Hoppla
Bagaimana ide awal Insya Allah?
Ade Darmawan
Mungkin lebih ke metode gue. Gue seneng olah found object, ketertarikan gue sama produksi konsumsi manusia atau masyarakat lah. Lalu gue spesifik lagi pengen melihatnya dari yang diproduksi industri dan dikonsumsi. Makanya, riset gue misalnya gimana orang belanja, gimana orang memperlakukan benda-benda, salah satunya market, buku, pasar loak. Itu semua kan isinya benda-benda produksi, 99,9% di pasar loak sebenernya barang diproduksi pabrik, dikonsumsi, habis itu entah dibuang atau dianggap nggak kepakai lagi, atau udah rusak, lalu disisihkan, terus dikumpulin lagi. Dia diterusin hidupnya sama si pedagang-pedagang ini. Terus dia juga diadopsi lagi sama orang-orang. Diterusin hidupnya lagi, dimasukin dengan memori-memori yang baru lagi.
Kalau digital gimana ya? Nah, makanya di digital pun sebenarnya kalau lo ngelihat karya-karya digital gue yang lain tuh, gue sangat sedikit, gue nge-sub tuh sebenernya sedikit yang gue pamerin. Yang sampai gue pamerin, kebanyakan memang hasil dari produksi orang lain juga, footage dan segala macam. Gue pernah bikin karya dari video game misalnya, itu juga sebenernya gue ngambil footage dari game sepakbola. Yang Insya Allah ini kurang lebih sebenarnya hampir sama. Gue lupa tahun berapa.
Hoppla
Jennong (Agung Hujatnikajennong) bilang 2006, tapi kalau search di Google sekitar 2011-2012 an.
Ade Darmawan
Itu jadi kayak konsep gitu kan, lo juga nulis lo ngetik Insya Allah. Sekarang itu jadi konsep aja. Yang lo ketik beda sama yang gua ketik, mungkin sebulan kemudian lo ketik yang sama, keluarnya beda karena ada algoritma berjalan. Gue soalnya bikin beberapa tuh, gak cuma Insya Allah, tapi yang pernah gue sampai print, terus gue nyatakan itu jadi karya ya cuma Insya Allah. Mungkin gue harus melakukan itu lagi, sekarang kayak gimana sih Insya Allah, berubah lagi gak.
Tapi, waktu itu gue lebih conceptually gimana sebuah kata itu berhubungan sama gambar, search engine, itu yang pertama. Karena kan ada hubungannya sama lokasi juga, gue yakin kalau kita ngetik Insya Allah pada saat yang bersamaan, lo di Amerika yang satu di Eropa, terus yang satunya Indonesia, kita sama-sama ketik Insya Allah pasti akan keluar berbeda. Waktu itu gue nyoba ada bismillah kalau gak salah, ada beberapa lagi, tapi yang paling kuat Insya Allah. Karena balik lagi hubungannya sama produksi konsumsi.
Produksi konsumsi sebelumnya, misal (karya) instalasi, ketika gue ngambil benda-benda yang gue bayangkan, itu adalah representasi dari harapan-harapan, mimpi-mimpi orang. Kayak lampu kristal, meski kita tahu itu palsu, tapi itu mimpi orang-orang, begitu ada lampu kristal di ruangan, lebih punya kelas.
Hoppla
Begitu juga ketika lo search keywords Insya Allah di Google?
Ade Darmawan
Iya, internet itu kayak lagi nerjemahin, nangkep mimpi orang-orang. Makanya kalau lo lihat yang itu gue lupa, kita mesti check bareng-bareng, itu keluarnya ada cincin kawin, ada mobil Lamborghini, ada pergi haji. Jadi, mimpi-mimpi orang yang memasukkan konotasi itu ke Insya Allah. Gitu sih nangkapnya. Terus, gue pakai logika mimpinya, bukan logika mimpi gue, tapi internet. Gimana sih kalau internet gue suruh untuk menangkap apa yang dikategorikan Insya Allah oleh orang-orang. Jadi, itu kan ngebenturin internet dengan teknologi yang terus berkembang, lalu ada Insya Allah yang sangat nggak pasti, bayangan, impian. Crossing-nya itu yang menarik buat gue.
