah jadi pengertian ruang otomatis akan berubah, sih. Tapi ada enggak robot semua?

Hoppla

Lo kan sering kuratorin seni media, bagaimana lo melihat porsi itu? Apakah perlu ada atau kondisinya karyanya yang enggak ada? Untuk melibatkan internet art.

Agung Hujatnikajennong

Gue merasa kalau kerja kurasi gue banyak yang kurang adalah kurang eksplor. Gue mengakui hal itu lah. Kalau enggak ada karya net yang gua bikin bukan karena enggak ada, tapi karena gue-nya enggak eksplor. Kayak Pak Krisna. Dari Tintin ditarik ke video art. Keberanian itu yang harusnya ada, lho, net art di Indonesia. Meskipun mungkin yang bikin enggak menyadari hal itu sebagai seni. Gue penelitian fungsinya untuk itu, lo menemukan sesuatu.

Hoppla

Waktu di Salihara lo pernah nyinggung soat post-internet. Relasi fisik dan virtual, karya-karya seperti itu?

Itu ada, yang gua inget banget Tromarama, yang Twitter itu. Dia bikin instalasi tapi dari data digitalnya koleksi Galeri Nasional. Tapi post-internet lebih luas dari itu. Bisa sangat physical dan non-digital sama sekali. Sejauh dia membicarakan hal itu. Nurahmat Widyasena menurut gue dia itu post-internet.

Hoppla

Banyak berarti di Indonesia?

Agung Hujatnikajennong

Kemungkinan lebih banyak di Indonesia.

Yang pakai net sebagai medium pameran pertama kali ya pameran Pak Asmudjo itu. Krisna Murti dulu punya sesuatu bukan blog. Lo dikasih space untuk website. Waktu itu alamatnya art.melsa.id kalau enggak salah alamatnya. Itu sama dia diunggah di situ, pameran web art itu. Halamannya juga udah enggak ada.

Hoppla

Kemarin gue coba narik pake archive.org. Coba-coba tapi cuma dapat beberapa doang. Tapi enggak utuh. Cuman cari history-nya. Jadinya still.

Agung Hujatnikajennong

Pingin nyamperin ke rumah, gue udah lama enggak ketemu pas sakit itu. Terakhir posting di Facebook cuma kata-katanya udah enggak…. stroke-nya 2015 apa, ya?

Terakhir ketemu 2017 ketemu di Padang Panjang. Terakhir malah ngobrolin cucu aja. Memorinya udah gak jelas. Dia ngasih blog dia atau dia upload. Itu tulisan dia, blog aja kalau enggak salah. Jadi dokumentasi foto dia pameran di mana, itu diunggah di situ.

Gua pengen bikin pameran dia yang retrospeksi yang gede. Kalau mau bareng penelitian aja. Kapan lagi waktunya? Indonesiana bisa buat pameran?

Hoppla

Bisa. Apalagi kategori maestro kayak dia. Arsip dia di rumah gua enggak tahu, terakhir temen gua bantuin.

Agung Hujatnikajennong

Minimal gue di kelas selalu ngomongin dia. Dia itu paling rajin, dia sama excited-nya. Dianto dan Kristiawan enggak. Pak Krisna itu bener-bener nongkrongin. Kalau dipikir-pikir dia udah visioner dari zaman itu. Ada new media banyak enggak cuma video.

2266 1351 Anggraeni Widhiasih
Ketik di sini ...

Preferensi Privasi

Ketika Anda mengunjungi situs web kami, informasi mungkin disimpan melalui peramban Anda dari layanan tertentu, biasanya dalam bentuk cookie. Di sini Anda dapat mengubah preferensi Privasi Anda. Perlu dicatat bahwa memblokir beberapa jenis cookie dapat mempengaruhi pengalaman Anda di situs web kami dan layanan yang dapat kami tawarkan.

Untuk alasan kinerja dan keamanan, kami menggunakan Cloudflare
required

Situs web kami menggunakan cookie, terutama dari layanan pihak ketiga. Tentukan Preferensi Privasi Anda dan/atau setujui penggunaan cookie oleh kami.