Hoppla
Berapa kali pengembangan Insya Allah? Dia kan sempet di-print, ada yang di plat, jadi buku juga.
Ade Darmawan
Yang terakhir jadi buku. Itu lebih deep lagi. Gue selalu bikin peraturan buat karya-karya gue, peraturannya adalah gue print halaman pertama di monitor gue. Terus lama-lama gue mikir ini sampai berapa halaman ya dia akan nyasar ke limbo-nya Insya Allah di internet. Terus gue tambahin terus tuh, jadi gue nge-print banyak banget yang akhirnya lama-lama jauh gitu, tapi secara internet logic dia masih nyangkut Insya Allah. Itu yang terakhir. Ada video dan fotonya di sebelah, gue kumpulin pake LCD kecil. Mungkin itu yang di 2012.
Hoppla
Itu kan logic-nya digital, kenapa harus dicetak? Apakah ada pertimbangan khusus?
Ade Darmawan
Waktu itu gue pengen ngasih liat ketika dia di-print kan sebenernya di saat yang sama ngomongin momen, kayak semi-fotografi–shutter nangkep momen. Makanya gue print. Nah, berikutnya gue gituin juga. Gue membayangkan mungkin karya itu bisa aja dipersingkat jadi kalimat aja, jadi conceptual art, boring sih, jadi kalimat perintah aja “ketik Insya Allah di kolom search Google”, terus di-print, pajang di kamar lo. Mungkin karya gue bisa cuma tulisan, instruction, bisa gitu juga sebenarnya.
Hoppla
Insya Allah kan memang ngomongin twist dari harapan, hasrat. Kalau dihubungin dengan pameran tunggal lo Magic Center, ada kaitannya gak?
Ade Darmawan
Masih banget sebenernya, balik lagi itu terusan produksi konsumsi, detail-detail, sampai ke bagaimana orang mengonsumsi terus, gimana orang sekarang jadi homo economicus atau jadi orang di sistem kapitalis ini. Orang dilihat dengan nilainya, misalnya dari produktivitas lo. Kan kita enggak nilai orang dari berapa pohon yang kita tanam atau berapa nenek-kakek yang kita sebrangi di jalan. Kita value lebih tinggi orang karena dia punya kuasa.
Itulah hasil dari yang kita jalani di kapitalistik sistem ini, sebelum gue ke situ, sebenernya Magic Center–salah satu bukunya itu ada di pameran gue yang dikuratorin sama Jennong yang Human Resources Development, itu kan gue tertarik banget sama HR (Human Resource) karena itu cara orang atau cara korporat gitu menilai orang. Jadi orang dianggap mesin yang layak apa nggak, si HRD ini kan lagi menilai itu, kalau lo lemes lesu terus dia nanya secara psikologi “eh lo ada masalah?”, jadi mesin gitu. Mesti diberesin, diservis, ayo kerja lagi. Makanya terus gue bikin project Human Resource Development.
Nah, gabung sama yang tadi loakan itu ya, karena logic dan konsepnya sama, ada satu buku itu yang gue taruh di situ itu, terbitan Magic Center, judulnya Bagaimana Menjadi Kaya, waktu itu masih ejaan lama. Gue kaget sumber buku itu tahun 60-an, gua kagetnya secara politis juga buku kayak gini kalau lo baca buku-buku sekarang, kita sebut buku motivasional. Buku motivasional yang akan membuat manusia mesin, yang jadi salesmen, pekerja, dll. Gue kaget
buku-buku itu udah diterbitkan tahun segitu.
Nah gue juga curiga, gue sempet datengin Magic Center, alamatnya daerah Kemayoran penerbitnya udah nggak ada, tapi kalau lo lihat di belakangnya, katalognya itu cuma sedikit judul bukunya yang buku sulap. Gue punya beberapa, tapi nggak sampai 3, sisanya itu buku-buku terjemahan dari penulis-penulis Amerika yang lagi mengkampanyekan bahwa intinya “lo itu ya harus nyari duit”. Judulnya aja gimana jadi kaya, yang sekarang jadi motivasional. Bagaimana melihat diri lo supaya useful di dunia kapitalis, entah lo jadi orang yang bisa ngobrol sama orang lain, jualan. Ngomong sama orang aja itu gunanya bukan supaya lo jadi lebih baik, nggak, sebenarnya itu lo jadi salesman.
Gue terusin buku itu, gue cari lagi sampai banyak banget, gue juga kaget oh ternyata emang penerbit yang yang menerjemahkan buku Amerika ini dan sebenarnya beberapa pengarangnya itu emang dikenal sampai sekarang sebagai pengarang besarnya motivasional atau self improvement. Ada buku yang ngetop banget, yang edisinya bisa lo cari sampai sekarang, itu kayak alkitabnya mereka gitu. Masih dicetak sampai sekarang buku itu dan Magic Center tahun 60-an udah nerjemahin. Judulnya kalau gak salah Bagaimana Ngomong Sama Orang atau bagaimana, gue lupa. Carnegie(n). Yang sebenarnya kalau diterusin kayak Rich Dad Poor Dad (Robert Kiyosaki dan Sharon Lechter, 1997) itu sebenernya evolusinya.
Awalnya, si pengarang-pengarang di Amerika yang diterjemahin sama Magic Center, jadi si buyut-buyut Robert Kiyosaki ini, banyak lah wujud-wujudnya. Kalau ini disebutnya psikologi populer sebenarnya. Kan emang itu ilmu psikologi, lalu dipakai sama industri kapitalis untuk gimana psikologi dijadiin supaya orang jadi pegawai yang bener-bener jadi salesman yang bener, ayo jadi kaya.
Hoppla
Berarti lo secara gak langsung juga kurasi objek-objek juga, balik lagi ke HRD, apakah ada perbedaan antara lo melihat sebagai kurator dan seniman?
Ade Darmawan
Itu kayak paralel sih, gua nggak linear. Gue nggak pernah merencanakan karya gue, misal kalau ada orang yang nanya gimana gue milih objek, rada sulit menerangkannya. Kayak paralel, gue nggak linear, ada satu dua line, jadi berpikir sebagai seniman yang lebih imajinatif. Gue bukan yang riset terus bikin karya, itu jalan bareng dan saling mempengaruhi satu sama lain, atau bahkan jadi cycle. Kayak yang lo tadi bilang, gue nemu terus balik lagi. Nggak akademik yang step by step, gue juga tidak melakukannya seperti desainer. Riset dulu lo mau ngomong apa, proses gue kayak bolak-balik. Sekarang gue lagi berusaha nyiapin pameran lagi, yang biasa gue lakukan adalah melihat ulang karya-karya dari awal. Meski gue udah tahu DNA-nya kayak gimana, gue liat lagi, gue cacah lagi, mungkin ada sebagian atau beberapa bagian yang pengen gue kembangin. Jadi gue melihat itu sebagai sebuah perjalanan biar gak lost juga.
Hoppla
Kalau lo melihat karya seni yang bermedium internet sekarang gimana?
Ade Darmawan
Kek apa ya sekarang?
Hoppla
Ada NFT, medium website, open source.
Ade Darmawan
Ada beberapa sih, ada yang melihat internet jadi ruang digital, showcase, ruang pameran yang sangat impactful juga. Misalnya kalau lo punya follower 3.000, let’s say yang lain gopek (500), kalau bikin pameran gitu mungkin gak ada 500 yang dateng. Jadi ada soal reach out, tapi ini balik lagi mempengaruhi pertanyaan bagaimana image bekerja? Nah, yang menarik kalau menurut gue dan ini sudah berlangsung lama, karya-karya itu memang tinggal di ruang digital. Dia nggak pernah jadi fisik, banyak banget kan sekarang, dia makenya digital, dipamerin digital, dan dijual digital. Itu sudah lengkap siklusnya, nyampe ke publiknya juga digital. Dia bener-bener nggak transform jadi fisik, jadi atom. Dia tetap jadi data.
Hoppla
Perlu tidak kita mendefinisikan net-art atau karya-karya bermedium internet itu?
Ade Darmawan
Kalau untuk kritik sih, mungkin bukan definisi ya. Gue kayaknya agak sulit sekarang mendefinisikan sesuatu yang terus berkembang dengan cepat gitu. Kalau pun paling aman mendefinisikan, paling general banget gitu, sesuatu yang terjadi di dunia imajinasi, kreativitas dll. Yang menarik, internet ini, dulu disebutnya kayak wah demokratisasi la li lu la li lu, gue gak tahu masih bisa dipakai nggak kata itu, tapi gue pengen ngomong bahwa dulu yang memproduksi image tuh cuma dikit pelaku-pelakunya, entah art atau desain, itu kan desainer sama seniman. Warga mah kagak, warga dikit. Tapi sekarang dengan orang bisa ngedit di mobile phone, ini mereka ngeditnya gimana, gue aja bingung. “Udah ada kali, Pak Ade. Di sini (mobile phone) udah semuanya”. Oh, udah ada di genggaman, gilak tinggal di-stop doang. Dulu lo bayangin anjing zaman dulu kan ribet ya, sekarang cut to cut udah ringan dan lucu, segala macam aplikasi.
Hoppla
Mungkin karena teknologi sudah mudah, dulu kan informasi dari kertas, sekarang lo bikin bisa tinggal scan kirim ke WA
Ade Darmawan
Iya, udah split second. Yang dulu masih butuh sekian hari sampai informasi itu nyampe, sekarang udah per second, gue juga ngeledekin kalau “seniman” hanya produksi image, buset warga lebih gila-gilaan. Sekarang anak SMA pasti lebih banyak motret ketimbang fotografer. Tiktokers, warga/masyarakat sekarang lebih banyak produksi video ketimbang seniman video. Nah ini menarik, net-art kalau di luar, pertanyaannya yang mana.
Hoppla
Nah, terus menurut lo yang mana?
Ade Darmawan
Kala menurut gue kalau misalnya konsepi art dan seniman harus di-stretch lebih luas lagi atau bahkan di-blurring. Misalnya, gua mendefinisikan seni adalah imajinasi atau kreasi seseorang, full stop di situ doang. Yang akan kita sebut seni banyak banget, yang seniman juga banyak banget. Kalau misalnya ruangnya dipersempit semua orang bikin karya di kamar, masing-masing gambar, tapi gak pernah dipamerin. Itu seni bukan? Kalau misalnya kita sebut yang seni lalu ditambahin faktornya, gue tambahin lagi misalnya gitu dipublikkan, gue terusin kalimat tadi. Tambahin faktornya lagi, yang tadi lagi gambar di dalam kamar, itu bukan karya seni dan bukan seniman, yang dipamerkan lah yang disebut karya seni dan yang memamerkan disebut seniman.
Kalau misalnya di net-art, yang di digital itu, berarti bisa ditambah faktor itu, berarti kalau dia memang menyatakan bahwa itu karya seni. Tapi kan itu sebenarnya masalah authority, siapa yang bisa menyebutkan itu seni atau bukan. Yang bikin atau orang yang lihat. Misalnya, kalau gue kurator gue bisa bikin yang dibuat Ghozali adalah karya seni dengan segala macam upaya justifikasi gue. Pada akhirnya, contemporary art definisinya bisa luas, soal authority itu. Yang menarik, authority itu juga diperluas. Ini jadi masalah karena si akademik scene nggak cepat untuk menangkap itu lalu menteoritikan itu. Jadi, kalau gue sih bisa sangat luas dan bisa sangat diambil atau disematkan ketika dia mampu dan cukup relevan untuk memenuhi sifat-sifat, bahwa dia misalnya imajinatif, kreatif atau kritik, terus relevan. Kalau menurut gue sih sejauh itu, kalau gua sebagai kurator gue bisa mengambil itu jadi karya.
Hoppla
Atau mungkin kita perlu budaya baru? Maksudnya, pembicaraan kita selalu looping either itu selalu menjadi representasi media atau sebagai paradigma praktik teknis. Lagi-lagi, kita selalu balik ini seni atau tidak.
Ade Darmawan
Memang, dan konyolnya pertanyaan itu dari orang-orang seni doang. Kalau gue ya jawab aja, menurut lo itu seni? Kalau seni tampilin, kalau gak, ya gak usah. Beragumenlah. Nah, kadang-kadang itunya yang kurang. Itu emang pertanyaan elit-elit akademis, orang yang bikin mah kagak peduli ini net-art atau nggak, “ini ekspresi gue”. Ini juga kan soal institusionalisasi seni, lalu seni jadi sekolah, jadi ditulis sejarahnya. Ini problem emang. Dan ini memang tidak berkecepatan tinggi.
Gila, kalau lo liat tiktok gokil sih, dan buat gue itu lebih menyenangkan dan imajinatif. Seni itu harus menawarkan imajinasi dan menggoyahkan iman. Dua itu lah, kalau lo gak bisa dua duanya, satu aja juga cukup. Dan menurut gue warga itu lebih banyak, yang dulu kita tidak sebut seniman. Sebenarnya, sebelum dulu seni dilembagakan, art kan gitu juga. Emang ada yang tahu siapa yang bikin batik Parangrusa? Gue gak tahu. Dulu mah komunal aja. Persis kayak kita nonton TikTok aja, gue gak tahu siapa yang bikin. Tapi itu kreatif, imajinatif, keren dan membuat hari gue menyenangkan. That’s art, man. Sama aja.
Nah, tantangannya art yang lembaga ini mau kemana? Lo mau gitu-gitu aja, gue mah gak mau liat, membosankan. Atau dia jadi filsafat atau dia jadi teori, atau politik, poetic. Kalau lo mau jadi poetic, buset gue nonton Jakarta Keras aja ketawa-ketawa mulu dan banyak banget. Gue makin seneng tuh seniman seniman gak berguna, lo gak berguna. Bukan gak berguna, maksudnya gue ngomong kelembagaannya. Itu kan selalu problem. Tapi maksud gue, gue belakangan menerjemahkannya juga, seni ya yang di dua kaki itu. Dan banyak kreasi-imajinasi di internet itu secara alami. Lukisan agak sulit, anak SD ngelukis juga bilangnya seni. Susah itu.
Jadi, gue mulai mengkategorikan yang kayak gitu malah bukan seni. Seni itu justru yang ada di tegangan antara kehidupan yang mundane sederhana biasa common sehari-hari sama yang poetic dan artistik. Semakin kita gak bisa mengategorikan yang bukan seni, justru itu seni. Seni seharusnya berada di situ. Dan imaji-imaji di internet, secara alami-inherently, berada di situ. Beda sama lukisan, yang kayak gue bilang. Udah susah. Tapi net-art atau whatever yang di internet, itu punya potensi, kayak meme. Wah itu tipis banget, lo gak bilang itu gak poetic tapi poetic baget, lo bilang itu gak artistik tapi artistik banget, kalau lo bilang itu bukan art susah juga itu malah lebih tebel banget. Tapi itu sehari-hari, yang kalau lo kirim aja ke seribu orang sehari, bisa ketawa. Gak eksklusif.
Hoppla
Kalau ngomongin konteks sekarang, banyak pameran digital yang dihadirkan ke ruang offline dengan display tertentu. Idealnya perlu gak? Atau dirayakan saja di digital?
Ade Darmawan
Tergantung ya, gue masih percaya dua ruang itu punya karakter dan bahasa masing-masing. Kalau memang dia menambah nilai agresi atau intervensi yang lain, yang tidak bisa dicapai di online, kalau menurut gue dia harus ditampilkan di dua-duanya. Kalau misalnya nggak bisa, ya dilihat di salah satunya.
Karya Agan (Harahap) itu menarik, selain meme ya. Dia punya dunia sendiri yang gue gak yakin, orang-orang yang tahu dia, like dia, atau berdebat tentang dia, tahu bahwa dia seniman dan itu dia tawarkan sebagai karya seni. Tapi buat kita yang tahu, itu karya seni. Dua ketegangan itu menurut gue menarik. Dan sekarang makin banyak yang di keduanya dan nyebrang. Tapi balik lagi ke pertanyaan itu, menurut gue kebutuhan kuratorial ya kebutuhan karyanya. Dia kan sebenernya bisa jadi melengkapi experience, kalau misalnya pertanyaan kayak gitu, menurut lo penontonnya akan kayak gimana? Kalau misalnya penontonnya liat dua-duanya, atau satu aja. Mereka punya experience masing-masing.
Kayak meme aja, kalau lo follow Frieze Magazine, gue kenal anaknya, masih muda. Dia jadi asisten kurator di Documenta kemarin. Pas dia pamerin juga masih fisik, tapi dia miih banget, dia milih yang pas konteks ruangnya. Sama aja kayak pertanyaan street art dulu, apa dia dipamerin di galeri atau publik.
Hoppla
Berarti ada target audiens sendiri kan.
Ade Darmawan
Ada publiknya, ada target yang beda.
Hoppla
Gimana cara seniman aja sih, dia mau ditampilkan di dua-duanya atau enggak.
Ade Darmawan
Betul, tergantung bahasanya juga sih. Kalau lo masuk galeri, mau gak mau lo bicara frame. Jadi menurut gue kurator, produser, seniman harus peka banget dengan translasi itu. Dimulai dari keperluannya, perlu atau gak, kalau iya, akan ditranslasi kayak gimana.
Hoppla
Tapi lo sendiri apakah akan mengikuti era sekarang, Insya Allah akan bermetamorfosis lagi atau tetap aja?
Ade Darmawan
Kemarin gue bongkar-bongkar file yang lama, tapi gue belum banget liat karya audio visual gue. Nah gue akan liat lagi, belum tahu gue. Masih pengen liat lagi, karena yang gue bilang tadi gue memperlakukan itu masih dengan cara lama. Yang terakhir yang game, itu pameran di Galeri Nasional, balik lagi secara konseptual, game kan ada rules dan gue tidak mengikuti rules itu. Kalau game lo seharusnya ngebunuh, tapi lo gak ngebunuh, atau cuma jalan-jalan doang. Itu pernah gue coba naik mobil mundur, main di universe. Tapi kan game controlled environment kayak negara, lo jalan musti lewat sini, kalau jalan ke sana bisa ditangkap. Gimana caranya jalan kesana jadi anarkis. Kayak gitu-gitu lah. Kalau pun evolusi karya, paling itu kali. Dan kita pake internet gue yakin udah jarang orang pake kata demokratisasi lagi di internet. Ini fasis nih, lo disuruh allow, gak boleh deny, ya ada deny tapi kalau deny lo gak bisa akses.
Hoppla
Gue bayangin loakan-loakan lo jadi VR atau apa nantinya.
Ade Darmawan
Ya masih tertarik di situ, tapi pengen tahu juga makin fasis nih. Mungkin ekonomi. Kemarin ada NFT dan crypto yang menurut gue ada anarkisme, menarik nih. Tapi balik lagi jadi kapitalis, hyper-capitalist malah. Bahkan posisi media sosial lebih dari negara. Lo dulu kalau jadi pejuang demokrasi, negara naruh CCTV aja lo marah-marah. Sekarang Facebook dan media sosial lainnya yang mantau lo. Maksud gue, malah lebih gila authoritarian-nya si korporasi media internet. Tapi, gue gak tahu NFT berkembangnya kemana, crypto aja lagi banyak dipertanyakan. Lagi-lagi jadi alat kapitalisasi.
Hoppla
Kecanggihan mesin bukan kultur kita ya, malahan pattern kita sebagai konsumen condong reuse, recycle, mengakali, apakah strategi-strategi tersebut masih relevan di tengah perkembangan kapitalisasi teknologi global?
Ade Darmawan
Kemampuan merusak kita sebenarnya tinggi ya. Kalau menurut gue itu. Apa aja kita rusak, dikasih agama dirusak, dikasih komunisme dirusak, dikasih kapitalisme dirusak, dikasih barang juga dirusak. Kalau ada yang ngasih rules dirusak, dikasih benda diakalin. Ngacau lah. Mungkin itu ya evolusi energi merusaknya yang harusnya dikembangkan. Kita kan bukan penemu, kita orang kaya. Kalau orang kaya kan suka-suka aja, kalau lo beli mobil, lo coret-coret. Kita mampu membeli dan mengkonsumsi, tapi menggunakannya tidak semestinya. Yang desain bete kan? Iya sih barang gue laku, tapi gak gitu juga makenya.
Hoppla
Jadi masih ngakalin?
Ade Darmawan
Tapi kalau ngakalin kan dari kemiskinan, kita mampu nih. Mungkin namanya jangan akal-akalan kali ya, ini lebih foya-foya, ngawur dan rock n roll. Kalau akal-akalan kan lo gak mampu, terus lo ngakali, dari kemampuan lo gak mampu mendapatkan itu terus akhirnya lo berimajinasi melakukan itu.
Hoppla
Custom? Kan kalau custom kita bisa mendapatkan yang kita pingin.
Ade Darmawan
Atau disobedience itu ya, gak mau diatur aja. Lo dikasih barang, ada manualnya, ditulis panjang-panjang berbagai bahasa, jiah tapi makenya begitu. Gue kebayang kalau misalnya ada imaji-imaji di kekaryaan dan kesenian, gue bayangannya kayak gitu ya. Atau meluaskan itu ya, seniman-seniman masih pakai itu sebagai frame atau cara menyikapinya dengan cara seharusnya, nah warga tuh yang brutal sebenarnya. Maksud gue bikin photoshop yang anjing, jadi bangsa-bangsa penemu pasti sebel, anjing gue nemuin susah-susah. Mungkin itu ya anti-kolonial, lo udah bikin jalan, dipakainya salah arah. Udah dipakein traffic, diatur, dll, dipakainya gitu. Bukan melawan kemapanan juga sih, mungkin the art of salah pakai aja. Jadi bisa sebagai strategi, kalau strategi lebih ke orang yang mendesain atau penemu, yang biasanya orang-orang kolonial. Jadi bahasa dan kosmologi sebenernya.
Tapi, teknologi menarik sih karena kita dipaksa secara politis oleh mereka yang nemuin. Kita consume, konsumen yang apa nih kita. Mungkin gue salah ya, tapi seniman-seniman belum jadi konsumen yang ngaco-ngaco kayak warga. Mereka lebih intuitif dan merayakan sebagai konsumen, gue dah beli nih. Sebenernya bukan mengacaukan sih, mereka gak peduli aja. Kalau seniman kan masih ada border, ini art atau gak, makenya bener atau belum. Tiba-tiba gue bayangin, sebuah project atau event yang bisa mengacaukan notion of artist, siapa seniman, dan di internet-based itu berlimpah. Lo bisa nulis sejarah sendiri.